Ragam Refleksi tentang Pandemi Covid-19 dari Musisi
Lagu-lagu baru bermunculan di masa pandemi yang penuh keterbatasan. Musisi punya cara sendiri menggali inspirasi dari berbagai krisis.
Oleh
HERLAMBANG JALUARDI/ELSA EMIRIA LEBA
·5 menit baca
Fungsi musik, selain sebagai hiburan, adalah memberi catatan bagi peristiwa yang dialami penciptanya. Pandemi Covid-19 merupakan peristiwa besar yang sudah semestinya terekam dalam lagu. Sejumlah musisi dalam negeri mencatatnya dalam berbagai rona: ada yang geram, ada yang romantis, ada juga yang mengajak merenung.
Memasuki bulan ketiga masa isolasi mandiri, lagu-lagu yang muncul tak lagi berisi ajakan untuk berada di rumah saja. Para musisi mulai mengeluarkan unek-unek mereka: kegelisahan pada krisis yang belum jelas ujungnya.
Penyanyi tunggal Tulus memberi kejutan amat manis tepat di hari raya Idul Fitri, Minggu (24/5/2020) lalu. Pada Lebaran yang ”aneh” itu, dia mengunggah lagu barunya berjudul ”Adaptasi” di beragam kanal musik streaming.
Produksi musiknya mungkin tak semewah lagu ”Gajah” atau ”Sepatu” dari album-album sebelumnya. Suara bariton Tulus hanya ditemani bunyi gitar yang cukup mendominasi dan kibor yang lamat-lamat. Sepertinya memang kesederhanaan itulah yang mau disodorkan. Fokus pendengar jadi tak beranjak dari liriknya.
Lirik besutan Tulus kali ini memotret pengalaman orang yang mengurung diri di rumah demi membatasi penyebaran virus. Dia menggunakan diksi yang yang gamblang sehingga pesannya jelas terbaca.
”Berdiam di dalam rumah ini denganmu/dari malam hingga malam lagi/Terkungkung langkah ragu tak ke mana-mana/dari Rabu hingga Rabu lagi//” Demikian dia memulai lagu berdurasi tiga menitan itu.
Penggunaan kata ”denganmu” agaknya menjadi kunci. Ini adalah lagu tentang isolasi diri bersama orang terdekat, orang tersayang. Tulus menegaskannya lagi di bagian refrein yang dia nyanyikan dua kali.
”Bila ini belum ’kan reda/Tetap kita saling menjaga/Hari depan tak ada yang tahu/Hadirmu sangat berharga kuingin engkau tahu/Aku sayang kamu//” Pernyataan ”aku sayang kamu” muncul lagi di ujung lagu.
Lagu ”Adaptasi” ini sekaligus jadi obat kangen buat penggemar Tulus karena terakhir dia merilis lagu adalah ”Adu Rayu” bareng Glenn Fredly dan Yovie Widianto pada Februari 2019 silam.
Di luar kebiasaan
Solois Iksan Skuter punya gaya berbeda menyikapi krisis akibat Covid-19 ini. Pada lagu barunya ”Tuhan dan Kegelisahan”, Iksan memotret tempat-tempat ibadah yang mendadak sepi ketika ”peradaban telah sakit”. Di lagu itu, dia menyebut ”tempat-tempat suci jadi terkunci”.
Lagu itu adalah satu dari sepuluh lagu di album barunya, Codex 13, yang dia luncurkan 13 Mei lalu. Album itu bercerita tentang banyak tema besar yang sedang terjadi di dunia. Lagu pembuka ”Dunia Baru”, misalnya, menyinggung perihal pengawasan gerak-gerik warga lewat kamera pengintai dan ”Manifesto” adalah sentilan pada kancah politik ”berkapital P”. Lagu ”Tuhan dan Kegelisahan” berasosiasi dengan peristiwa Covid-19 ini.
Pilihan tema itu cenderung berbeda dibandingkan lagu-lagu Iksan biasanya. Iksan piawai memainkan emosi pendengarnya dengan untaian lirik yang berangkat dari peristiwa kecil untuk menggambarkan narasi besar. Mungkin ada yang ingat lagu ”Pulang” dari album Gulali (2017) dengan penggalan lirik ”Apakah kau pernah jauh dari rumah/terbangun di tengah malam/dingin lapar tak tertahan//”. Seorang perantau bisa langsung termehek-mehe" mendengarnya.
Bukan hanya temanya saja yang berbeda. Warna musiknya pun berubah. Di album Codex 13 ini, Iksan menanggalkan gitar akustiknya. Ada banyak bunyi gitar elektrik, drum yang bertalu-talu, hingga bunyi-bunyian robotik. Hasilnya, album ini bercita rasa rock elektronik bertema krisis peradaban.
Peluncuran album ke-13 Iksan ini tergolong unik. Dia mematok harga Rp 13.000 untuk sebuah tautan unduh, tetapi pembeli boleh membayar lebih. Pembelinya mendapat berkas digital, yang—anehnya—hanya bisa diputar di ponsel. Lagunya belum ada di toko musik digital mana pun. Dengan segala keterbatasan itu, semoga album ini tak lekas terlupakan.
Dari dialog
Jika Iksan barusan mengeluarkan album penuh, trio Dialog Dini Hari sedang merampungkan album mini, yang menurut rencana berjudul Setara, dan kemungkinan besar beredar Juni mendatang. Dua lagu dari album mini itu telah beredar duluan dalam waktu berdekatan. Lagu ”Kulminasi II” beredar 17 April dan ”Garis Depan” menyusul tiga minggu kemudian.
Dua lagu itu diciptakan dan dilahirkan pada masa penuh pembatasan. Kebetulan, setiap personelnya, Dadang S Pranoto (vokal dan gitar), Brozio Orah (bas dan synthesizer), dan Denny Surya (drum), punya peralatan rekaman mumpuni. ”Jadi, produksi bisa dikerjakan dari rumah masing-masing,” kata Dadang, yang juga penulis lagu utama di band ini.
”Mungkin ada tatanan yang berubah, tentang bagaimana manusia satu melihat manusia lainnya. Aku penasaran dan khawatir juga. Aku pikir, tatanan sosial kita akan berubah di berbagai sektor, termasuk ekonomi. Yang bisa dilakukan, ya, perlu bahu-membahu,” lanjut Dadang perihal gejala yang ia ungkapkan di lagu ”Kulminasi II” ini.
Tak heran, di bagian refrein lagu itu, Dadang menyanyikan, ”Manusia bernyanyi menghibur lainnya/Manusia bersujud, berdoa ’tuk lainnya//”
Sementara pada lagu ”Garis Depan”, Dialog Dini Hari memberi penghormatan bagi orang-orang yang berjibaku mengerem wabah. ”Ada beberapa temanku dokter dan paramedis yang sudah terlalu lama enggak pulang ke rumah,” ujar Dadang.
Trio ini seperti mendapat daya kreasi berlebih di masa pandemi. Pembatalan jadwal manggung akibat kebijakan pembatasan jarak justru memberi mereka ruang untuk berdialog satu sama lain. Dialog itu jadi bahan bakar membuat karya baru. Jika formulasinya begitu, bukan tidak mungkin Dialog Dini Hari sedang memasuki fase produktif.
”Karena ngobrol dan diskusi itu, dari satu lagu jadi dua lagu, jadi tiga lagu, dan seterusnya. Prosesnya terus berlangsung,” kata Dadang. Mereka melepas album penuh termutakhir, Parahidup, pada Juni 2019, yang berjeda lima tahun dengan album sebelumnya.
Upaya untuk tetap berkarya di masa pandemi juga tengah dilakukan duo pendatang baru Alien Child. Kakak-beradik Aya Maranda dan Lala Maranda yang memainkan musik electro-pop ini sudah merekam puluhan demo dari kamar tidur mereka.
”Tetapi, yang benar-benar jadi belum ada karena kami masih memikirkan mana yang paling bagus. Kami juga masih memikirkan apakah menunggu pandemi selesai baru bisa rekaman,” kata Aya melalui sambungan telepon pada Senin (25/5/2020).
Salah satu proyek yang sedang mereka tekuni adalah merampungkan lagu untuk memompa semangat masyarakat menghadapi wabah. Proyek itu merupakan inisiasi Persatuan Bangsa-Bangsa. Mestinya, pada 31 Maret hingga 2 April lalu, mereka diundang PBB menghadiri UN75 Youth Plenary dan Ecosoc Youth Forum di New York, AS. Pandemi membatalkannya.
”Mereka (PBB) mungkin merasa sayang banget acara batal. Jadi, kami di kamar tidur bisa produksi, aransemen, tulis lirik. Demonya sudah selesai, tetapi secara keseluruhan belum kelar,” kata Lala.
Wabah ini memang membatasi, tetapi bagi beberapa musisi juga menginspirasi. Karya mereka menjadi bukti bahwa musik selalu menyertai hidup manusia, dalam senang ataupun muram.