Banyak Ragam Cara Jaga Harga Garam
Terpuruknya harga garam di tingkat petani bagai dongeng tahunan yang terus berulang. Beragam cara digagas agar kondisi itu tak selalu hadir menyiksa manusia yang bergantung hidup padanya.
Terpuruknya harga garam di tingkat petani bagai dongeng tahunan yang terus berulang. Beragam cara digagas agar kondisi itu tak selalu hadir menyiksa manusia yang bergantung hidup padanya.
Hamparan kristal garam siap panen terbentang dalam kolam-kolam di Desa Ciparagejaya, Kecamatan Tempuran, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, awal September. Kilaunya memutih seperti butiran kristal. Elok dipandang, apalagi diabadikan sebagai tempat selfie memacak diri di media sosial. Namun, bagi para petaninya, nasib tak seindah gemerlap dunia maya.
Tangan Waryono (40), pembudidaya garam, memperlihatkan kegetiran itu. Dia gesit mengeruk adonan garam di atas karpet tambak (geomembran). Di meja kristal berukuran 20 meter x 4 meter itu terdapat adonan berumur sepuluh hari yang siap untuk dipanen. Dalam sehari setidaknya ia mampu mengumpulkan sekitar satu ton garam.
Baca Juga : Kemarau Saatnya Panen Garam
Tanpa pekerja tambahan, ia mengolah garam mulai dari air laut hingga menjadi kristal garam di lahan seluas 2,7 hektar. Itu semua dilakukan sendiri karena biaya operasional dan kebutuhan harian pekerja tambak yang dikeluarkan tak sedikit, yakni Rp 150.000 per orang per hari.
“Terpaksa digarap sendiri, karena uang hasil penjualan tidak cukup untuk membayar upah buruh,” katanya sambil menyeka keringat di pelipis.
Musim ini, jadi ujian bagi Waryono dan pembudidaya garam lainnya. Harga panen kali ini lebih murah dibandingkan periode sama tahun lalu. Pada Juni 2018, harga garam di tingkat petani, Rp 1.500-Rp 2.000 per kg. Penurunan harga mulai terjadi saat puncak musim produksi garam pada September 2018. Saat itu, harga garam mulai turun antara Rp 800-Rp 1.000 per kg.
Sempat menyentuh Rp 600-Rp 700 per kg, harganya anjlok lagi di bulan September menjadi Rp 300-Rp 350 per kg. Kondisi tersebut membuat sejumlah anggota pembudidaya garam tidak bergairah memproduksi garam pada musim ini.
"Harga garam sekarang bikin hati ini perih," ujar Waryono.
Ahmad Bakri (39), petani garam di Desa Pasirjaya, Kecamatan Cilamaya Kulon, mengatakan, mulai putus asa melihat harga garam yang terus merosot. Kondisi ini membuat dirinya terus berpikir, bagaimana menutup biaya operasional dan kebutuhan harian para pekerja tambak.
Di lahan pengolahan garam seluas lima hektar, Bakri menghabiskan biaya produksi sekitar Rp 300- Rp 400 per kg. Jika harga garam terus merosot mendekati ongkos produksi atau di bawahnya, otomatis dia tidak mendapatkan untung sama sekali.
“Harga garam sekarang bukan lagi disebut anjlok, ini mah harganya hancur,” kata Bakri.
Potensi
Kepedihan para pembudidaya garam ini tak boleh dibiarkan berlarut. Seharusnya, ada beragam cara dilakukan untuk menjaga hal itu tidak menyiksa. Di Karawang, alternatif menjadikan kawasan tambak garam jadi kawasan wisata digagas. Potensi wisata edukasi bisa diangkat dari proses pembuatan garam tersebut.
Mengenalkan kepada generasi muda dan masyarakat terkait seluk-beluk pembuatan garam dinilai dapat menjadi daya tarik tersendiri. Apalagi tidak banyak masyarakat yang tahu bagaimana proses pembuatan garam. Ada serangkaian proses yang dilakukan untuk mengolah air laut menjadi kristal garam. Pesisir utara Karawang bagian timur menyajikan tambak-tambak garam dengan proses tradisional maupun modern.
Baca Juga : Naik Bingung Turun Limbung
Saat Kompas mendatangi lokasi tambak, mayoritas pembudidaya garam tampak luwes menjelaskan tahap demi tahap proses pembuatan garam. Mereka yang terjun langsung ke lapangan selalu menyimpan kisah menarik. Sorot mata mereka juga berapi-api yang menandakan antusiasme mereka dalam berbagi ilmu dan pengalaman cukup tinggi.
Di bibir Pantai Cibendo, Daeri (60), pembudidaya garam lainnya, sedang menggulung selang plastik berdiameter 15 sentimeter sepanjang 20 meter ke tongkat bambu. Selang itu digunakannya untuk mengambil air laut yang dimasukkan ke dalam kolam air muda.
Setelah terisi penuh, ia pun berjalan menyusuri kolam-kolam tambak tanpa menggunakan alas kaki. “Air laut tadi dialirkan ke dalam beberapa kolam ulir sebelum berakhir di meja pengkristalan,” kata Daeri sambil menunjuk kolam tambak.
Di lahan seluas 2,5 hektar terdapat beberapa jenis kolam, antara lain saluran primer, kolam air muda, kolam ulir, kolam air tua, dan meja kristal. Petak kolam Daeri masih beralaskan tanah, berbeda dengan petak di sekitarnya yang lebih banyak menggunakan geomembran. Keduanya memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing.
Di usianya yang tak lagi muda, dia begitu energik memastikan air larutan garam di setiap kolam dalam kondisi aman. "Aman" yang dimaksud adalah larutan air garam tidak melewati batas kolam, sehingga larutan tidak tercampur dengan kolam lainnya. Sebab setiap kolam memiliki tingkat kekentalan yang berbeda. Semakin tinggi angka kekentalannya menunjukkan larutan siap untuk dialirkan ke meja kristal.
Proses penuaan larutan air garam memerlukan waktu sekitar seminggu. Setelah mencapai kekentalan, air tua dialirkan ke meja kristal dan didiamkan sekitar 3- 5 hari. Sementara pada meja kristal yang menggunakan geomembran membutuhkan waktu pengeringan lebih kurang sepuluh hari.
Suara putaran kincir angin, gesekan tongkat pengaduk garam, dan deburan ombak memecah keheningan di area tambak garam. Di sela-sela aktivitasnya, Daeri mengaku senang jika ke depan, tambak garamnya dapat dimanfaatkan sebagai tempat wisata edukasi. “Suasana tambak pasti tak lagi sepi. Apalagi bisa menambah pemasukan saat harga garam sedang anjlok,” ucapnya sambil tersenyum.
Suasana tambak pasti tak lagi sepi. Apalagi bisa menambah pemasukan saat harga garam sedang anjlok
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Karawang Okih Hermawan akan mempelajari potensi tersebut lebih lanjut. Karawang tengah mengembangkan potensi wisata bahari yang dimilikinya. Ekowisata tanaman bakau dan terumbu karang adalah sebagian wisata bahari yang menjadi daya tarik.
Pencarian alternatif pasar juga hendak dilakukan. Sekretaris Dinas Perikanan Karawang Sari Nurmiasih mengatakan, akan berkoordinasi dengan pelaku industri pengguna garam di sekitar Karawang, seperti tekstil, rubber, plastik, agar mau menyerap garam rakyat.
"Kami mendorong pembuatan surat edaran bupati yang berisi himbauan kepada pelaku usaha pengguna garam agar mau menyerap garam lokal," katanya.
Lela Nurlaela (40), produsen garam treatment My Salt Karawang, sudah memulainya terlebih dahulu. Kini, dia membutuhkan setidaknya 400 kilogram garam per bulan yang ia ambil dari pembudidaya garam di pesisir utara Karawang. Karakteristik garam yang digunakan adalah garam dengan penjemuran di atas sepuluh hari. Menurut dia, garam tersebut memiliki bentuk dan tingkat kekeringan yang maksimal
Bahan dasar garam treatment produksinya dibeli dari pembudidaya lokal di Karawang. Biasanya ia membeli garam dari pembudidaya langsung seharga Rp 1.000 per kg. Harga ini lebih tinggi daripada harga garam saat anjlok.
Komposisi produknya terbuat dari garam, minyak zaitun, pewarna, dan minyak esensial. Garam olahannya dapat dimanfaatkan sebagai rendaman kaki, menghilangkak bau kaki, dan mengatasi pegal-pegal.
Harga yang dipatok untuk setiap produk sekitar Rp 15.000 per 150 gram- Rp 30.000 per 300 gram. Dalam sebulan ia mampu mengumpulkan omzet Rp 20 juta- Rp 30 juta. "Garam rakyat apabila diolah dapat meningkatkan nilai tambah, sehingga bisa membantu para petani,” ujarnya.
Kreativitas sekali lagi dibutuhkan untuk mendukung garam terus menghidupi. Lebih dari sekedar komoditas, panen garam ideal menjadi energi untuk kehidupan para pembuatnya.