Pemotongan Gaji PNS untuk Penanganan Covid-19 Tak Sesuai Regulasi
Selama ini belum ada regulasi yang mengatur tentang pemotongan, penurunan, dan penundaan gaji atau tunjangan diperbolehkan dalam situasi genting, apalagi untuk penanganan Covid-19.
Oleh
karina isna irawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemotongan, penurunan, dan penundaan gaji atau tunjangan pegawai negeri sipil untuk penanganan pandemik Covid-19 tidak sah dilakukan. Kebijakan itu hanya bisa dilakukan jika berkaitan dengan kinerja pegawai, terutama jika mendapatkan sanksi administratif.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng, Selasa (7/4/2020), mengatakan, kebijakan gaji atau tunjangan pengawai negeri sipil (PNS) itu lebih terkait dengan kinerja pegawai, bukan berdasarkan situasi sosial-ekonomi seperti yang tengah terjadi saat ini. Jika langkah itu tetap dilakukan, kebijakan yang diambil itu tidak sah.
Pemotongan gaji PNS yang selama ini terjadi adalah untuk Pajak Penghasilan (PPh). Pemotongan gaji untuk PPh itu berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010 tentang Tarif Pemotongan dan Pengenaan PPh Pasal 21 atas Penghasilan yang Menjadi Beban APBN dan APBD.
”Dalam situasi genting (penanganan Covid-19), pemotongan, penurunan, atau penundaan gaji dan atau tunjangan PNS tidak sah dilakukan,” ujarnya.
Dalam situasi genting (penanganan Covid-19), pemotongan, penurunan, atau penundaan gaji dan atau tunjangan PNS tidak sah dilakukan. (Robert Endi Jaweng)
Pemberian gaji dan tunjangan PNS diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2019 tentang Pemberian Gaji, Pensiun, atau Tunjangan Ketiga Belas PNS, Tni, Polri, Pejabat Negara, dan Penerima Pensiun atau Tunjangan. Pasal 3 Ayat (5) PP itu menyebutkan, tidak dikenakan potongan iuran dan/atau potongan lain berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Robert menambahkan, selama ini belum ada regulasi yang mengatur tentang pemotongan, penurunan, dan penundaan gaji atau tunjangan diperbolehkan dalam situasi genting, apalagi untuk penanganan Covid-19. Dengan ketiadaan aturan itu, muncul diskresi dari pemerintah daerah untuk mengambil kebijakan itu. Ini bisa memunculkan persepsi beragam dari para PNS dan bisa menjadi bumerang.
Sebelumnya, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dalam akun Instagramnya mengumumkan gaji gubernur, wakil gubernur, dan PNS di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Pemprov Jabar) akan dipotong selama empat bulan untuk mengurangi beban masyarakat dan mempercepat penanggulangan penyebaran Covid-19. Pengumuman berbentuk foto ini diunggah pada 30 Maret 2020.
”Pemotongan gaji akan dilakukan secara adil dan proporsional,” tulis Ridwan Kamil.
Selain itu, Pemprov Jabar juga tengah menyiapkan kampanye sosial bertajuk ”Two in One” untuk penanganan Covid-19. Kampanye tersebut berupa imbauan agar setiap satu keluarga yang mampu secara ekonomi dapat mengurus dua keluarga tidak mampu selama pandemi Covid-19. Pemrov Jabar juga membuka kanal bantuan berupa sedekah, zakat, dan infak secara daring.
Robert menambahkan, kapasitas fiskal pemerintah daerah sangat terbatas untuk penanganan Covid-19. Sebagian besar sumber pendanaan di sejumlah daerah bergantung pada transfer pemerintah pusat. Selain bergantung pada transfer dari pusat, anggaran di daerah juga terbatas selama periode Januari-Maret karena faktor siklus anggaran.
”Pemerintah daerah sudah paham dan mengerti kebijakan realokasi anggaran untuk penanganan Covid-19. Namun, masalahnya, dana di daerah tidak ada,” kata Robert.
Pemerintah daerah umumnya masih menggunakan saldo anggaran lebih (SAL) tahun sebelumnya untuk memenuhi kebutuhan Januari-Maret. Hal itu karena transfer dari pusat ataupun pendapatan asli daerah baru optimal memasuki triwulan II. Karena itu, kebijakan realokasi anggaran seharusnya dibarengi percepatan transfer anggaran.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi transfer ke daerah dan dana desa per Februari 2019 baru sebesar Rp 117,7 triliun atau 13,7 persen dari pagu APBN 2020, yakni 856,9 triliun. Terbaru, pemerintah memangkas alokasi transfer ke daerah dan dana desa dari Rp 856,9 triliun menjadi Rp 762,7 triliun. Kebijakan pemangkasan terkait dengan realokasi anggaran untuk penanganan Covid-19.
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Astera Primanto Bhakti mengatakan, pemangkasan transfer ke daerah dan dana desa tidak memengaruhi alokasi gaji PNS dan tenaga honorer di daerah. Realokasi anggaran untuk belanja yang sifatnya tidak mendesak.
”Pemangkasan untuk belanja pegawai yang tidak produktif dan honor-honor pembicara yang sebenarnya tidak mendesak,” kata Prima.
Pemangkasan untuk belanja pegawai yang tidak produktif dan honor-honor pembicara yang sebenarnya tidak mendesak.
Menurut catatan Kementerian Keuangan, rata-rata alokasi belanja pegawai dalam APBD 36 persen, belanja perjalanan dinas 13,4 persen, dan belanja jasa kantor 17,5 persen.
Pemerintah daerah saat ini diminta lebih serius melakukan realokasi anggaran untuk penanganan Covid-19, terutama bidang kesehatan dan jaring pengaman sosial di daerah masing-masing. Sejauh ini tidak ada batasan minimal realokasi APBD karena bergantung pada kebutuhan dan kemampuan daerah.