Pasien Melonjak, Pemda Terancam Kewalahan
Pasien positif Covid-19 di Jawa Barat terus bertambah. Hingga Jumat (17/4/2020) pukul 20.13, jumlahnya mencapai 632 orang. Jumlah itu melonjak hampir tiga kali lipat dibandingkan dua pekan sebelumnya.
BANDUNG, KOMPAS – Pasien positif Covid-19 di Jawa Barat terus bertambah. Hingga Senin (20/4/2020) pukul 21.13, jumlahnya mencapai 747 orang. Jumlah itu melonjak tiga kali lipat dibandingkan dua pekan sebelumnya. Jika tidak segera ditanggulangi, pemerintah daerah terancam semakin kewalahan.
Apalagi, jumlah kasus positif Covid-19 di Jawa Barat (Jabar) berpotensi terus meningkat. Sebab, berdasarkan hasil tes cepat (rapid test) masif 51.836 orang, 1.190 orang di antaranya terindikasi positif Covid-19. Mereka akan mengikuti tes lanjutan dengan metode polymerase chain reaction (PCR) untuk memastikan akurasinya.
Melonjaknya pasien positif Covid-19 itu berpotensi tidak tertampung di rumah sakit (RS) rujukan. Saat ini di Jabar terdapat 34 RS yang telah beroperasi dengan kapasitas sekitar 1.000 orang.
Untuk mengantisipasi lonjakan tersebut, Pemprov Jabar menyiapkan 71 RS rujukan tambahan. Namun, sejumlah fasilitas pendukung masih dilengkapi.
“Untuk sementara ini, ada 34 RS rujukan. Namun, faktanya lebih dari 200 RS di Jabar bisa menangani Covid-19,” kata Kepala Dinas Kesehatan Jabar Berli Hamdani.
Selain RS, sejumlah infrastruktur, seperti stadion dan balai latihan kerja, juga disiapkan untuk ruang perawatan dan isolasi. Stadion Patriot Candrabhaga di Kota Bekasi, misalnya memiliki kapasitas 100 tempat tidur. Sementara balai latihan kerja di Kabupaten Bandung berkapasitas 50-60 tempat tidur.
Sebelumnya, Gubernur Jabar Ridwan Kamil mengatakan, pihaknya juga menyiapkan hotel, gedung pemerintahan, dan RS yang belum diresmikan sebagai ruang perawatan untuk mengantisipasi lonjakan pasien.
Hotel tersebut terletak di Jalan Hegarmanah. Adapun RS yang belum diresmikan berada di Jalan Soekarno-Hatta, Kota Bandung. Sementara gedung pemerintahan bakal menggunakan asrama Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Jabar di Kota Cimahi
“Total kapasitasnya sekitar 1.000 tempat tidur. Jadi, di luar RS, kami menyiapkan fasilitas lain untuk mengantisipasi jika jumlah pasien (Covid-19) melebihi kapasitas RS,” ujarnya di Gedung Pakuan, Kota Bandung, Sabtu (21/3/2020).
Kesiapan tenaga kesehatan
Berli mengatakan, saat ini terdapat lebih dari 3.000 tenaga medis dan pendukung dalam menangani Covid-19. Mereka tidak hanya tersebar di 34 RS rujukan, tetapi juga di instansi kesehatan lainnya.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jabar Eka Mulyana di Bandung, Jumat (17/4) menyatakan, dari sekitar 26.000 dokter anggota IDI Jabar, lebih dari 50 persen di antaranya tengah menangani Covid-19. Dia menuturkan, jumlah tersebut terdiri dari tenaga medis multispesialis hingga dokter jaga yang menangani para pasien di ruang isolasi.
Eka berujar, dokter di IDI Jabar tidak hanya berasal dari fasilitas kesehatan negara atau dokter Pegawai Negeri Sipil (PNS) saja, tetapi juga swasta. Mereka menjadi garda terdepan dalam menangani Covid-19.
Untuk mengantisipasi lonjakan kasus Covid-19, Pemprov Jabar menyiapkan 71 RS rujukan tambahan. Namun, sejumlah fasilitas pendukung masih dilengkapi
“Anggota IDI Jabar salah satu yang terbanyak di Indonesia. Sekitar seperempat dari total anggota IDI Indonesia berasal dari Jabar. Secara umum saat ini seluruh dokter praktek turut melayani pasien dalam menghadapi pandemi ini,” ujarnya.
Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Jabar menyiapkan 68.000 perawat untuk membantu menanggulangi Covid-19. Jumlah itu dinilai cukup memadai untuk menangani pasien Covid-19.
Saat ini seluruh dokter praktek turut melayani pasien dalam menghadapi pandemi ini.
Akan tetapi, terus melonjaknya pasien positif Covid-19 patut diwaspadai. Selain kebutuhan tenaga kesehatan akan bertambah, risiko tertular penyakit ini juga semakin tinggi.
Ketua PPNI Jabar Wawan Hernawan mengatakan, masih menerima laporan kekurangan APD di sejumlah daerah, di antaranya Kota Sukabumi, Kabupaten Sumedang, Kota Bekasi, dan Kabupaten Bekasi. Pihaknya juga telah menyurati Pemprov Jabar dan pemkab/pemkot untuk menjamin keselamatan perawat dengan APD memadai.
“Kami mohon warga juga mematuhi social distancing. Bantu tenaga kesehatan dengan tidak beraktivitas di luar rumah. Kalau pasien Covid-19 semakin banyak, petugas medis akan kewalahan,” ujarnya.
Dana Insentif
Pemerintah Jabar menyiapkan dana insentif untuk tenaga kesehatan dalam menanggulangi Covid-19. Besaran dana tersebut disesuaikan posisi dan kinerja.
Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan COVID-19 Jabar Daud Achmad di menuturkan, Pemprov Jabar menyiapkan dana sekitar Rp 17,5 Miliar untuk insentif tersebut.
Daud menjelaskan, sesuai dengan Keputusan Gubernur Jabar, besaran insentif untuk dokter utama paling tinggi diterima sebesar Rp 630.000 per hari. Perawat mendapatkan Rp 300.000-500.000 per hari, sementara petugas non PNS menerima insentif 75.000 per hari.
“Teknis ini diserahkan kepada kepala dinas kesehatan dan instansi pelayanan kesehatan di setiap daerah. Besaran insentif berbeda-beda, disesuaikan dengan tenaga keterampilannya,” tutur ujarnya.
Keterbatasan di kabupaten/kota
Terbatasnya fasilitas dan tenaga kesehatan juga diutarakan Sekretaris Daerah Kabupaten Karawang Acep Jamhuri. Ia mencontohkan, setiap tim kesehatan yang berjaga harus merawat setidaknya 14-15 orang pasien dalam pengawasan (PDP) maupun positif Covid-19.
“Kami berupaya sebaik mungkin agar semua pasien bisa terlayani. Jumlah tenaga medis kami tidak banyak, bantu mereka dengan menerapkan social distancing,” tuturnya.
Terdapat tiga RS rujukan di Karawang, yakni RSUD Karawang, RS Paru Karawang, dan RS Hermina Karawang. Ruangan isolasi pada ketiga RS itu 16 ruangan.
Padahal, jumlah PDP dan positif Covid-19 terus bertambah. Menurut Acep, idealnya setiap ruang perawatan tersedia ventilator. Namun jumlah ventilator di Karawang hanya 12 unit.
Pihaknya sedang mengajukan bantuan kepada pemerintah pusat berupa 40 ventilator, 50.000 APD, dan 5.000 alat tes cepat Covid-19. Sementara ruang perawatan kelas III dialihkan menjadi ruang isolasi untuk PDP.
Kesiapan fasilitas dan tenaga kesehatan di Kabupaten Subang juga tidak lebih baik. Kepala Dinas Kesehatan Subang Nunung Syuhaeri menyebutkan, di daerahnya tidak ada dokter spesialis paru yang praktik. Jumlah dokter spesialis penyakit dalam pun hanya tiga orang.
Jumlah perawat di Subang sekitar 500 orang. Namun, hanya sekitar 30-40 orang yang aktif di gugus tugas Covid-19.
Nunung menuturkan, untuk mengantisipasi lonjakan PDP dan pasien positif Covid-19, pihaknya bakal menambah sekitar 20 kamar isolasi di RSUD Subang.
Minimnya jumlah APD dinilai mengancam kesehatan tenaga medis. Sejumlah tenaga medis tumbang karena kelelahan dan terindikasi positif Covid-19. Sekitar 500 tenaga medis telah melakukan tes cepat pekan lalu. Sejumlah 10 orang di antaranya terindikasi positif Covid-19. Pihaknya masih menunggu hasil pemeriksaan swab.
Nunung menduga, tenaga medis yang terindikasi positif Covid-19 itu tertular dari pasien saat berobat ke puskesmas atau RS tanpa menjelaskan riwayat perjalanan dengan jujur. Apalagi, tenaga medis di puskesmas tidak seluruhnya dibekali APD lengkap seperti di RS rujukan.
Keterbatasan fasilitas dan tenaga kesehatan juga berpotensi menjadi kendala penanggulangan Covid-19 di Cirebon. Pemudik yang berisiko terpapar Covid-19 terus berdatangan dan diprediksi akan meningkat hingga Lebaran 2020.
Di RS Paru Sidawangi di Cirebon, misalnya, baru beroperasi tiga kamar isolasi yang berkapasitas hingga enam tempat tidur dan dilengkapi HEPA (High Efficiency Particulate Air) filter. Pada Jumat (17/4), RS rujukan lini kedua bagi pasien Covid-19 di wilayah Cirebon dan sekitarnya ini merawat dua pasien Covid-19.
“Tetapi, kalau terjadi lonjakan kasus, ruangan itu tidak cukup. Itu sebabnya, kami tengah mengajukan kepada Pemprov Jabar untuk pengadaan lima HEPA filter sehingga ada 12 kamar isolasi dengan kapasitas 20 tempat tidur,” kata Direktur RS Paru Sidawangi Lucya Agung Susilawati.
Di RSD Gunung Jati, Kota Cirebon, jumlah ruangan isolasi saat ini tercatat berkapasitas 29 tempat tidur tanpa tekanan udara negatif. Adapun ruangan untuk enam tempat tidur punya tekanan udara negatif yang berfungsi mencegah penyebaran penyakit melalui udara.
“Kami berencana menambah ruang isolasi hingga 40 tempat tidur dengan sistem ventilasi udara tanpa tekanan udara negatif,” kata Direktur RSD Gunung Jati Ismail Jamaludin. Hingga kini, RSD Gunung Jati sudah menangani 56 pasien dan 20 di antaranya masih dirawat di ruangan isolasi.
Rumah sakit rujukan utama pasien Covid-19 di Cirebon dan sekitarnya ini hanya memiliki satu ventilator untuk pasien Covid-19. Padahal, alat tersebut diperlukan jika pasien dalam keadaan gawat. “Di Ciayumajakuning (Cirebon, Indramayu, Majalengka, Kuningan) ventilator yang ada kurang dari 50 alat. Artinya, jika kondisi gawat, hanya 50 orang bisa diselamatkan,” kata Kepala Dinas Kesehatan Kota Cirebon Edy Sugiarto.
Jumlah dokter spesialis paru di Cirebon juga belum memadai. Di RSD Gunung Jati dan RS Paru Sidawangi masing-masing hanya memiliki dua dokter spesialis paru. “Jumlah ini tentu kurang kalau terjadi wabah Covid-19. Idealnya ada tiga dokter. Tetapi, kami akan maksimalkan yang ada,” kata Tati Sudiarti, dokter spesialis paru di RS Paru Sidawangi.
Apalagi, setiap pasien Covid-19 bisa dirawat selama 14 hari bahkan lebih karena harus menunggu hasil uji usap tenggorokan yang menelan waktu sepekan lebih. “Kami membagi tim setiap dua pekan. Jadi selama 14 hari, kami tidak pulang ke rumah dan terpisah dengan keluarga,” katanya.
Sekretaris Gugus Tugus Percepatan Penanganan Covid-19 Kota Cirebon Sri Laelan mengatakan, pihaknya telah bersepakat dengan rumah sakit pemerintah dan swasta di Ciayumajakuning agar dokter spesialis dapat bertugas lintas wilayah tanpa terkendala surat izin praktik. Ini dibutuhkan untuk mengantisipasi lonjakan kasus Covid-19 seiring datangnya pemudik.
“Pemudik masih akan datang sampai Lebaran. Ini yang kami khawatirkan. Hampir setiap hari kami rapat membahas ini. Bahkan, sampai jam setengah 12 malam,” katanya. Hingga kini, lebih dari 500 pemudik tercatat di Kota Cirebon. Di Kabupaten Cirebon, lebih dari 12.000 pemudik sudah kembali.
Seorang warga Kota Cirebon yang datang dari Jakarta meninggal dunia akibat Covid-19. Sementara di Kabupaten Cirebon, tiga warga yang datang dari luar daerah terkonfirmasi positif Covid-19.
Untuk mengatasi penyebaran Covid-19, pemudik akan menjalani karantina di tempat berkapasitas 320 orang. Mereka berstatus orang dalam pemantauan, tetapi tidak mampu melakukan isolasi mandiri di rumah dan kurang mampu secara ekonomi. Dengan karantina selama 14 hari, pemudik bisa fokus mengisolasi diri sehingga tidak pusing mencari uang.
“Kami akan menanggung kebutuhan hidup seperti makanan dan minuman selama karantina. Jika yang menjalani karantina merupakan kepala keluarga, kami akan berikan uang Rp 100.000 per hari untuk keluarganya,” kata Laelan. (IKI/RTG/MEL/TAM)