Geleng-geleng Dibuai Diva Tarling Dangdut Pantura
Dian Anic dan Diana Sastra adalah diva-diva tarling dangdut pantura. Meski manggung di hajatan pelosok desa, pertunjukannya disiarkan langsung via "live streaming", termasuk sawerannya. Hajatan 4.0 yang bikin takjub.
Penyanyi pop dunia sekelas Taylor Swift atau Miley Cyrus boleh saja punya penggemar di berbagai negara. Tetapi, di pantura, Dian Anic dan Diana Sastra lah juaranya.
Nama keduanya berkibar lewat musik tarling (gitar-suling) dangdut, terutama di pelosok pantai utara (pantura) Jawa Barat. Akhir September 2019, kami berkesempatan mengikuti aktivitas Dian Anic, diva tarling dangdut pantura.
Kami menemaninya sejak pagi hingga hari berganti. Tim peliputan terdiri dari Kepala Desk Komunitas Budi Suwarna, Kepala Desk Digital Visual Lucky Pransiska, wartawan Dwi Bayu Radius, produser Adita Nanda, dan saya sendiri.
Satu kilometer sebelum rumah Dian Anic di Desa Gebang Ilir, Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon, Jabar, kami dihadang kemacetan, Kamis (19/9/2019) pagi.
Pasar ikan di daerah nelayan itu memang kerap dilanda kepadatan. Pedagang mengokupasi bahu jalan, mengambil tempat di antara truk, bus, dan kendaraan pribadi lainnya.
Beruntung, kami bisa sampai tujuan sebelum pukul 10.00, sesuai janji. Papan biru bertuliskan Anica Nada, grup musik Dian Anic, terpasang di depan rumah yang tengah dibangun. Sisanya, hanya tampak beberapa tukang bangunan yang tengah duduk-duduk di atas susunan batu bata di dekatnya.
“Rumahnya di seberang jalan, Mas. Yang itu rumah mertua. Maaf ya, saya baru bangun. Baru pulang dari Subang tadi subuh,” kata Heri Kurniawan (40), suami sekaligus manajer Dian Anic, melalui sambungan telepon.
Pandangan kami pun mengarah ke sebuah rumah besar bertingkat yang ditopang empat pilar kokoh, berlantaikan marmer. Persis seperti rumah mewah yang kerap muncul di berbagai sinetron stasiun televisi swasta.
Di garasinya yang dilengkapi kamera pengawas, terparkir mobil Toyota Fortuner putih. Jenis mobil yang kerap dipakai para pejabat, seperti Wali Kota Cirebon Nasrudin Azis.
“Jadi penyanyi dangdut pantura aja, ah,” celetuk salah satu dari kami setelah melihat berbagai kemewahan itu.
Entah ia bercanda atau serius, namun kami menyambutnya dengan tawa. Lalu, tiba-tiba hening ketika asisten rumah tangga Dian Anic menghampiri dan mengabarkan bahwa tuan rumah sedang bersiap.
Selama sejam kemudian, kami ditemani kicauan burung murai, jalak, dan nuri. Tidak masalah. Lebih baik wartawan menunggu narasumber daripada sebaliknya.
Apalagi, sebagian besar dari kami belum mengenal dengan baik Dian Anic. Saya sendiri pernah berjumpa sekali dengan Dian saat tampil di pelosok desa di selatan Cirebon pertengahan 2017 lalu. Saat itu, Kompas sedang menulis tentang dangdut.
Kala itu, Dian tengah naik daun berkat lagunya, "Rebutan Lanang", yang laku 20.000 keping cakram padat (CD) meski belum setahun diluncurkan. Di kanal YouTube, video klip yang diambil dengan kamera nirawak (drone) itu sudah ditonton sekitar 13 juta kali! Tidak banyak artis (pantura) bisa mencapai prestasi serupa.
Sensor jari di kamar
Dua tahun tidak pernah berkomunikasi, Dian ternyata tetap membalas pesan saya ketika berencana meliput aktivitasnya. Namun, karena sibuk manggung, ia meminta saya mengontak Heri.
Awalnya, Heri agak ragu ketika saya mengajukan izin mengambil gambar Dian di rumah sebelum pentas. “Kami enggak bayar, kan?” tanya Heri memastikan bahwa liputan kami gratis, bukan iklan.
“Enggak. Bisa meliput keseharian Mbak Dian saja sudah syukur sekali,” kata saya disambut Heri dengan tawa.
Jangankan meminta uang, menerima uang dari narasumber adalah hal terlarang di tempat kami bekerja. Setelah menunggu, akhirnya Heri keluar dari balik pintu tinggi rumahnya dan menyalami kami satu per satu.
Kami diterima di ruang tamu rumahnya yang berisi sofa empuk. Di dindingnya, terpajang pigura yang membingkai album Dian Anic dan penghargaan sebagai penyanyi wanita terpopuler versi Radar Cirebon Televisi. Sedangkan dinding bagian rumah lainnya, hampir seluruhnya berhias wallpaper.
Di lantai bawah, tampak meja dengan kursi tinggi seperti di bar atau kafe. Di lantai atas, Dian sedang berdandan di sebuah ruangan khusus yang hampir seluruh bagiannya berisi lemari dengan cermin.
Sepatu kets hingga berhak tinggi tersedia di sana. Dian tidak punya penata rias khusus. Ia berdandan sendiri sambil ditemani lagu-lagunya dari pengeras suara. Semua aktivitas itu kami rekam.
Tidak jauh dari ruangan itu, tampak dua sofa putih besar bak singgasana raja. Di antara kedua sofa, terdapat meja dan jendela putih dengan latar wallpaper abu-abu dan motif serupa bunga. Ini mirip di studio foto. Foto pernikahan Heri dan Dian juga terpajang di sana.
Tepat di samping sofa, ada kamar Dian dan Heri. Hanya mereka berdua yang bisa masuk ke sana karena kunci kamar yang digunakan bukan kunci biasa, melainkan sensor sidik jari mereka. Kata Heri, kamar adalah ruang istirahat dan privasi. “Iya, pakai sensor jari kami,” ucapnya menegaskan.
Bukan apa-apa, hampir seluruh hari-hari mereka dihabiskan dari panggung ke panggung. Berangkat pagi, pulang bisa subuh hari.
Selama mengobrol, Heri meminta kami mengeraskan suara. Saking seringnya berada di dekat pelantang suara saat pentas, membuat telinganya sulit menangkap suara kecil.
Heri bercerita, pencapaian istrinya tidak datang dalam satu dua hari, tetapi bertahun-tahun. Dian mulai terjun ke industri tarling dangdut sejak 2006. Sebelumnya, semasa SMA, ia vokalis band ber-genre pop.
Album perdananya, "Winduswara" yang berisikan 10 lagu ciptaan orang lain, tidak meledak. Dian pun hanya menjadi penyanyi tunggal kalau ada undangan hajatan, seperti pernikahan.
Lapangan pekerjaan
Namun, ia tidak menyerah. Lewat lagu "Ngerangkul Gunung" di album ketiga, pada 2009 namanya mulai dikenal. Panggilan manggung mulai berdatangan. Ia pun dengan percaya diri membuat grup Anica Nada yang beranggotakan sepuluh musisi, termasuk empat atau lima penyanyi perempuan pendukung.
Jika digabung dengan pekerja panggung dan tim kamera, jumlah anak buahnya kini mencapai 50 orang. Anak nelayan Gebang tersebut telah berhasil membuka lapangan pekerjaan baru.
Karier Dian Anic semakin moncer ketika lagu "Rebutan Lanang" meledak dua tahun lalu. Kini, panggung mencarinya. Panggilan untuk pentas yang tadinya hanya belasan kali dalam sebulan, sekarang nyaris penuh. “Bahkan, jadwal sampai September tahun depan sudah ada,” kata Heri.
Tarifnya sekali manggung untuk wilayah Cirebon berkisar Rp 28 juta, termasuk biaya sound system dan panggung yang digarap grupnya. Di Indramayu, tarifnya bisa Rp 30 juta, tergantung jarak. Ini belum termasuk uang sawer yang diperoleh saat manggung yang jumlahnya bisa jutaan rupiah.
Uang itu kemudian dibagi untuk seluruh anggota grup Anica Nada, juga untuk membayar ongkos sewa bus dan truk yang mengangkut perlengkapan panggung. Kami sempat menanyakan, untuk apa warga menghabiskan puluhan juta rupiah "hanya" untuk mengundang Anica Nada.
Dian yang telah siap dengan rambut lurus dan lensa kontak biru, lalu mengajak kami ke Blok Kemlaten, Desa Arahan Kidul, Kecamatan Arahan, Kabupaten Indramayu, sekitar 60 kilometer dari rumahnya. Ia memenuhi permintaan pentas pada hajatan pernikahan Nandang Adi dengan Desye Ratnasarie.
Mengingat Dian tak lagi bisa diganggu saat manggung, Lucky dan Adita kemudian meminta izin untuk merekam wawancara Dian selama perjalanan bermobil. Ia dengan senang hati menyetujuinya. Hasil wawancaranya bisa dilihat di saluran YouTube Kompas.id.
Setelah sampai di tujuan, Dian turun dari mobil seharga sekitar setengah miliar rupiah itu, lalu melintasi jalan setapak sebelum naik ke panggung yang didirikan di atas saluran irigasi dengan sejumlah drum. Sorak penonton dari bawah panggung, pinggir saluran irigasi, hingga jalan raya membahana ketika cengkok Dian mulai terdengar.
Penonton dan keluarga pemilik hajat turut naik ke panggung untuk berjoget sekaligus memberikan saweran kepada Dian. Ada yang menyawer dengan uang pecahan Rp 2.000, Rp 5.000, hingga Rp 100.000. Uang itu dikumpulkan dalam sebuah dus oleh seorang anggota grup.
Setiap menerima duit, Dian tidak lupa menyebutkan nama penyawer. Misalnya, bos TIKI (jasa pengiriman barang), bos FIF (jasa kredit), dan bos vespa kuning (pemilik motor vespa berwarna kuning) merupakan sederet nama yang ia sebut.
Penyawernya bisa saja hanya karyawan biasa di sebuah perusahaan, tetapi tetap dipanggil bos. Tentu saja yang dipanggil merasa senang. Kapan lagi, seorang karyawan di pelosok desa dipanggil \'Bos\'?
Selama Dian tampil, aparat keamanan desa harus memastikan keamanan sang diva, termasuk agar tidak terjadi keributan di atas panggung. Namun, jangan kira tampilan Dian seksi dengan goyangan yang seronok.
Meski menyanyikan irama tarling dangdut, tampilannya tetap santun. Lihat saja gaunnya yang tidak ketat dan panjangnya di bawah lutut. Yang "seksi" hanyalah suaranya. Nadi di lehernya bahkan terlihat ketika nada suaranya meninggi, seperti saat menyanyikan lagu “Kecewa”. Pendengarnya dijamin tak akan kecewa.
Bau minuman keras
Dian tampil setelah ashar hingga menjelang magrib dan dilanjutkan lagi sekitar pukul 21.00 – 23.00. Selama jeda, Dian beristirahat di rumah tuan hajat sekaligus berganti kostum. Sesekali ia melayani permintaan penggemarnya untuk berfoto bareng. Nyaris tidak ada barikade antara penyanyi dan penggemar.
Ketika malam tiba, saat kami melintasi saluran irigasi menuju panggung, tercium aroma minuman keras di tengah kegelapan. Mungkin kondisi ini yang membuat polisi dan tentara yang berjaga lebih banyak jumlahnya dibandingkan pada sore hari.
Penonton saat itu tak lagi boleh naik ke panggung untuk berjoget dan nyawer. Kalau pun ada, hanya pemilik hajat yang diizinkan. Kebijakan itu diambil aparat keamanan untuk mencegah keributan saat berjoget di panggung.
Akan tetapi, sejumlah penonton masih saja menyawer lewat samping panggung dengan memanjat. Dian pun mengarah ke sana. Di titik inilah, terdengar ucapan, “Bos Taiwan. Sing duwe (yang punya) Taiwan”.
Dian Anic merujuk kepada Dian Oktopiani, pekerja migran Indonesia asal Arahan yang menjadi asisten rumah tangga di Taiwan. Dian Anic mengucapkan itu sembari menerima berlembar-lembar uang pecahan Rp 2.000 dan Rp 5.000 dari Karnoto (37), kakak Dian Oktopiani.
“Dia (Oktopiani) suka sekali dengan Dian Anic. Makanya, minta kakaknya untuk nyawer supaya namanya disebut,” ucap Tarwita (66), yang sudah setahun tidak bertemu dengan Oktopiani, anaknya.
Beginilah formula sawer terbaru. Untuk request lagu atau meminta atensi namanya disebut, bisa melakukan sawer meski tidak berada langsung di atas panggung. Cukup terhubung dengan jaringan internet.
Anica Nada akan melakukan pertunjukan langsung via saluran YouTube Anica Nada Channel. Pertunjukan dimulai siang hari dengan dukungan lima kamera, termasuk dua kamera GoPro untuk merekam dan menyiarkan aksi Dian Anic.
“Kamera saya kalah keren,” kata saya membatin.
Baca juga: Membuka Jalan Kemanusiaan Bagi Seniman Pengidap Kanker
Terjadi jeda waktu 30 detik pada pertunjukan di YouTube. Seorang operator yang bersiaga di belakang panggung dengan modem jaringan internet, butuh waktu untuk memasukkan judul lagu di layar kaca.
Dia pula yang mengganti-ganti gambar dari lima mata kamera setiap beberapa detik, persis seperti kerja tayangan langsung di televisi.
Dia sekaligus menyunting komentar-komentar tak layak di percakapan live streaming, seperti umpatan. Peran moderator memang dibutuhkan di tengah “hutan rimba” media sosial. Apalagi, semakin malam, jumlah penonton dan komentarnya semakin bertambah.
Maklum, saat itu pekerja migran Indonesia sudah lepas dari tugas pekerjaan. Hingga saat ini, jumlah penonton live streaming Dian Anic paling tinggi mencapai 1.968 akun.
Kemajuan teknologi digital telah mengubah lanskap industri tarling dangdut pantura. Penonton yang rindu dengan bintang dangdut pujaannya tidak lagi harus memutar video CD, tetapi bisa menonton langsung aksi sang bintang dari manapun, selama koneksi internet lancar.
Baca juga: Penuh Debar Mengemudikan "Lead Car"
Meski tidak menonton langsung, penonton tetap bisa menyawer dengan cara menitipkan atau meminjam uang dari teman dan keluarga di lokasi atau mengirimkan pulsa ke sang artis. Biasanya pulsa Rp 100.000.
Ada pula yang mentransfer sejumlah uang langsung ke rekening sang penyanyi. Setelah ditransfer, si penyanyi akan memakai dulu uang tunai miliknya untuk dibagi kepada anggota grup dengan persentase yang telah disepakati.
“Lebih enak sekarang karena ada live streaming. Ada yang pernah transfer Rp 500.000. Dia minta nomor rekening melalui WhatsApp. Banyak juga yang mengirimkan oleh-oleh dari luar negeri. Saya pernah dapat sepatu yang pajak masuknya saja Rp 600.000,” kata Dian.
Anica Nada mulai memanfaatkan live streaming tiga tahun terakhir seiring keinginan tuan hajat. Awalnya, Anica Nada harus merogoh sekitar Rp 2 juta setiap tampil untuk menyewa jasa live streaming.
Namun, empat bulan terakhir, mereka bikin sendiri dengan modal Rp 60 juta. Live streaming juga telah menerbangkan Dian Anic ke Taiwan dan Hongkong atas permintaan penggemarnya.
Hajatan 4.0
Heri dan Dian meraup sumber pemasukan baru dari live streaming. Rekaman video siaran langsung itu kemudian dipecah per lagu. Lalu diunggah ke YouTube keesokan harinya.
“Jumlah uang dari YouTube masih kecil, Rp 10 jutaan per bulan. Tetapi, ini masih bisa naik,” kata Heri.
Cara baru menghasilkan pundi-pundi rupiah mulai menggeser penjualan CD yang dilakukan saat manggung. Itu sebabnya, jasa live streaming yang juga dikenal dengan home production (HP) semakin menjamur di pantura, khususnya Indramayu.
“Di Desa Lombang saja, ada enam HP. Kalau di Indramayu, sekitar 100 HP,” ucap Turman (30), warga Blok 1 Rawa, Desa Lombang, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu.
Baca juga: Stigma Mendorong Saya Meliput tentang Prostitusi
Tiga bulan lebih sudah, Turman yang anak petani itu membangun bisnisnya. Turman rela menolak permintaan perpanjangan kontrak kerja dari perusahaan kabel di Korea Selatan. Padahal tawaran gajinya mencapai Rp 25 juta per bulan. Ini jauh lebih besar dibandingkan upah minimum kabupaten Indramayu yang sekitar Rp 2,1 juta per bulan.
“Saya dikatain goblok sama teman karena enggak melanjutkan kontrak itu,” ujar Turman yang menjadi pekerja migran sejak Juni 2016 hingga awal 2019.
Ia paham, mengadu nasib ke luar negeri menjadi incaran warga yang kesulitan menata hidup di Indramayu, daerah lumbung padi yang memiliki areal sawah lebih dari 114.000 hektar.
Akan tetapi, pendiri KR (Korea) Production ini bergeming. Tabungan Rp 200 juta hasil merantau dijadikan modal untuk mendirikan usaha. Jika dulu ia anak buah, sekarang ia menjelma menjadi bos dengan empat orang anak buah. Mereka telah dilatih cara pengambilan gambar saat live streaming, seperti tidak merekam obyek yang membelakangi kamera.
Tarif jasa live streaming berbeda-beda, sesuai acara dan alat yang digunakan. Biasanya, untuk hajatan dengan organ tunggal pada siang hingga malam hari dipatok sekitar Rp 1,7 juta. Adapun hajatan dengan sandiwara dan tarling mencapai Rp 2,5 juta. Sedangkan untuk acara hajatan desa, biayanya Rp 600.000 – Rp 1 juta.
Baca juga: Jatuh Terjengkang Saat Liputan Maraton
Melihat fenomena ini, saya begitu takjub. Hajatan di pelosok desa pun kini memasuki era hajatan 4.0. Semuanya menggunakan paket data, internet, dan telepon pintar demi keinginan eksis di dunia maya.
Budayawan Indramayu Supali Kasim menilai, fenomena sawer online dan hajatan 4.0 tersebut merupakan cara pelaku tarling dangdut beradaptasi dengan zaman. “Kesenian rakyat ini majikannya masyarakat. Apa yang disukai masyarakat, kesenian ini harus mengikuti,”ucapnya.
Bagi Ketua Umum Lembaga Musik Seniman Pantura (L-Musentra) Adung Abdul Gani, fenomena ini adalah buah dari kompetisi. Masing-masing seniman ingin terus berkarya membuat pembeda, salah satunya dengan live streaming. “Intinya, ini kan bisnis jasa. Mereka ingin memberikan pelayanan terbaik,” papar Adung yang juga penyanyi dan pencipta lagu.
Saya tercengang mendengar pandangan mereka. Sepertinya pemerintah harus belajar pada seniman tarling dangdut dan pemilik jasa live streaming di pantura. Digitalisasi mendorong mereka memberikan pelayanan yang terbaik, bukan malah sebaliknya.
Lalu bagaimana pelayanan publik di daerah yang katanya sudah terpapar digitalisasi? Apakah membaik?
Baca juga: Bergulat dengan Bau Menyengat di Pesisir Karawang
Beberapa hari setelah kami belajar dari industri tarling dangdut, Bupati Indramayu Supendi ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia menyusul Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra yang sudah lebih dulu mendekam di penjara pada 2018 karena terbukti korupsi.
Ini kemudian mengingatkan saya pada lagu Dian Anic yang berjudul "Kecewa". Liriknya tentang kekasih yang ingkar janji saat bekerja di tanah rantau.
Nok ngupahi janji
Nangapa Sira tega
Ibarat tebu di met manise bae
Dibuang ampase di met gulane
Kecewa Oh sungguh kecewa