Suara Dentuman Jakarta Tidak Berkaitan dengan Erupsi Anak Krakatau
Letusan Gunung Anak Krakatau yang terjadi pada Jumat (10/4/2020) malam disinyalir tidak berkaitan dengan dentuman yang terdengar di Jakarta dan sekitarnya hingga Sabtu dini hari.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Letusan Gunung Anak Krakatau yang terjadi Jumat (10/4/2020) malam disinyalir tidak berkaitan dengan dentuman yang terdengar di Jakarta dan sekitarnya hingga Sabtu dini hari. Anak Krakatau masih berstatus Waspada sehingga warga diimbau tidak mendekati area kawah dalam radius 2 kilometer.
Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rudy Suhendar, di Bandung, Sabtu (11/4/2020), memaparkan, erupsi yang terjadi kali ini bertipe strombolian dengan tinggi letupan hingga 500 meter. Artinya, letusan membawa material lontaran batu panas dan lelehan lava, tetapi dengan kandungan gas yang tergolong kecil.
Jadi, kami belum bisa mengkorelasikan antara Gunung Anak Krakatau dengan (dentuman) yang terjadi di Jakarta.
Meski terjadi erupsi hingga dini hari, Rudy menyatakan, aktivitas Anak Krakatau tidak menimbulkan dentuman keras yang terdengar hingga ratusan kilometer. Dia berujar, suara yang terdengar dini hari di kawasan Jabodetabek, seperti yang dibicarakan warganet, bukan berasal dari gunung tersebut. Pasalnya, jarak antara Anak Krakatau ke Jabodetabek lebih dari 100 kilometer.
”Sejak letusan hingga sekarang di Pos Pemantauan Pasauran, Banten, tidak terdengar dentuman. Jadi, kami belum bisa mengorelasikan antara Gunung Anak Krakatau dengan (dentuman) yang terjadi di Jakarta,” tuturnya.
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Rahmat Triyono juga menjelaskan, dentuman tersebut tidak berkaitan dengan aktivitas bumi di sekitar wilayah tersebut. Meskipun terjadi gempa di Selat Sunda pada pukul 22.59 WIB, magnitudo yang tercatat hanya sebesar M 2,4 sehingga tidak berdampak pada warga.
Gempa tersebut terjadi di sebelah selatan-barat daya Anak Krakatau sejauh 70 kilometer dengan kedalaman 13 kilometer. Rahmat menuturkan, getaran gempa ditangkap dengan baik oleh beberapa sensor BMKG yang terdapat di Cigeulis dan Wonosalam di Banten.
Sementara di Lampung, getaran tersebut tertangkap oleh sensor dari Pematang Sawah, Limau, Kota Agung, dan Kota Bumi. Di Jabar, getaran ini ditangkap oleh sensor BMKG di Ciracap, Kabupaten Sukabumi. Daerah ini berada sejauh 179 kilometer sebelah tenggara Anak Krakatau.
Rahmat berujar, hasil pemantauan BMKG juga tidak menunjukkan adanya aktivitas gempa tektonik dengan kekuatan signifikan di daerah Jabar, DKI Jakarta, dan Banten hingga Sabtu pukul 06.00 WIB.
”Gempa di Selat Sunda juga tidak memiliki kekuatan signifikan. Jadi, kami memastikan suara dentuman tersebut tidak bersumber dari aktivitas gempa tektonik,” ujarnya.
Dari informasi yang dihimpun Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi, erupsi menerus Anak Krakatau berpotensi terjadi. Namun, gejala vulkanik menuju intensitas erupsi lebih besar tidak terdeteksi. Meski demikian, status Anak Krakatau masih Wapada (Level II) sehingga warga tidak diperbolehkan mendekat dalam radius 2 kilometer.
Hal tersebut karena lontaran material pijar masih terjadi. Potensi bahaya dari Anak Krakatau saat ini adalah lontaran material lava, aliran lava, dan hujan abu lebat di sekitar kawah dalam radius 2 km dari kawah aktif.
Erupsi pertama semalam terjadi pukul 21.58 WIB dengan kolom abu mencapai 200 meter yang condong ke selatan dengan amplitudo maksimum 40 milimeter. Durasi erupsi ini sekitar 1 menit 12 detik. Erupsi kedua terjadi pukul 22.35 WIB dengan amplitudo maksimum 40 milimeter selama 38 menit 4 detik. Tinggi kolom abu mencapai 500 meter dan condong ke arah utara.