Aksi solidaritas mudah bersemi di kota dan di pelosok desa setiap terjadi bencana atau krisis di Indonesia. Aksi semacam itu akan memperkuat ikatan kebangsaan Indonesia.
Oleh
Denty Piawai Nastitie dan Elsa Emiria Leba
·5 menit baca
Dalam setiap krisis, termasuk pandemi Covid-19, kaum muda bergerak dengan caranya sendiri untuk terlibat memperbaiki situasi. Mereka melupakan urusan pribadi dan terjun dalam aksi-aksi solidaritas bagi sesama. Inilah salah satu modal besar yang dimiliki bangsa Indonesia untuk bertahan hingga usianya yang ke-75 tahun.
Seperti kebanyakan orang, Dimas Jayasrana terimbas pandemi Covid-19. Dimas yang bekerja sebagai seniman visual kehilangan klien. Selain itu, usaha warung mi instan-nya terpaksa ia tutup. Di tengah situasi seperti itu, kesadarannya untuk berbagi justru kian tinggi.
Semua bermula ketika ia kecewa menemukan banyak berita tentang melencengnya penyaluran sembako untuk orang-orang yang terancam kekurangan pangan akibat pandemi. Ia tahu, rasa kecewanya tidak akan menyelesaikan masalah. Ia pun memilih bergerak melalui aksi Lumbung Pangan sejak 24 April lalu. Ia kumpulkan bahan pangan yang ada di warung mi instannya dan membagikannya kepada warga yang kekurangan makanan. Aksi ini ternyata menginspirasi orang lain, termasuk pedagang di pasar, untuk ikut berbagi.
Ini bukan kegiatan donasi, tetapi kegiatan berbagi. Siapa pun boleh ikut
Kini, kantor Dimas di kawasan Gondangdia, Jakarta Pusat, menjadi sentra gerakan Lumbung Pangan. Gerakan itu mempertemukan warga yang memiliki kelebihan bahan makanan meski hanya sepotong tahu-tempe dengan warga yang membutuhkan bantuan pangan. ”Ini bukan kegiatan donasi, tetapi kegiatan berbagi. Siapa pun boleh ikut,” katanya, Rabu (12/8/2020).
Aksi solidaritas juga muncul dalam bentuk lain. Ketika banyak murid dari keluarga miskin tak bisa mengikuti sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ) lantaran tidak punya gawai, sejumlah wartawan muda yang tergabung dalam komunitas Wartawan Lintas Media, bergerak mengumpulkan telepon pintar bekas untuk mereka. Inisiatif ini muncul ketika para wartawan itu bertemu seorang pemulung sedang yang mencari ponsel bekas untuk anaknya agar bisa mengikuti PJJ.
Gerakan yang bergema di media sosial dengan tagar PonselPintarUntukPelajar itu memicu antusiasme masyarakat untuk menyumbangkan telepon pintar atau gawai mereka. Hasilnya, dalam waktu singkat terkumpul 200-an telepon pintar bekas dan baru.
Sebagian telah disalurkan kepada pelajar di Jabodetabek, Aceh, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, hingga Papua. Gerakan ini diteruskan dalam bentuk penggalangan dana secara daring. Margareth S Aritonang, salah satu anggota komunitas, mengatakan, ada yang menyumbang Rp 10.000 hingga Rp 100 juta.
Sementara itu, Bambang Bayu Febbyanto dari Local Enablers Community (LEC) terus mendampingi 120-an pengusaha UMKM yang terkena dampak pandemi. Komunitas yang didirikan tujuh tahun lalu oleh para dosen Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran ini menjadi wadah untuk menumbuhkan gairah kewirausahaan dan kemandirian ekonomi di kalangan mahasiswa. Sebagian di antara mereka, setelah lulus, akhirnya mengambil jalan hidup sebagai pelaku UMKM.
Bersama LEC, Bayu berusaha menumbuhkan sikap pantang menyerah dalam menghadapi krisis di kalangan pelaku UMKM binaan. ”Ada banyak hal yang masih bisa dilakukan, tetapi harus ada keberanian untuk berubah,” katanya.
Pandemi juga mendorong Ariyo Faridh Zidni membantu sesama. Lewat dongeng, ia menghibur anak-anak hingga orang dewasa yang sedang gabut lantaran berbulan-bulan di tidak banyak keluar rumah. Padahal, sejatinya Ariyo juga sedang kesusahan. Pendapatannya merosot lantaran semua undangan mendongeng sejak Maret 2020 dibatalkan.
Kita ada di sebuah perahu bernama Indonesia yang sedang menghadapi pandemi dan sama-sama susah.
Ariyo mengaku melakukan hal ini karena perasaan senasib dengan semua orang yang terdampak pandemi. ”Kita ada di sebuah perahu bernama Indonesia yang sedang menghadapi pandemi dan sama-sama susah,” kata Ariyo yang mengunggah dongeng melalui media sosial secara gratis.
Jauh sebelum pandemi, Ariyo lama malang melintang di dunia perdongengan. Melalui dongeng, ia membangun narasi tentang indahnya hidup dalam keberagaman, kayanya budaya Indonesia, atau asyiknya gotong royong.
Dongeng semacam ini penting untuk memperkuat ikatan persaudaraan di antara anak bangsa yang beragam identitasnya. Apalagi, saat ini serangan terhadap semangat kebangsaan menghantam dari segala arah. Semangat inklusivitas keberagaman ditantang paham yang menekankan eksklusivitas kelompok. Narasi persatuan dihantam narasi perpecahan. Semua itu dengan mudah menyusup ke ruang privat melalui media sosial.
Situasi semacam itu mendorong sekelompok anak muda dari beragam latar belakang menginisiasi gerakan antihoaks di dunia virtual pada 2015. Setahun kemudian, gerakan itu berubah menjadi organisasi Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafindo). Visi mereka antara lain melawan tsunami hoaks dan ujaran kebencian.
Ketua Presidium Mafindo Septiaji Eko Nugroho mengatakan, hoaks dan ujaran kebencian merupakan ancaman terhadap narasi persatuan. ”Hoaks dan ujaran kebencian berkelindan seperti lingkaran setan. Kalau dibiarkan akan mempertebal kebencian, kecurigaan, sehingga berujung konflik dan permusuhan,” katanya.
Untuk memerangi hoaks, Mafindo aktif melakukan periksa fakta terhadap isu-isu yang beredar di masyarakat. Selain itu, mereka gencar mendorong literasi media dan digital kepada masyarakat. Saat ini, ada 70.000 anggota Mafindo di seluruh Indonesia yang bergotong-royong menangkal hoaks, termasuk hoaks terkait pandemi Covid-19.
Konektivitas
Meski tampak sederhana, gerakan-gerakan yang diinisiasi kaum muda yang diceritakan di atas amat penting dalam merawat ikatan keindonesiaan. Gerakan mereka memperkuat solidaritas sosial, perasaan senasib, persaudaraan, dan kebanggaan sebagai orang Indonesia. Selain itu, gerakan-gerakan yang berbasis komunitas itu menghubungkan banyak orang dengan aneka latar belakang kelas dan identitas berbeda untuk terlibat dalam putaran aksi yang sama.
Kita punya modal solidaritas yang mudah bersemi di kota dan pelosok desa.
Melihat kenyataan ini, Dimas yang menginisiasi aksi Lumbung Pangan yakin, bangsa dan negara Indonesia akan selalu mampu bangkit dari setiap krisis dan badai yang menghantam. ”Kita punya modal solidaritas yang mudah bersemi di kota dan di pelosok desa. Solidaritas sudah seperti DNA yang dilahirkan, dikembangkan, dan diperbincangkan terus-menerus,” ujarnya.
Dimas tidak berlebihan. Setiap ada bencana besar, apakah tsunami, gempa, dan kini wabah Covid-19, solidaritas untuk membantu korban dengan cepat berkobar.
Taufan Teguh Akbari (35), pendiri Rumah Millenialls, membayangkan jika gerakan kaum muda itu bisa terkoneksi dan membentuk ekosistem, mereka akan bekerja seperti orkestra yang terus mendendangkan semangat kebersamaan dan kebangsaan. (JOE/TRI/ELN/BSW)