Kisah Mahasiswa Melawan Depresi selama Pandemi
Akibat terkurung di rumah selama pandemi, banyak mahasiswa yang depresi. Ini cerita sebagian mahasiswa menjalani masa-masa sulit dan mengatasi stres atau depresi mereka.
Lesu, jenuh, lelah fisik dan mental, serta cemas akan masa depan menjadi keluhan umum sejumlah mahasiswa berbagai perguruan tinggi di Jakarta, Surabaya dan kota lain. Keadaan yang mengarah kepada gangguan mental itu terutama mereka terkurung di rumah sejak ada pandemi Covid-19 melanda. Bagaimana mereka mengatasinya?
Sepuluh bulan terakhir menjadi masa yang sulit bagi masyarakat termasuk kaum muda. Pandemi Covid-19 telah merampas kebebasan. Sebelum pandemi, mahasiswa leluasa berpergian ke kampus untuk belajar atau bertemu teman-teman. Sepulang kampus, kadang mereka nongkrong, ikut kegiatan kampus, atau olahraga. Tapi sejak pandemi, semua itu cuma jadi khayalan.
Semua kegiatan yang mensyaratkan pertemuan fisik, apalagi melibatkan banyak orang, terpaksa dihentikan untuk mencegah penularan virus korona baru penyebab Covid-19. Alhasil, para mahasiswa yang aktif dan dinamis terpaksa di rumah saja sampai gabut. Nah, sebagian dari mereka ada yang benar-benar tertekan dan mengalami stres dari tingkat ringan sampai parah.
Perasaan lesu serasa tak bertenaga misalnya dialami Dinda, mahasiswa universitas negeri di Jakarta. Awalnya ia merasa baik-baik saja ketika kampus menerapkan kuliah daring pada Maret 2020 setelah pandemi muncul di Indonesia. Namun, seiring berjalannya waktu, ia mulai merasa stres dan sangat lelah (burnout) dengan berbagai tugas kuliah dan kegiatan kemahasiswaan.
Waktu itu setiap hari rasanya berat. Aku merasa capek mental, capek fisik. Kayak lesu aja enggakpengen ngapa-ngapain padahal ada banyak kerjaan
Kuliah daring mengubah dinamika kehidupan Dinda. Gadis berparas manis itu sulit beradaptasi karena dirinya tipe orang yang suka berinteraksi langsung dengan orang lain. Selain itu, sulit bagi Dinda untuk fokus ketika mengerjakan sesuatu karena perhatiannya jadi mudah teralihkan ketika berada di rumah.
Ia juga kesulitan menerapkan manajemen waktu karena tugas kuliah seolah tanpa henti. Terus menerus berada di rumah juga memicu kembalinya trauma Dinda di masa lalu. “Waktu itu setiap hari rasanya berat. Aku merasa capek mental, capek fisik. Kayak lesu aja enggakpengen ngapa-ngapain padahal ada banyak kerjaan,” kata Dinda dari Bogor, Minggu (10/1/2021).
Keadaan tersebut membuatnya beberapa kali bolos kelas karena kelelahan di awal-awal kuliah daring. Kegiatan kampus, seperti kepanitiaan, juga terganggu. Gangguan ini mencapai puncaknya pada Mei 2020. Untungnya, meskipun minat untuk kuliah berkurang, nilai-nilainya masih baik.
Untuk mengatasi gangguan fisik dan mental, ia mengambil program magang sebagai content writer di sebuah bank untuk memenuhi kebutuhan sosialnya sejak Juli 2020. Ia juga menyempatkan diri untuk curhat ke teman-temannya. Ternyata, teman-temannya merasakan hal serupa. Dinda lalu konsultasi ke psikolog yang disediakan kampus.
“Psikolog menyarankan agar aku melakukan mindfulness. Kalau lagi makan, jalan, atau mandi, pikiran kita fokus melakukan dan merasakan proses itu. Ini salah satu bentuk meditasi supaya kita bisa merasakan energi di sekitar,” ujar Dinda. Psikolog menyarankan ia melakukan meditasi pernapasan sehari 10 menit dan belajar mengikhlaskan hal yang terjadi di luar kendali.
Ia harus membuat semacam penghalang mental agar siap ketika ingatan buruk muncul. Kondisi Dinda membaik setelah bertemu psikolog tiga kali, terakhir pada bulan November 2020. Ia berencana melanjutkan konsultasi setelah masa pembatasan sosial skala besar berakhir.
Kesepian
Mahasiswa lain, Iki merasa kesepian dan jenuh saat kuliah tatap muka diganti kuliah daring. Ia mengikuti perkuliahan daring dari kampungnya di Tuban, Jawa Timur sejak 29 Maret 2020. Sebulan pertama, kuliah daring masih terasa menyenangkan. Lama kelamaan cowok ini jenuh juga oleh rutinitas kuliah daring yang begitu-begitu saja.
“Aku mulai merasa lelah dan muncul kebuntuan sehingga susah mikir. Aku enggak tahu mau ngapain karena susah fokus juga. Meskipun nilaiku malah naik, pola untuk mengerjakan tugas terasa lebih berat karena kebiasaan baru ini menjadi beban tersendiri,” tutur Iki yang mahasiswa perguruan terkemuka di Jakarta pada Senin (11/1/2021).
Ia memutuskan mengalihkan perhatian ke berbagai kegiatan agar tetap warus dan produktif. Ia juga menerapkan gaya hidup sehat untuk menjaga kesehatan sesuai anjuran psikolognya. Di rumah, Iki menghabiskan waktu untuk menanam pepaya di kebun dan memelihara ikan. Kegiatan tersebut menjadi salah satu bentuk meditasi agar ia bisa memusatkan perhatian, memiliki tujuan, dan mencapai sesuatu. Iki senang ketika melihat tanamannya tumbuh subur dan ikannya sehat.
Iki juga menulis. Keluh kesahnya ia tuangkan lewat tulisan di buku harian atau di laptop. Biasanya ia merasa lebih lega setelah selesai mencurahkan isi hati lewat tulisan plus olahraga lari tiga hingga empat kali seminggu. Semua usaha itu membawa perubahan bagi kesehatan mentalnya. Ia merasa lebih tenang dan tak lagi merasa sendirian.
Main gitar
Rasa takut dan cemas akan masa depan yang tak menentu membuat Deta, sering menangis dan tak doyan makan berhari-hari. Gadis yang selama sekolah selalu mendapat bea siswa ini khawatir tidak bisa kuliah di tempat yang ia inginkan. Pandemi juga membuat dirinya tak bebas bergerak untuk mengisi waktu kala menunggu pengumuman hasil tes masuk perguruan tinggi yang ia tuju.
Sebelum pandemi sudah was-was. Eh pas pandemi, kondisi mentalku makin parah. Aku down banget
“Sebelum pandemi sudah was-was. Eh pas pandemi, kondisi mentalku makin parah. Aku down banget, karena aku kan kerja saat menunggu hasil ujian masuk perguruan tinggi. Gara-gara pandemi, menjual properti sulit sekali sehingga aku tak mencapai target. Sedih, bingung, cemas. Mana belum tahu lolos ujian masuk perguruan tinggi apa enggak,” kata Deta yang kini berstatus mahasiswa perhotelan di Jakarta, Sabtu (9/1/2020).
Ia curhat apa yang ia alami selama enam tujuh terakhir ke sahabat dan kakak rohaninya di gereja. “Dengan curhat, beban di dada kayak terangkat,” lanjutnya.
Ia mendapat saran untuk melakukan apa yang ia sukai. Barulah ia ingat dulu pernah belajar gitar dan suka menyanyi. Pelan-pelan ia mencoba lagi main gitar dan okulele sambal menyanyi. Di luar dugaan, cara itu membuat kondisi mentalnya membaik. Apalagi ia diterima menjadi mahasiswi jurusan perhotelan lewat jalur bea siswa pemerintah.
Mohammad Tama, mahasiswa Fisip Universitas Airlangga Surabaya semester tiga, juga merasa tertekan karena sudah hampir setahun hanya berada di rumah saja. Mahasiswa yang banyak teman itu mengeluh tidak dapat bertemu dengan teman-teman kuliahnya.
“Memang bisa bertemu dengan teman-teman pakai Line, WA beramai-ramai. Tapi rasanya tetap saja beda dengan ketemu langsung,” ujar Tama. Tidak ada teman-teman kuliahnya yang tinggal dekat dengan dia.
Orang tuanya juga tidak mengizinkannya pergi keluar rumah untuk sekadar minum kopi bersama teman karena takut tertular Covid-19. Hal itu bisa ia pahami karena ia mengidap asma sejak kecil.
Tama juga tidak bisa mendiskusikan tugas-tugas kuliah dengan temannya secara tatap muka. “Sangat terbatas sekali. Kalau mau bertanya, tunggu dulu teman menjawab telepon atau membaca pesan di WA, lebih lama,” keluh dia.
Tekanan-tekanan yang terlihat sepele itu, kadang-kadang meletup menjadi pertengkaran kecil dengan adik lelakinya yang sedang menyiapkan diri untuk ujian akhir serta ujian masuk ke PTN.
Untuk mengatasi kegalauannya, Tama bermain gim daring dan nonton berbagai kanal di YouTube. “Belakangan aku jadi suka membaca, walaupun baru membaca buku-buku novel,” kata Tama yang merasa masih bisa mengatasi kegalauannya sehingga belum perlu berkonsultasi dengan psikolog.
Permintaan konsultasi melonjak
Kecemasan dan kegalauan para mahasiswa membuat layanan psikologi terutama secara daring melonjak tajam. Sejumlah mahasiswa yang merasa memiliki masalah kesehatan mental, memilih konsultasi ke biro konsultasi psikologi di kampus masing-masing.
Beberapa universitas memang memiliki biro konsultasi psikologi. Di Universitas Airlangga Surabaya, misalnya, para mahasiswa dapat berkonsultasi masalah mereka melalui dua saluran yaitu Help Desk Center yang dikelola universitas dan Unit Layanan Psikologi Fakultas Psikologi Unair secara gratis.
Dekan Fakultas Psikologi Unair Prof Dr Suryanto mengatakan, kedua layanan tersebut menjadi jembatan bagi mahasiswa dengan dosen untuk menyelesaikan masalahnya, termasuk kesulitan di masa pandemi. “Misalnya mahasiswa kesulitan mendapatkan bimbingan dosen untuk tugas akhir,” jelas Suryanto.
Di masa normal, bimbingan dilakukan secara terjadwal misalnya setiap hari Senin sehingga mahasiswa dan dosen dapat mempersiapkan diri memberikan respon dalam satu pekan. Ketika terjadi pandemi, jadwal menjadi kacau. Terkadang mahasiswa menghubungi dosen pembimbing dan menginginkan respon seketika.
“Padahal yang antrean sebelumnya sudah banyak. Waktu dosen pun sangat terbatas. Malah yang sering terjadi, kalau sudah mendekati batas waktu, para mahasiswa berbondong-bondong minta bimbingan. Help Desk dan ULP berupaya menjembatani masalah ini,” papar Suryanto.
Permasalahan lain yang dikeluhkan adalah tentang kecemasan selama pandemi dan kehilangan motivasi belajar karena bosan dan tidak tahu harus melakukan apa. Para mahasiswa yang merasa bebannya sudah berlebih, disarankan untuk berkonsultasi dengan konselor atau psikolog.
“Konselor atau psikolog biasanya memberikan treatment misalnya bagaimana belajar mengatur waktu, mengatur diri sendiri, menjaga mahasiswa agar tetap terkoneksi dengan keluarga, teman dan dosen khususnya yang sedang tugas akhir. Karena, jika mahasiswa tertekan tetapi tidak melakukan apa-apa akan membuatnya menjadi semakin stres,” jelas Suryanto.
Selain memanfaatkan layanan gratis dari kampus, ada juga mahasiswa yang memilih berkonsultasi dengan psikolog di luar kampus.
Diperkirakan jumlah mahasiswa yang datang untuk berkonsultasi psikologi di masa pandemi ini, lebih banyak dari sebelumnya. Angkanya secara keseluruhan memang belum tersedia. Namun, beberapa psikolog mengatakan, trennya naik.
Nanin Aritrana, psikolog di Rumah Sehat Psikologi Invira Humania Surabaya, misalnya, mencatat penambahan pasien yang datang kepadanya. Riliv, platform layanan curhat di dunia maya yang berkantor di Surabaya juga mendapat lonjakan subscriber hingga 50 persen selama pandemi.
Menurut Audrey Maximilian Herli, Co-Founder dan CEO Riliv, pada Februari 2020 jumlah orang yang menjadi pelanggan layanan perusahaan yang ia pimpin msih di angka 200.000-an, kini sudah mencapai 300.000-an. Mayoritas pengunjung Riliv berusia 18 tahun ke atas. “Kami bekerja sama dengan ratusan psikolog untuk melayani pelanggan Riliv,” tutur Maximilian, Minggu (10/1/2020).
Mereka umumnya konsultasi karena selama pandemi mereka merasa cemas, panik, takut dan depresi, produktivitas menurun, karier terganggu, hubungan dengan pasangan merenggang, sering bertengkar dengan orangtua, hilag motivasi belajar, sampai bingung mau konsultasi kesehatan mental kepada siapa.
Data dari Riliv itu tidak jauh dari temuan psikolog Nanin Aritrana. Pasien yang datang kepada Nanin umumnya mengeluhkan masalah akademis maupun non akademis. Kalau mahasiswa semester terakhir, selain soal skirpsi ada yang mengalami disorientasi karena kesempatan magang, menjadi relawan, dan peluang lain terbatas selama pandemi.
Sementara beberapa masalah nonakademis, misalnya, cemas berkepanjangan, bosan, kesepian, hingga rasa tidak berharga. Terbatasnya ruang aktivitas selama pandemi menimbulkan tekanan terutama bagi anak muda yang terbiasa aktif berkegiatan. Interaksi yang makin intens di rumah juga menjadi problem untuk anak muda dengan keluarga yang kurang baik relasinya.
Keluhan-keluhan psikologis seringkali muncul, mulai konflik yang terjadi sehari-hari maupun memori yang terkait dengan pengalaman kurang menyenangkan di masa lalu
“Keluhan-keluhan psikologis seringkali muncul, mulai dari konflik yang terjadi sehari-hari maupun memori yang terkait dengan pengalaman kurang menyenangkan di masa lalu. Permasalahan menjadi makin kuat jika masing-masing anggota keluarga juga mengalami masalahnya sendiri, misalnya orang tua yang kehilangan pekerjaan, mahasiswa yang mungkin terkena deadline skripsi, dan lain sebagainya,” lanjut Nanin lagi.
Menerima keadaan
Walaupun masa pandemi ini merupakan masa yang sulit dilalui, tetapi selalu ada jalan keluar. Ada kok cara untuk mengatasi tekanan-tekanan tersebut. Nanin menyebut beberapa di antaranya yakni bersikap menerima keadaan, yaitu menerima kondisi pandemi sebagai situasi yang tidak dapat dihindari. Pandemi dialami tidak hanya oleh anak muda di kota atau negara tertentu, tapi hampir semua orang di planet ini mengalami situasi sulit ini.
“Acceptance dan growth mindset, tidak menyalahkan keadaan, tidak pula bersikap masa bodoh. Pahami dan terima semuanya apa adanya. Semakin tinggi penerimaan pada situasi ini, semakin tinggi pula kemampuan untuk menjalani, melalui, dan melakukan upaya terbaik,” kata Nanin lagi.
Sikap lain yang dapat menjadi jalan keluar dari keadaan ini adalah memahami karakter dan kebutuhan diri sendiri. “Jika ada masalah, cari solusi yang realistis dan kreatif, dan mungkin produktif. Lakukan hobi baru, aktivitas baru, relasi baru, atau keterampilan baru. Jika tidak, lanjutkan dan selesaikan apapun yang telah dan sedang dilakukan. Jeda mungkin diperlukan, namun jangan berpikir untuk berhenti dari \'rute perjalanan\' yang telah dilewati,” lanjut Nanin membagi tipsnya.
Menurut Nanin, situasi ini juga dapat menjadi pemicu anak-anak muda untuk melihat pada gambaran yang lebih besar. Untuk mengenali apa yang ingin dicapai dalam 10, 20, 30 tahun mendatang.
“Pandemi ini adalah salah satu fase dalam rangkaian proses panjang. Jika beberapa bulan ini seperti fase hibernate, maka lihat kembali semua yang telah dilalui dan berikan apresiasi pada diri sendiri. Selanjutnya, mulai fase restart. Rencanakan kembali, dan segera bergerak lagi, dari hal-hal kecil yang masih ada di dalam kendali,” ujar Nanin sembari tersenyum. (LSA/TRI/JOE)