78 Persen Pemegang Izin Berbasis Hutan dan Lahan Tidak Patuh
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 78 persen pemegang izin berbasis hutan dan lahan belum memberikan laporan pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Pemerintah masih memberi waktu bagi perusahaan kebun dan hutan tersebut untuk menjalankan kewajiban tersebut.
Kewajiban perusahaan pemegang izin berbasis lahan memberikan laporan pengendalian kebakaran hutan dan lahan (karhutla) diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 32 Tahun 2016. Ketidakpatuhan perusahaan-perusahaan tersebut dinyatakan pemerintah sebagai indikasi kurangnya perhatian dari pemegang izin usaha kehutanan untuk mengantisipasi kejadian karhutla di arealnya.
“Apabila (tetap) tidak melakukan kewajibannya, kemudian kami lakukan uji kepatuhan belum juga dilaksanakan, selanjutnya (Ditjen) Penegakan Hukum yang akan turun,” kata Ruandha Agung Sugardiman, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang membawahi Direktorat Pengendalian Karhutla, Jumat (20/9/2019), di Jakarta. Pelaporan yang bersifat mandatori ini telah dipermudah pelaporannya karena sudah berbasis Web Base Sistem Pelaporan Online Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.
Ruandha menyebutkan 22 persen pemegang izin usaha berbasis lahan dan kebun yang mematuhi pelaporan tersebut tersebut berjumlah 2.179 unit atau perusahaan. Pemegang izin yang sudah patuh tersebut terdiri dari pemegang izin logging (penebangan) 254 unit pemegang izin penebangan, 295 unit pemegang izin hutan tanaman, 16 unit pemegang izin restorasi ekosistem, 839 unit pemegang izin penggunaan kawasan hutan, dan 775 unit izin perkebunan.
Sebanyak 22 persen pemegang izin usaha berbasis lahan dan kebun yang mematuhi pelaporan tersebut tersebut berjumlah 2.179 unit atau perusahaan.
Ia mengatakan laporan tersebut berisi rangkaian kegiatan yang harus dipenuhi pemegang izin mulai dari peningkatan sumberdaya manusia, peningkatan sarana prasarana, dan dukungan manajemen. Laporan itu terdiri dari laporan karhutla insidentil yang harus disampaikan oleh pemegang izin bila terjadi kebakaran dan laporan rutin yang terdiri dari laporan bulanan dan tahunan.
Ruandha meminta pemegang izin usaha kehutanan semakin meningkatkan perhatiannya dalam masalah pengendalian karhutla dengan terus bekerja sama, bersinergi dengan pemerintah dan masyarakat hingga ke tingkat tapak di lapangan. Karena ada konsekuensi penegakan hukum jika terbukti ada perusahaan yang lalai dalam menjaga arealnya dari karhutla.
"Dengan adanya sinergitas dan kerja nyata sampai di tingkat tapak yang didukung masyarakat dan dunia usaha, upaya pengendalian kebakaran akan menjadi lebih ampuh dan berhasil guna," imbuh Rhuanda.
Pembukaan lahan
Selain KLHK, Kementerian Pertanian juga menghimbau kepada pemegang izin usaha perkebunan dan masyarakat untuk melakukan pembukaan lahan tanpa bakar sesuai Peraturan Menteri Pertanian No 5/2018 tentang Pembukaan dan/atau Pengolahan Lahan Perkebunan tanpa Membakar. Ini karena karhutla yang kembali menguat di tahun 2019 diduga salah satunya didorong oleh upaya membuka lahan dengan pembakaran. Pemerintah melalui Permentan tersebut memberikan arahan agar pemegang izin usaha kehutanan dan perkebunan serta masyarakat dapat melakukan pembukaan lahan tanpa pembakaran.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia Purwadi Soeprihanto mengatakan lebih dari 90 persen pemegang izin kehutanan yaitu logging (hak pengusahaan hutan/HPH/IUPHHK-Hutan Alam), hutan tanaman, dan restorasi ekosistem telah menjalankan kewajiban terkait karhutla tersebut. Ia mencontohkan dari total 260 unit usaha logging, sebanyak 254 unit telah melaporkan. “Yang banyak belum melaporkan justru perkebunan,” kata dia.
Purwadi pun mengakui terdapat sejumlah anggota APHI yang telah disegel oleh aparat Ditjen Gakkum KLHK terkait kebakaran hutan dan lahan. “Kami sudah meminta klarifikasi bagaimana yang terjadi di lapangan kepada kawan-kawan (anggota APHI) yang disegel. Yang terjadi di lapangan hampir semua (kebakaran) berada di area konflik baik perambahan dan sebagainya,” kata dia.
Yang terjadi di lapangan hampir semua (kebakaran) berada di area konflik baik perambahan dan sebagainya.
Satu di antara perusahaan kehutanan yang disegel KLHK yaitu perusahaan restorasi ekosistem PT Alam Bukit Tigapuluh (ABT) di Jambi. Perusahaan yang berelasi dengan WWF Indonesia ini ditemukan kebakaran pada blok II. Terkait hal ini, Dody Rukman, Direktur Utama PT Alam Bukit Tigapuluh (PT ABT) mengatakan lokasi pada blok II tersebut sejak awal telah “bermasalah” karena merupakan areal perambahan dan illegal logging (pembalakan liar). Ia menyebut hal itu dilakukan oleh sekelompok orang yang terorganisir.
Pada 13 September 2019 dilakukan pemasangan garis pita Pembatas Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS Line) untuk mengamankan kawasan tersebut guna kebutuhan penyelidikan dan penyidikan. “Kami respon positif supaya kita mengetahui penyebab utama, motif, dan pelaku kebakaran hutan dan lahan yang sebenarnya,” kata Dody.
Aditya Bayunanda, Komisaris PT ABT yang juga Direktur di WWF Indonesia mengatakan lokasi restorasi ekosistem ini penting untuk menyangga TN Bukit Tiga Puluh. Lokasi restorasi ekosistem tersebut berada di dataran rendah sehingga menjadi habitat gajah sumatera dan harimau sumatera dan beberapa kali menjadi tempat pelepasliaran orangutan sumatera. “Kami tidak keberatan bila diminta untuk mundur (dilakukan addendum/perubahan izin) tapi kami akan berjuang mati-matian untuk habitatnya tetap terjaga,” kata dia.