Anak-anak muda Indonesia yang berkarier di luar negeri bisa jadi jembatan yang strategis untuk terkoneksi dengan jaringan global.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Diaspora muda Indonesia menghadapi sejumlah tantangan ketika bekerja di luar negeri. Namun, kemampuan mereka tidak bisa dipandang sebelah mata. Mereka mampu beradaptasi dan menjadi penghubung Indonesia dan jaringan global.
Achmad Nanang Maulana bekerja sebagai Senior Associate di DP Architects, Singapura, selama 12 tahun terakhir. Ketika pertama bekerja, dirinya sempat mengalami culture shock atau gegar budaya. ”Meskipun Indonesia dan Singapura dekat, Singapura memiliki budaya bekerja on time. Semuanya telah memiliki jadwal dan mereka teliti. Jadi, kalau telat, mereka pasti ngomong ke kita supaya berikutnya jangan terulang,” kata Nanang dalam Alumni Session ”Menjadi Warga Negara Global dalam Era New Normal” yang digelar oleh Tanoto Foundation secara daring, ditonton dari Jakarta, Selasa (11/8/2020).
Nanang melanjutkan, ketika ditegur untuk pertama kalinya, ia sempat merasa patah semangat. Namun, ia berusaha untuk menerima kritik tersebut. Setelah beberapa lama, Nanang menjadi terbiasa untuk tepat waktu. ”Kita harus berpikiran terbuka. Jangan menganggap hal yang biasa kita lakukan itu sudah benar. Take time to observe budaya,” ujarnya.
Steffi Melinda turut mengalami culture shock selama bekerja di Berlin, Jerman. Ia merupakan diaspora Indonesia yang bekerja sebagai Team Lead of Data Science and Analytics di Bonial.com setelah menyelesaikan pendidikan S-2 di Eropa. ”Di Jerman, saya belajar untuk open minded. Meskipun saya sudah menjadi team leader, itu enggak berarti bawahan saya tidak bisa mengkritik saya kalau ada keputusan yang salah,” tutur Steffi.
Steffi merasa kultur itu justru baik karena dapat memacunya untuk memperbaiki diri. Di Indonesia, kultur itu belum banyak berlaku, tetapi mulai terlihat di beberapa perusahaan rintisan internasional.
Simon Simorangkir, Founder Komunitas Pemuda Cinta Damai Anak Indonesia (Kopecida), menambahkan, sikap yang perlu dimiliki anak muda ketika memasuki dunia kerja adalah tidak menyerah ketika menghadapi tantangan. ”Never give up without a fight. Kalau tidak ada cara, coba lagi cara yang lain,” tutur Simon, yang juga adalah Tanoto Scholar tahun 2012.
Penghubung Indonesia
Diaspora Indonesia yang bekerja di luar negeri kerap mendapat pertanyaan mengenai kontribusi mereka terhadap Tanah Air. Namun, mereka meyakini tetap dapat terlibat dalam pembangunan bangsa meskipun berada di luar negeri.
Nanang menjelaskan, dirinya bergabung dalam Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) cabang Singapura. Melalui organisasi itu, dia sering berbagi pengalaman kepada arsitek Indonesia terkait proyek-proyek berskala internasional yang sempat ia kerjakan.
”Kami bisa lebih membuka wawasan secara internasional. Perusahaan Singapura memiliki mindset untuk merambah proyek di luar negeri, tidak hanya dalam negeri dengan menjual intellectual resources,” tuturnya.
Steffi mengatakan, dirinya bekerja di luar negeri untuk mencari pengalaman di negara maju. Keterampilan yang diperoleh itu dapat diimplementasikan ketika dirinya kembali ke Indonesia. ”Namun, jujur saja soal teknologi informasi, saya lihat programmer Indonesia justru sudah maju dibandingkan Jerman,” ujarnya.