“Nampah Celeng” dan Isu ASF di Galungan
Karena celeng atau babi menjadi simbol sifat-sifat buruk, maka menyembelih babi sama halnya umat Hindu berkomitmen menghilangkan sifat-sifat jelek dan jahat di dalam dirinya.
I Gede Sarya (51), ketua tempek kauh Banjar Kecicang, Desa Bungaya Kangin, Kabupaten Karangasem, Bali, metilik (mengabsen) warga anggotanya yang beragama Hindu Bali di wantilan banjar, Senin (17/2/2020) malam. Ramai warga berkumpul malam itu di wantilan. Mereka bergotong royong nampah celeng (memotong/menyembelih babi) dan membagi-bagi rata potongan dagingnya.
Ada warga yang bertugas menyembelih. Ada yang memotong-motong dagingnya. lalu, ada pula yang membagi rata potongan dagingnya.
Potongan daging masuk ke dalam kantong plastik ukuran sama dan beratnya pun sama. Isinya terbagi rata bagi semua warga. Uniknya, semua pembagian ini tanpa menggunakan timbangan. Mereka sepenuhnya memakai timbangan hati dan kepercayaan.
”Ya, semestinya besok pagi dini hari biasanya, tetapi karena cuaca dan seringnya pagi itu hujan, kami sepakat memutuskan Senin malam ini nampah-nya. Galungan kali ini, kami dapat membeli empat babi untuk dibagi bersama,” kata Sarya.
Baca juga: Tren Kematian Babi di Bali Turun
Harga babi hidup untuk perayaan Galungan pada Rabu (19/2/2020) ini Rp 27.000 kilogram. Pada Galungan sebelumnya harga babi masih berkisar Rp 40.000 per kilogram.
Iya, harga celeng hidup turun kali ini. Petani tidak sangat merugi, tetapi jelas tidak untung. Sarya yang juga peternak babi itu dengan jelas mengatakan, ”Isu ASF membuat harga anjlok. Tetapi, kami sebagai umat Hindu mau mengganti dengan daging apa? Babi tetap menjadi pilihan. Hanya saja, sebelum dibeli, semua babi dipastikan sehat.”
Turunnya harga babi membuat keuntungan untuk warga yang nampah celeng. Galungan lalu mendapatkan tiga ekor. Kali ini, Galungan memotong empat ekor besar babi.
Isu demam babi Afrika (Afrika swine fever/ASF) merebak di Bali sejak ribuan babi mati hampir setiap hari mulai Desember 2019 hingga hari ini. Tren kematian babi kini menurun menjelang Galungan. Pada awal Desember 2019, kematian babi, terutama di Kabupaten Badung yang terbanyak kasusnya, terdata hampir 26 ekor per hari. Lalu menurun kematian per harinya menjadi 3-6 ekor per hari.
Harga pun terus meluncur turun. Mulai harga per kilogram babi hidup dipasarkan lebih dari Rp 30.000 menjadi turun di Rp 22.000 per kilogram. Satu ekornya bisa tertimbang 100 kilogram beratnya.
Belum lagi, ada isu yang mengatakan, daging babi bahaya dikonsumsi seiring isu ASF. Semua pihak pun berbicara dan beraksi, seperti Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali serta kabupaten/kota. Ramai-ramai masyarakat mengimbau bahwa babi aman dikonsumsi asalkan dimasak benar-benar matang.
Bagi Umat Hindu Bali, celeng atau babi itu binatang yang termasuk salah satu daftar untuk simbol dalam upacara-upacara adat/keagamaan, termasuk Galungan. Pada hari raya Galungan, babi menjadi simbol ketamakan, keserakahan, kemalasan, serba simbol sifat-sifat jelek.
Baca juga: Wabah Belum Reda, Peternak Kembali Mengisi Kandang
Nah, sehari menjelang Galungan, umat menyebutnya hari penampahan Galungan. Penampahan itu diidentikan dengan memotong/menyembelih babi, bukan hewan lain. Mengapa?
Sulinggih Ida Pedanda Gede Wayahan Wanasari menjelaskan hubungan nampah celeng dengan perayaan Galungan. Galungan merupakan hari yang menandai kemenangan dharma (kebaikan) atas adharma (kejahatan). Salah satunya dengan mewujudkannya dengan nampah yang artinya menghilangkan. Karena celeng atau babi menjadi simbol sifat-sifat buruk, maka menyembelih babi sama halnya umat Hindu berkomitmen menghilangkan sifat-sifat jelek dan jahat didalam dirinya.
Seusai nampah pada hari penampahan Galungan (sehari sebelum hari raya), lanjut Pedanda Wanasari, daging babi diolah dengan ragam masakan, seperti lawar, sate, dan guling. Masakan ini setelah selesai matang, dihaturkan dalam sesaji di hari raya. Penyajiannya ini sebagai tanda bukti kita kepada Bethara/Dewa bahwa sebagai umat telah menghilangkan sifat yang disimbolkan babi itu.
”Sebaiknya tetap memegang upaya dan cara sehat mulai memilih babi hingga memasaknya. Agar dharma menjadi aman dan damai pada hari raya Galungan, kami menghaturkan dan mengonsumsi masakan olahan daging babi. Karena Galungan itu kebersamaan dan hari yang tepat berkumpulnya keluarga selama 210 hari sebelum hari raya itu, kita bekerja serta melawan adharma,” kata Pedanda Wanasari.
Ia menambahkan, perayaan Galungan juga bersifat universal. Galungan juga menghilangkan sifat buruk untuk buana alit (diri sendiri) serta buana agung (bumi). Maka, perdamaian bumi dari buana agung ini dapat terwujud jika semua umat berkomitmen menghilangkan sifat buruk antarumat.
Baca juga: Keluhkan Penanggulangan Wabah, Ribuan Peternak Unjuk Rasa
Sementara nampah itu dapat dilakukan dengan beberapa cara oleh umat Hindu di Bali. Jika Sarya bersama 76 warga anggota tempek kauh mendapatkan empat babi dengan cara menyisihkan bunga dari simpan pinjam antaranggota setiap enam bulan sekali.
Berbeda dengan keluarga Ni Wayan Asmi Sukmawati di Banhar Desa, Desa Bungaya, Kabupaten Karangasem. Keluarganya menyisihkan laba hasil penjualan padi dari sawah di keanggotaan subak mereka. Hasil penyisihan labanya dibelikan babi pada saat Galungan, dan dibagi rata dagingnya ke semua anggota subak.
Ada juga di tempat lain sengaja urunan atau patungan untuk mendapatkan satu babi. Tetap sama, dipotong bersama dan dibagi sama rata. Lagi-lagi tanpa timbangan.
Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali I Gusti Ngurah Sudiana juga mengingatkan agar tetap mewaspadai isu ASF tersebut. ”Tidak ada salahnya mengantisipasi dengan memeriksa kesehatan dan memasaknya dengan benar-benar matang,” katanya.
Beberapa hari sebelum penampahan Galungan, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali menggelar makan masakan olahan babi bersama. Hal ini mengampanyekan makan babi aman.
Baca juga: Pemerintah Provinsi Bali Klaim Mampu Kendalikan Penyebaran Penyakit Babi
Baca juga: Sampel Babi yang Mati di Bali Telah Diuji di Medan
Begitu pula Kepala Dinas Pertanian Kota Denpasar I Gede Ambara Putra mengimbau seluruh masyarakat turut memperhatikan kesehatan hewan sebelum disembelih menjelang Galungan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengecek hewan sebelum dan sesudah disembelih oleh dokter hewan berwenang.
Ia pun menyiagakan 14 tenaga pemotong hewan yang terlatih dan berpengalaman jika ada permintaan dari masyarakat. Selain itu, dinas juga menyiagakan 6 tenaga dokter hewan yang menangani pemeriksaan antemortem (hewan sebelum disembelih) dan postmortem (hewan setelah disembelih).
”Masyarakat yang akan menyembelih sendiri diharapkan berkordinasi dengan rumah potong hewan dan Distan Kota Denpasar dengan menghubungi kontak 0369-422224, jika penyembelihan tidak dilaksanakan di RPH, sehingga kesehatan, higenis, dan sanitasi dari hewan tetap terjaga,” kata Ambara.
”Rahajeng Galungan”, selamat hari raya Galungan….