Pandemi Covid-19 yang merebak dan berdampak pada perekonomian dunia juga membuat industri media cetak semakin terpuruk. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang mendekati Rp. 17.000 otomatis menaikkan harga kertas.
Oleh
AUFRIDA WISMI WARASTRI
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Pandemi Covid-19 yang merebak dan berdampak pada perekonomian dunia juga membuat industri media cetak semakin terpuruk. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang saat ini mendekati Rp 17.000 secara otomatis telah menaikkan harga kertas koran.
”Situasi itu juga melemahkan daya beli masyarakat sehingga memperparah situasi persuratkabaran saat ini. Dikuatirkan apa yang sedang terjadi saat ini, dengan merebaknya wabah virus korona, bukan tidak mungkin bisa membuat banyak media cetak gulung tikar,” ujar Ketua Serikat Perusahaan Pers (SPS) Sumatera Utara Farianda Putra Sinik, dalam siaran pers yang diterima Kompas, Rabu (1/4/2020) malam.
Farianda mengatakan, pendapatan iklan semakin berkurang sementara oplah juga tergerus. Kondisi ini dialami semua perusahaan media cetak di Sumatera Utara. ”Kami sedang menghadapi situasi sulit dan hal ini makin diperparah dengan wabah Covid-19 yang mengakibatkan pasar pembaca cetak makin berkurang,” kata Farianda.
Terkait hal itu, SPS Sumut-Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sumut bersama pimpinan media di Sumatera Utara mengharapkan pemerintah pusat menaruh perhatian pada keberlangsungan media cetak, terutama di Sumatera Utara. ”Karenanya, kami sangat mengharapkan pemerintah pusat membuat kebijakan khusus dengan memberikan semacam insentif, antara lain dalam hal penghapusan pajak (PPh) kertas koran serta berbagai kemudahan lainnya agar media cetak tetap eksis menjalankan fungsi profesional persnya,” ujar Farianda.
Pemerintah bisa memberikan keringanan dalam bentuk dispensasi pajak.
Setidaknya, lanjut Farianda, pemerintah bisa memberikan keringanan dalam bentuk dispensasi pajak. Bentuk lainnya adalah pemberian stimulus agar usaha penerbitan media cetak bisa bertahan.
Pihaknya memahami, pemerintah tengah sibuk mengantisipasi penyebaran Covid-19, tetapi langkah itu perlu dilakukan mengingat sejarah bangsa ini tidak bisa lepas dari peran media cetak yang ikut andil dalam merebut dan memperjuangkan kemerdekaan bangsa. Media cetak sebagai bagian dari pers perjuangan adalah bagian dari sejarah bangsa.
Hampir semua media cetak saat ini sedang berjuang untuk bertahan di tengah disrupsi teknologi digital. Studi yang dilakukan The Pew Research Center pada 2018 di Amerika Serikat (AS), seperti dikutip AFP, menunjukkan, media sosial, seperti Facebook dan Twitter, telah mengambil alih koran sebagai sumber berita yang dikelola oleh lembaga berita resmi.
Studi menunjukkan 20 persen orang dewasa di AS mendapatkan informasi dari media sosial, sementara hanya 16 persen yang menggunakan koran sebagai sumber berita. Kondisi ini berubah karena pada 2016, koran lebih penting daripada media sosial.
Di Tanah Air, keberadaan media sosial juga tak terbantahkan meskipun isi beritanya tidak terverifikasi dan banyak temuan berita bohong. Terkait virus korona, misalnya, kepolisian tidak sedikit menahan orang yang menyebarkan berita bohong terkait Covid-19.
Indeks aktivitas literasi membaca yang dirilis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada April 2019 menunjukkan, angka indeks aktivitas literasi membaca Indonesia hanya mencapai 37,32, dari nilai maksimal 100. Indeks itu masuk kategori rendah.
Hal ini menunjukkan tidak banyak orang Indonesia yang terbiasa membaca. (Kompas, Senin, 17/2/2020). Oleh karena itu, keberadaan koran penting untuk mendorong minat baca masyarakat yang saat ini rendah.
Ketua PWI Sumut Hermansjah mengatakan, pemerintah daerah diharapkan bisa membantu keberlangsungan industri media cetak dengan tetap berlangganan surat kabar. ”Kalau bisa jumlah langganan surat kabar bisa ditingkatkan lagi, tidak saja di Medan, tetapi juga di daerah-daerah. Dengan adanya kebijakan itu, diharapkan animo masyarakat untuk membaca koran tidak pupus,” ujar Hermansjah.