Menghormati ”Setue”, Menghindari Konflik
Pada masa silam, manusia dan harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae) hidup berdampingan. Bahkan, di Sumatera Selatan, harimau disebut "nek ngau" dan "setue", yang berarti sosok yang dihormati atau dituakan.
Pada masa silam, manusia dan harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae) hidup berdampingan. Bahkan, di Sumatera Selatan, harimau disebut "nek ngau" dan "setue", yang berarti sosok yang dihormati atau dituakan. Kini, harimau menjadi momok menakutkan bagi warga setelah dalam tiga bulan terakhir menewaskan lima orang dan melukai dua orang.
Tri Haryanto (28) memanen tomat di lahan seluas 2 hektar milik warga asal Prabumulih, Rabu (18/12/2019). Lahan berada di hutan masyarakat di Dusun Tebat Benawa, Kelurahan Penjalang, Kota Pagar Alam, Sumsel. Dia ditemani rekannya, Bambang (50).
Tak jauh dari tempatnya memanen, Minggu (5/12), warga Lahat bernama Yudiansyah Haryanto (40) harus meregang nyawa akibat diterkam harimau. Yudiansyah menggarap kebun kopi di hutan lindung yang juga habitat harimau.
Akibat kejadian tersebut, Tri sangat waswas saat menjalani aktivitasnya. ”Saya harus melihat ke kanan dan ke kiri karena takut ada harimau yang mengendap,” katanya sembari memilah tomat panenannya.
Walau dirundung ketakutan, Tri dan Bambang tetap melanjutkan aktivitasnya. ”Kalau tidak bekerja, kami makan apa,” kata Bambang.
Meski ada yang bertahan menggarap lahan di hutan lindung, sebagian lainnya memilih meninggalkan ladangnya. Budiono (57), Ketua Hutan Adat Tebat Benawa, menyatakan, konflik antara harimau dan manusia yang terjadi secara beruntun pada akhir 2019 sangat mengagetkan semua pihak. Selama ini, harimau dan manusia di wilayahnya jarang berkonflik.
Bahkan, di kawasannya, harimau merupakan satwa yang paling dihormati dan memiliki panggilan nek ngau dan setue yang berarti sosok yang dihormati atau dituakan. ”Harimau dan manusia memiliki wilayahnya sendiri, kami hidup berdampingan,” katanya.
”Harimau dan manusia memiliki wilayahnya sendiri, kami hidup berdampingan,”
Jauh sebelum peristiwa ini terjadi, warga kerap melihat jejak harimau di ladang, tetapi harimau tidak pernah menyerang. Kalaupun ada ternak warga yang dimangsa, hal itu dimaklumi. ”Saya tidak tahu, kenapa konflik seperti ini baru terjadi akhir-akhir ini,” tanyanya heran.
Sejak awal, warga setempat juga sudah mengetahui bahwa kawasan hutan lindung merupakan habitat dari harimau sumatera. Itulah sebabnya, warga Tebat Benawa tidak pernah mau bercocok tanam di sana. Mereka bertanam secara terbatas di hutan adat yang ada di luar kawasan lindung. Sementara yang bertanam di hutan lindung sebagian besar warga pendatang dari Kabupaten Lahat, Sumsel.
Hutan larangan
Bagi warga setempat, hutan adat Tebat Benawa sangat penting karena menjadi mude ayek atau sumber mata air dari Sungai Lematang. Mereka juga menyadari, jika banyak pembukaan lahan, permukiman mereka yang pertama kali dilanda bencana, terutama longsor.
Tak heran, hutan adat juga dikenal dengan hutan larangan karena siapa pun dilarang membuka lahan. Orang yang menebang pohon atau membuka lahan secara besar-besaran akan terkena kutukan atau minimal mengalami sakit.
Hutan adat yang berbatasan langsung dengan hutan lindung ini pun relatif terjaga. Beragam tumbuhan dan satwa, termasuk harimau, bisa hidup dan berkembang di sana.
Tradisi menghormati harimau tidak hanya ada di Tebat Benawa, tetapi juga di Kampung IV, Kecamatan Dempo Selatan, Kota Pagar Alam. Kawasan yang berbatasan langsung dengan Hutan Lindung Bukit Dingin ini berada di lereng Gunung Dempo.
Suryanto (48), Ketua RT 009 RW 005, Kampung IV, menuturkan, konflik manusia dengan harimau baru pertama kali terjadi sejak 22 tahun dirinya tinggal di kawasan tersebut. Tak jauh dari kawasan itu, tepatnya di Tugu Rimau, Sabtu (16/11/2019), Irfan (18), wisatawan asal Kabupaten Musi Banyuasin, Sumsel, diserang harimau saat berkemah. Lokasi kemah masih masuk Hutan Lindung Bukit Dingin. Akibat dari konflik ini, pemerintah melarang kegiatan pendakian di Gunung Dempo untuk sementara waktu.
Suryanto menuturkan, selama ini warga lokal yang sebagian besar bekerja di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VII tidak pernah mengalami konflik dengan harimau walau tempat tinggalnya berbatasan langsung dengan hutan lindung. Di desa ini, warganya hanya mengelola tanah yang ada tepat di samping rumah dan tidak pernah merambah hutan lindung.
”Harimau punya wilayahnya sendiri, kami punya tempat tinggal sendiri,” katanya. Warga Kampung IV sangat menghormati harimau. Bahkan, setiap perayaan Maulid Nabi diadakan prosesi sedekah kampung. Ini juga untuk menghindari adanya kesialan yang melingkupi kampung.
Aktivitas manusia
Aktivitas manusia di kawasan yang menjadi habitat harimau, menurut Kepala Seksi Konservasi Wilayah II Lahat Martialis Puspito, menjadi penyebab terjadinya konflik. Serangan harimau pada akhir 2019 terjadi di habitat harimau, yakni Hutan Lindung Bukit Dingin seluas 63.456,88 ha dan Hutan Lindung Jambul Patah Nanti seluas 282.727,75 ha. Di kedua hutan lindung ini diperkirakan ada 3-4 harimau. Adapun wilayah jelajah seekor harimau cukup luas, yakni sekitar 10.000 ha.
Dari pencitraan satelit, diketahui adanya lahan hutan lindung yang sudah berubah fungsi menjadi tanaman semusim, utamanya kopi. Perambahan paling banyak terjadi di pinggiran hutan lindung.
Selain alih fungsi hutan, serangan harimau di luar hutan lindung juga disebabkan semakin berkurangnya mangsa seperti kambing hutan, babi hutan, rusa, dan kijang, akibat perburuan. “Ini membuat harimau juga kesulitan untuk mencari makan di dalam kawasan hutan lindung,” kata Martialis.
Penyelesaian masalah konflik manusia dan satwa memerlukan peran dari semua pihak. Prinsip penanggulangan harus berdasarkan pada pedoman di mana manusia dan satwa liar sama-sama penting. Apalagi harimau saat ini terancam punah kerena jumlahnya hanya berkisar 300-600 ekor di alam liar.
Harimau sejatinya hewan yang elusif dan kriptif (cenderung menghindari manusia dan berkamuflase saat berburu). Namun, sifat itu akan berubah jika dalam kondisi terluka atau terancam.
“Semua konflik yang terjadi di Sumsel akhir-akhir ini pasti ada pemantiknya,”ujar Martialis.
"Kita hormati setue, setue menghormati kita”
Kepala KPH Dempo Ardiansyah Fitri mengakui adanya alih fungsi lahan di kawasan hutan sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu. Selama ini, pihaknya sulit untuk menindak aktivitas tersebut lantaran terbatasnya petugas. Luasan lahan di hutan lindung tidak sebanding dengan polisi hutan yang ada di lingkup KPH.
Baca juga: Serangan Harimau Terus Berulang
Untuk mengatasi hal ini, pihaknya bekerja sama dengan masyarakat yang tinggal di kawasan Hutan Kemasyarakatan (HKm) untuk mencegah adanya perambahan. Mereka akan melaporkan jika di dekat kawasannya terdapat aktivitas perambahan atau bahkan mereka sendiri yang akan mencegah hal tersebut.
Di kawasan naungan KPH Dempo ada tujuh HKm dan dua Penggunaan Hutan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan yakni untuk saluran irigasi dan pengelolaan panas bumi. Keberadaan masyarakat di kawasan HKm diharapkan bisa menjadi rekan KPH untuk mengawasi adanya perambahan di dalam hutan lindung. “Kami tidak bisa sendiri dibutuhkan peran dari berbagai pihak,” ungkapnya.
Menanggapi permasalahan ini Gubenur Sumsel Herman Deru menginstruksikan agar masyarakat tidak lagi membuka lahan di kawasan hutan lindung. Peristiwa serangan harimau ini diharapkan menjadi pelajaran bagi semua pihak untuk tidak lagi habitatnya.
Seperti yang disampaikan Suryanto, “Kita hormati setue, setue menghormati kita,” kata Suryanto.