Pupuk Kesadaran yang Renta di Hulu Citarum
Sungai Citarum kian berbenah. Lahan kritis dihijaukan. Sungai dibersihkan dari sampah-sampah. Saluran limbah industri ilegal ditertibkan. Namun, kesadaran masyarakat harus dibangun agar Citarum kembali harum.
Sungai Citarum kian berbenah. Lahan kritis dihijaukan. Sungai dibersihkan dari sampah-sampah. Saluran limbah industri ilegal ditertibkan. Namun, tanpa kesadaran masyarakat menjaga lingkungan, pemulihan Citarum yang dicanangkan Presiden Joko Widodo, sejak 2018 hingga tujuh tahun ke depan rentan terancam.
Perwira Seksi Pengamanan Operasi Sektor Pembibitan Satgas Citarum Harum Letnan Dua Agus Reka mendadak berang, Senin (20/1/2020). Dia beranjak dari tempat duduknya saat mengetahui ada petani menanam sayur di zona merah hulu Citarum di Kertasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Petani itu bernama Komar (52). Dia nekat menanam kol di lahan seluas 6.000 meter persegi. Lahan di kawasan Petak 73 milik Perhutani itu berada di ketinggian sekitar 1.700 meter di atas permukaan laut.
Artinya, kawasan itu termasuk dalam zona merah program rehabilitasi Citarum.
Lahan itu idealnya hanya diperuntukkan menanam pepohonan. Tujuannya menahan air sekaligus mencegah longsor.
Akan tetapi, mencoba mengesampingkan kegeramannya, Agus lantas menjelaskan kepada Komar. Lahan itu tidak boleh ditanam sayur.
”Bapak dapat izin dari mana menanam sayur di lokasi itu? Siapa ketua KTH (kelompok tani hutan) di sana?” tanyanya.
Komar kebingungan menjawab pertanyaan itu. Bahkan, dia mengaku tidak mengetahui adanya KTH.
Agus tak percaya begitu saja. Dia kemudian meminta anak buahnya menjemput Ketua KTH Petak 73, Emin (54). Setelah dicek, Emin mengaku kenal dengan Komar. Namun, Komar tidak terdaftar sebagai petani penggarap di lahan tersebut.
”Berarti ini garapan ilegal. Kalau dibiarkan, yang lain akan merajarela. Petani seperti ini harus diedukasi,” ujarnya.
Agus mengatakan, sejak program Citarum Harum digulirkan pada awal 2018, pihaknya sudah menanam sekitar 1,5 juta pohon. Namun, tidak semua pohon-pohon itu bisa tumbuh subur.
Banyak juga pohon yang mati. Penyebabnya beragam, mulai dari faktor cuaca, dibakar, ditebang, hingga sengaja dibiarkan mati oleh petani karena tidak disiram.
”Ada juga yang ketika ditanam, pohon dicabut, lalu ditanam lagi, tetapi akarnya tidak menyentuh tanah. Jadi, dibuat menggantung sehingga mati secara perlahan,” ujarnya.
Beberapa pohon juga ditebang. Salah satu buktinya sebatang pohon eukaliptus yang teronggok di belakang posko sektor pembibitan. Pohon setinggi empat meter itu diperkirakan berumur lebih dari dua tahun.
Modus lainnya adalah membakar batang pohon. Dengan begitu, pertumbuhan pohon akan terganggu dan mati. ”Saat ditanya, penggarap akan beralasan itu disambar petir. Kami sudah hafal modus-modus untuk mengelabui petugas,” ujarnya.
Baca juga: Penanganan Sampah Jadi Fokus Citarum Harum 2020
Keuntungan Sesaat
Lahan pegunungan yang subur di Kertasari memang sangat mendukung untuk berkebun sayur. Namun, jangan sampai petani terjebak keuntungan sesaat dan justru mengabaikan ancaman bencananya.
Oleh sebab itu, petani didorong menanam tanaman keras dan buah-buahan di lahan garapan. Sebab, selain bernilai ekonomi, juga bernilai ekologis.
Jika berpikir jangka pendek, pohon akan menganggu pertumbuhan sayur karena dedaunannya menghalangi sinar matahari. ”Tetapi, jangka panjangnya, petani juga mendapat sumber penghasilan tambahan dari menjual buah,” ujar Agus.
Agus mengatakan, pihaknya terus mengedukasi petani lewat pendekatan persuasif. Salah satunya mendatangi petani ke kebun-kebun untuk mengajak memelihara pohon yang sudah ditanam.
Ancaman bencana akibat buruknya daya dukung lingkungan di hulu Citarum terpampang di depan mata. Bahkan, banjir bercampur lumpur sudah melanda Desa Cibereum, Kertasari, Desember lalu.
Banjir yang diawali hujan lebat itu diduga karena gundulnya lahan di sekitarnya. Lahan didominasi kebun sayur dengan minim pohon tegakan sehingga tidak maksimal menahan air.
Kami terus mengedukasi petani lewat pendekatan persuasif. Salah satunya mendatangi petani ke kebun-kebun untuk mengajak memelihara pohon yang sudah ditanam.
Mengurangi Sampah
Selain memelihara pohon, kesadaran untuk tidak membuang sampah ke Citarum juga terus ditumbuhkan. Caranya dengan mengolah sampah agar bernilai ekonomi melalui bank sampah.
Salah satu bank sampah digerakkan Komunitas Peduli Lingkungan Hidup (KPLH) Warisan Alam di Desa Sukapura, Kertasari. Komunitas ini mengumpulkan sekitar satu ton sampah plastik per pekan.
Sampah yang disetorkan warga akan menjadi tabungan sampah. Tabungan itu dapat ditukarkan dengan bahan pokok, seperti minyak goreng dan gula pasir.
”Jika tak dikumpulkan, sampah-sampah itu kemungkinan besar akan dibuang ke selokan yang mengalir ke Citarum,” ujar Ketua KPLH Warisan Alam, Rendi Firmansyah.
Bank sampah itu juga memanfaatkan sampah plastik berupa kemasan makanan dan minuman menjadi paving block. Komunitas itu baru bisa memproduksi 250 paving block per pekan dengan mengolah 500 kg sampah plastik. Padahal, kapasitas maksimal produksinya mencapai 250 paving block per hari.
”Jika kapasitas maksimalnya terpenuhi, ada 500 kg sampah plastik yang bisa diolah sehingga tidak terbuang ke Citarum,” ujarnya.
Erni Wijaya (31), nasabah bank sampah KPLH Warisan Alam, mengatakan, sebelumnya, sampah-sampah dari warungnya dimusnahkan dengan cara dibakar. Tak jarang sisa pembakaran masuk ke selokan yang mengalir ke Citarum. Sampah dari warungnya sekitar 15 kg per pekan.
”Sekarang sampahnya bisa ditabung. Yang paling penting ikut menjaga Citarum dari pencemaran sampah,” ujarnya.
Meskipun pencemaran sampah di Citarum mulai berkurang, tetapi tetap belum tuntas. Sebab, saat hujan, banyak sampah terbawa dari anak-anak sungai yang bermuara ke Citarum.
Padahal, Citarum berperan strategis karena menopang kehidupan lebih dari 25 juta penduduk Jabar dan DKI Jakarta. Sungai sepanjang 297 kilometer ini mengaliri sekitar 420.000 hektar sawah di kawasan lumbung padi, seperti Subang, Purwakarta, Karawang, dan Indramayu.
Aliran sungainya juga dimanfaatkan untuk pembangkit listrik tenaga air di Jatiluhur, Saguling, dan Cirata sebesar 1.888 megawatt. Oleh sebab itu, saat mengunjungi Kertasari, Februari 2018, Presiden Joko Widodo menargetkan pemulihan Citarum diselesaikan dalam tujuh tahun.
Baca juga: Ratusan Rumah Tergenang Luapan Citarum
Dengan beragam manfaat sekaligus kerentanannya, wajar bila Agus cemas. Tindakan Komar berbahaya bagi masa depan. Padahal, kini tidak sedikit petani yang sudah mau berubah meninggalkan kawasan merah untuk menanam sayur. Bila dibiarkan, bukan tidak mungkin akan ada petanu lain yang meniru langkah itu.
Agus mengatakan, pihaknya bisa saja mencabut sayur kol tersebut. Namun, dia memberikan waktu dua bulan bagi Komar sampai sayur kolnya panen.
Akan tetapi, Komar juga diminta berkomiten ikut menjaga lingkungan. Salah satunya tidak lagi menanam sayuran di zona merah. Komitmen itu dituangkan dalam surat pernyataan yang ditandatangani di atas meterai.
Komar berterima kasih. Dia masih diberi waktu hingga sayurannya panen. Jika tidak, dia akan merugi hingga lebih dari Rp 3 juta.
”Saya tidak akan mengulanginya lagi. Mungkin setelah ini saya akan menanam buah di bawah zona merah,” ujarnya.
Bukan pekerjaan mudah memulihkan Citarum yang kini kian renta. Kerja keras menyelamatkan Citarum tidak sekadar membersihkannya dari sampah, menanam pohon, dan menindak pembuang limbah. Namun, juga memupuk kesadaran warga agar peduli dan berkontribusi nyata menjaga lingkungan demi masa depan Citarum yang lebih cerah.
Saya tidak akan mengulanginya lagi. Mungkin setelah ini saya akan menanam buah di bawah zona merah.