Satu Lagi Jejak Penting Burgerkill
Memasuki usia 25 tahun, band metal Burgerkill melepas album berbalut orkestra ”Killchestra”. Album itu adalah eksplorasi musikal terbaru dari salah satu band metal terbaik di dunia ini.
Jika Anda punya band metal dengan hasrat bermusik meluap-luap, bereputasi internasional, punya akses pada penyandang dana, apa lagi yang hendak Anda buat? Andai pertanyaan itu dilontarkan kepada Burgerkill, jawabannya adalah terbang ke Eropa, sewa studio, sewa kelompok orkestra ternama, bikin album bersama.
Pada Maret 2018 lalu, Burgerkill beringsut dari kandang mereka di sebuah kecamatan di ujung timur Kota Bandung bernama Ujungberung. Kolom tujuan di tiket pesawat yang mengangkut mereka tertera nama kota Praha, ibu kota bekas negara komunis Ceko.
Dalam koper mereka ada kertas-kertas berharga berisi partitur enam lagu dari album-album sebelumnya, yaitu ”Anjing Tanah”, ”Penjara Batin”, ”An Elegy”, ”Only the Strong”, ”Angkuh”, dan ”Tiga Titik Hitam”. Komposer Alvin Witarsa yang menggubah chart lagu-lagu yang ditulis gitaris Ebenz itu agar bisa dimainkan dalam format orkestra simfoni.
Lagu-lagu bercorak metalcore itu hendak direkam dalam gubahan anyar; memadukan agresivitas metal dengan kemegahan orkestra. Sekalian, band yang terbentuk sejak 1995 ini mau ngamen di enam klub di beberapa negara, seperti Belanda, Belgia, dan Austria.
Alvin yang menyarankan merekam orkestra di Praha karena tahu ada studio bagus dan kenal dengan pemusik di sana. Alvin menjamin kualitasnya bagus walau ongkosnya jadi lebih mahal. ”Kami langsung konsultasi dengan DCDC sebagai sponsor dan disetujui,” kata Ebenz.
Di studio Cesky Rozhlas milik Radio Ceko, mereka menyerahkan chart gubahan Alvin kepada konduktor Michaela Ruzickovadari kelompok Czech Symphony Orchestra. Alvin dan Burgerkill berbagi cerita kepada Michaela perihal lagu-lagu itu.
Michaela meneruskan hasil obrolan kecil itu kepada 60 pemainnya dengan pesan yang lebih kurang berbunyi, ”arahkan emosi kalian pada kisah-kisah itu”. Para pemain mengangguk, mencoba beberapa not.
Ketika sudah siap, tombol rekam dipencet dari bilik kontrol. Tangan Michaela mulai bergerak-gerak. Artinya, proses perekaman bagian orkestra sedang berlangsung.
”Kami pesan studio cuma empat jam, itu satu sif, karena yakin kerjanya bakal cepat,” kata Ebenz melalui sambungan telepon di Bandung, Senin (24/8/2020).
Ramdan, pemain bas, mengenang, rekamannya berlangsung cepat, hanya sekitar 3,5 jam. ”Mereka datang tepat waktu, baca partitur, main, terus pulang. Mereka profesional dan gokil,” katanya. Sisa jatah sewa studio sekitar 30 menit dipakai untuk pengambilan gambar videoklip lagu ”An Elegy”.
”Ada, sih, beberapa bagian yang diulang, tapi bukan karena salah, tapi karena emosi lagunya belum benar-benar dapat,” kata gitaris Agung. ”Mereka mainnya kayak sudah ratusan kali mainin lagu kami,” lanjut Ebenz.
Hari-hari berikutnya, Burgerkill menggelandang ke beberapa kota di Eropa. Selama sekitar dua pekan, Ebenz, Ramdan, Agung, Vicky (vokal), dan Putra (drum) enam kali manggung di tempat-tempat yang tergolong kecil bagi band yang biasa main di depan ribuan pasang mata ini. Tur Eropa kali ketiga itu berjalan padat dengan oleh-oleh mahal.
Kerja di Tanah Air
Sekembalinya ke Indonesia, Burgerkill masih punya pekerjaan rumah. Mereka membuat pertunjukan bernama Killchestra, bagian dari seri konser Hellshow garapan sendiri. Aransemen orkestra yang sebelumnya direkam di Praha itu disuguhkan di Gedung Sabuga, Bandung, pada 15 April 2018. Enam lagu itu dimainkan bareng 40 pemusik orkestra dari Bandung di bawah pimpinan Alvin Witarsa.
Enggan berhenti dikonserkan belaka, enam lagu itu pantas diwujudkan dalam rupa rekaman yang layak. Burgerkill memilih Studio Sumber Ria di Jakarta untuk merekam instrumen ”sehari-hari” mereka, yaitu drum, bas, dan duet gitar. Sementara Vicky merekam isian vokal di Studio Masterplan di Bandung.
Menggabungkan hasil rekaman orkestra di Praha dengan isian band dihitung matang. Bukan kebetulan, Studio Sumber Ria di daerah Ancol itu punya ahlinya: teknisi audio dari Inggris, Simon Cotsworth. Simon pernah mengerjakan proyek orkestra band jazz Incognito di Abbey Road Studio, yang tenar sebagai ”studionya” The Beatles itu. Menilik hasilnya, Simon adalah pilihan tepat.
Semua proses itu berlangsung hampir bersamaan dengan masa perilisan dan promosi album penuh kelima Burgerkill, Adamantine, yang beredar pada 20 April 2018. Embrio album orkestra itu tumbuh bareng dengan tur Adamantine, yang sampai ke AS selama sebulan penuh, dan juga sempat jadi headliner di sebuah festival metal di Nepal bersama dedengkot thrash metal Testament.
Akhirnya, ketika dunia sedang terkena wabah Covid-19, album orkestra itu lahir dengan nama Killchestra. Sebulan sebelum album keluar, majalah terbitan Inggris, Metal Hammer, menempatkan Burgerkill di urutan ke-14 daftar 50 band metal sepanjang masa.
Di luar kontroversinya, urutan ke-14 itu mengungguli band metal besar, seperti Dream Theater, Lamb of God, dan Mastodon, dan hanya satu jenjang di bawah Megadeth. Daftar berdasarkan polling 110.000 suara itu menempatkan Iron Maiden dan Metallica di urutan puncak.
Wujud fisik pertama Killchestra berupa piringan hitam yang meluncur pada 19 April 2020, bertepatan dengan tanggal lahir mendiang Ivan ”Scumbag” Firmansyah. Burgerkill dan para penggemarnya tak pernah melupakan Ivan. Album ini mereka persembahkan buat ”salah satu vokalis terbaik negeri ini”, menurut vokalis band Padi Reborn, Andi Fadly.
Fadly, yang notabene ada di luar jalur musik ekstrem, adalah sobat Burgerkill. Mereka pernah bernaung di label yang sama, yaitu Sony Music Indonesia. Fadly ikut menulis lirik dan menyumbangkan suara pada lagu ”Tiga Titik Hitam” berduet dengan Ivan di album Berkarat keluaran 2004.
Kekuatan ganda
Lagu itu, bersama dengan vokal bening Fadly, kembali hadir di Killchestra pada urutan terakhir. Kali ini, Fadly tak berduet dengan Ivan, tentu saja, melainkan Vicky yang mengeluarkan vokal menggeramnya. Fadly mendaraskan doa untuk Ivan di ujung lagu.
Album Killchestra dibuka dengan nomor ”Anjing Tanah”, yang versi aslinya ada di album Beyond Coma and Despair (2006). Petikan gitar gaya klasik permainan Agung di album dulu diganti dengan dentingan piano membuai. Tapi jangan terkecoh. Buaiannya cuma berlangsung satu setengah menit. Distorsi gitar dan gemuruh ritmis sontak menggandakan kekuatan lagunya. Ya, ini heavy metal, bukan lullaby.
Intensitas metal tak melembek walau berpadu dengan orkestra. Ini terjadi di semua lagu. Harmoni bunyi alat musik gesek, perkusi, piano, dan instrumen akustik lain kawin-mawin dengan distorsi metal. Kesatuan kelompok orkestra itu terasa seperti anggota keenam band.
Racikan ini berjejalin saling melengkapi. Bunyi gitar yang biasanya menyalak-nyalak kali ini sedikit lebih jinak. Namun, seperti layaknya musik cadas, gitar masih pegang komando, hanya kali ini kekuatannya digandakan ensambel alat musik gesek. Alhasil, musik metal tak cuma terdengar keras, tapi juga megah.
Kolaborasi dua kutub ini, bagi Agung sang gitaris, adalah pernyataan bahwa musik ekstrem juga punya harmonisasi yang bisa bersanding mulus dengan corak musik lain. ”Banyak yang bilang musik kami itu komposisinya disharmonik, tidak intelek, cuma berisik. Padahal, masih ada harmonisasi yang bisa disatukan dengan unsur orkestra,” kata Agung.
Bagi Ebenz, sang pendiri band, album Killerchestra ini adalah warna baru yang bisa mereka sajikan. ”Setiap Burgerkill berkesempatan bikin karya baru, penginnya terdengar baru. (Corak) Album Adamantine juga beda dengan sebelumnya. Ngapain bikin album baru, tapi rasanya sama,” ujarnya.
Album pionir
Di luar negeri, perkawinan musik metal dengan orkestra telah beberapa kali dilakukan walau tak terlalu umum juga. Beberapa perkawinan yang menghasilkan album ciamik adalah Metallica dengan kelompok San Francisco Symphony, juga unit black metal Cradle of Filth dengan Budapest Film Orchestra, dan sejumlah nomor dari Devin Townsend Project.
Di Indonesia, komposer Erwin Gutawa pernah meracik ulang lagu-lagu rock dalam balutan orkestra pimpinannya pada album Rockestra (2007). Namun, di kancah metal, Burgerkill adalah pionirnya.
Sebanyak 300 keping piringan hitam—yang menyisipkan bonus CD dan poster—sudah ludes terjual tak sampai dua bulan. Piringan hitam dipilih sebagai format utama karena dianggap bisa menampung hasil rekaman seutuh-utuhnya.
Simon Cotsworth telah mengolah frekuensi bunyi rekaman (mastering) ini untuk dituangkan ke format berbeda-beda. Ada yang khusus untuk piringan hitam, untuk CD, untuk DVD, dan untuk dialirkan di internet (streaming). Jika jeli, perbedaan frekuensi itu bisa dirasa.
Selasa (18/8/2020) lalu, Burgerkill kembali kerja sama dengan label Demajors Independent Music Industry melepas format CD dengan jumlah lebih banyak dan harga relatif terjangkau, Rp 60.000 per keping.
Para Begundal, sebutan penggemar Burgerkill, bereaksi dengan peluncuran format yang lebih ”merakyat” itu. Apalagi, 400 keping pertama dibonusi emblem bergambar sampul album. Para metalhead memang suka mengumpulkan pernak-pernik band idola mereka, entah untuk dikoleksi atau dijual lagi.
”Rencananya, kami mau merilis mulai Sabtu (23/8/2020). Tapi, sejak diumumkan, kanal medsos kami dibombardir pertanyaan kapan dan bagaimana. Saya bilang ke Ebenz, ini enggak bisa ditahan lagi, kewalahan jawabnya,” kata Managing Director Demajors David Karto. Pemesanan dibuka lebih awal.
Demajors mulai mengedarkan katalog album Burgerkill sejak album Beyond Coma and Despair 14 tahun lalu. Menurut David, band yang telah melepas lima album itu punya penggemar berat atau die-hard fans yang militan.
Apakah album-album Burgerkill merupakan album metal terlaris di Indonesia? David tak menyebut angka. ”Secara jualan, semua album mereka terjual dengan baik. Lima tahun terakhir, kami tak terlalu memikirkan angka (penjualan) lagi, melainkan jejak perekaman karya musik Indonesia,” kata David. Album Killchestra adalah jejak yang penting.