Belajar Menghargai Hidup dari Kematian Seseorang
Pengalaman wartawan foto ”Kompas” di Jawa Timur, Bahana Patria Gupta, meliput kecelakaan laut yang menimbulkan korban jiwa. Pengalaman menyedihkan dari orang lain membuatnya lebih menghargai kehidupan.
Dunia jurnalisme yang saya jalani sering kali membuat saya berada dalam dua kondisi berbeda. Liputan yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Keduanya saya jalani silih berganti. Namun, walau harus dijalani, sering kali saya berdoa agar tidak bertemu dengan kondisi yang tidak menyenangkan.
Liputan yang tidak menyenangkan itu sering kali berhubungan dengan bencana alam dan kecelakaan. Rasanya selalu tidak pernah siap secara pribadi untuk menghadapi itu semua. Dalam kondisi tersebut saya sering melihat kebingungan dan kesedihan dari para korban.
Kecelakaan laut adalah salah satu yang paling saya hindari, tetapi harus saya liput karena mempunyai nilai berita tinggi.
Salah satunya terjadi pada Selasa (7/10/2014) malam. Saat itu suasana kantor sangat meriah, maklum hampir semua berita yang didapat telah diselesaikan. Biasanya waktu selepas menyelesaikan tugas diisi dengan diskusi ringan di ruang makan. Bisa dibilang itu waktu favorit bagi wartawan sebelum pulang dan melanjutkan bekerja keesokan harinya.
Duduk di bangku busa warna biru yang dibuat setengah lingkaran, saya bersiap menyantap nasi bebek yang belum sempat dimakan sore harinya, saat Kepala Biro Kompas Jawa Timur Agnes Swetta Pandia atau akrab dipanggil Mak Eta memberi kabar bahwa ada kecelakaan laut di perairan Situbondo, yang artinya kecelakaan tersebut terjadi di wilayah liputan kami.
Sontak hal tersebut membuat kami yang berada di kantor kaget. Informasi terkait kecelakaan memang sering kami terima, tinggal tugas selanjutnya adalah mengecek kepastiannya. Kepastian akan menentukan di titik mana kami akan tuju.
Dari informasi yang berhasil dikumpulkan, sebuah Kapal Layar Motor Jabal Nur yang mengangkut puluhan orang rombongan pengantin pria dari Pulau Raas, Kabupaten Sumenep, tenggelam saat akan menuju Pulau Raas Madura menuju Desa Puteran, Singaraja, Pulau Bali. Posko SAR ditetapkan di Pelabuhan Jangkar Situbondo.
Bukan perkara mudah memang untuk menuju Situbondo karena jarak yang harus ditempuh dari Surabaya mencapai 200 kilometer. Akhirnya untuk mengejar waktu proses pencarian esok pagi, saya dan rekan Harry Susilo atau Ilo berangkat malam itu juga dengan diantar oleh Joni, yaitu teman dari bagian umum, dengan mobil kantor.
Berbekal pakaian ganti seadanya, kami berangkat pukul 22.00 dan tiba di Pelabuhan Jangkar menjelang Subuh.
Setiba di pelabuhan, kami langsung menuju Posko SAR. Dari petugas SAR yang berjaga diketahui bahwa kapal SAR KN-225 telah berlayar malam hari untuk melakukan proses pencarian dan jika ditemukan, korban langsung dibawa ke Pulau Raas.
Intinya, jika berdiam di Pelabuhan Jangkar, perjalanan 200 kilometer akan sia-sia. Tiba-tiba dari arah pinggir dermaga, Ilo memanggil dan memaksa saya untuk bersiap.
”Ayo jalan, ada kapal yang mau ke Pulau Raas,” ujar Ilo sambil mengambil barang-barang miliknya di mobil. Tanpa sempat bertanya, saya ikut bergegas dan mengikuti Ilo yang sedang menuju kapal kayu yang sudah disesaki penumpang. Kapal itu adalah kapal sejenis yang digunakan oleh rombongan pengantin yang naas.
Rupanya di dalam kapal juga ada keluarga korban yang sengaja datang dari Bali untuk melihat langsung proses pencarian.
”Bro, yakin, nih? Kita naik kapal ini,” tanya saya sesaat sebelum kapal berlayar.
”Ya, cuma ini satu-satunya kesempatan kita untuk ke Pulau Raas dan menunggu hasil pencarian dari sana,” kata Ilo. Alih-alih merasa khawatir dengan standar keamanan, akhirnya saya memilih duduk tepat di bawah tempat pelampung berada.
Suasana di kapal sangat mencekam sepanjang perjalanan yang memakan waktu hampir empat jam. Kapal seolah tidak berjalan, terombang-ambing miring ke kiri dan ke kanan. Untuk mengobati kepala yang mulai pusing, dengan susah payah saya keluar menuju ruang kemudi. Betapa kaget saat saya melihat ruang kemudi yang sangat memprihatinkan. Tanpa navigasi yang memadai, kapal berlayar hanya dengan bantuan kompas manual yang dipaku di sebelah kemudi. Jarum penunjuk arah seolah tak berfungsi di dalam air raksa.
Dengan kondisi tersebut, nakhoda berkata, ia juga harus melihat tanda-tanda dari alam, seperti arah gunung. Saya putuskan kembali ke kabin penumpang dan berusaha tidur untuk mengusir rasa cemas.
Mendekati Pulau Raas, sinyal telepon genggam mulai berfungsi dan kerabat korban dapat menerima panggilan telepon dan mulai menangis. Rupanya ada korban meninggal yang ditemukan dan posisinya sudah ada di posko darurat yang dibangun di Pelabuhan Pulau Raas.
Tangisan makin menjadi-jadi saat kapal merapat ke dermaga. Ombak yang tinggi membuat semua penumpang kesulitan turun, termasuk keluarga korban yang tergesa-gesa.
Keluarga korban semuanya telah berada di dermaga dan saya menunggu beberapa saat karena ombak tinggi membuat saya kesulitan turun dari kapal. Setelah menginjakkan kaki di dermaga, saya tidak menemukan lagi keluarga korban yang ikut dengan kapal yang sama dengan saya. Rupanya mereka telah dijemput oleh keluarga naik mobil menuju posko.
Tidak ingin kehilangan momen, tanpa alas kaki saya menuju ke posko dengan diantar warga. Setelah turun, saya harus berlari mengejar keluarga tersebut yang tampak tidak kuasa menahan sedih melihat keluarga mereka yang meninggal ditemukan.
Secara pribadi, inilah momen yang saya hindari, memotret kesedihan orang. Saya sering membayangkan bagaimana jika itu terjadi pada diri saya.
Saya pun menjaga jarak, tidak ingin terlibat lebih dalam dari kesedihan mereka. Peristiwa itu berjalan dengan cepat karena jenazah berhasil diidentifikasi dan langsung dibawa keluarga untuk dimakamkan. Peristiwa tersebut terjadi tidak lebih dari 15 menit.
Anehnya tidak ada satu pun wartawan di sana. Padahal, teman-teman wartawan yang ada di Situbondo telah merapat sehari sebelumnya. Bagi saya, itu merupakan momen puncak dalam peristiwa kecelakaan kapal layar motor Jabal Nur. Teman-teman rupanya sedang mengirim berita dengan sinyal yang jelek.
Beberapa tahun berselang, kecelakaan serupa yang melibatkan kapal layar motor kembali terjadi. Kali ini melibatkan Kapal Motor Arim Jaya saat berlayar dari Pulau Gowa-gowa di Kecamatan Raas menuju Pelabuhan Kalianget, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, Senin (17/7/2019).
Info kembali diterima pada malam hari. Namun, karena tidak ada teman yang ikut, saya putuskan pergi dengan mobil dinas keesokan paginya. Perjalanan yang ditempuh sejauh 165 kilometer.
Sesampai di Kabupaten Sampang, saya mendapat kabar bahwa sedikitnya 17 jenazah telah ditemukan.
Saat itu juga saya berpikir bahwa proses pencarian telah mencapai puncaknya, sehingga jika dipaksa menuju Sumenep hanya akan sia-sia. Namun, setelah berpikir lebih jauh lagi, saya justru merasa sia-sia jika tidak sampai ke sana karena perjalanan yang telah ditempuh sudah lumayan jauh.
Seorang teman fotografer dari Kantor Berita Antara mengabarkan bahwa semua jenazah dikirim ke RSUD Sumenep, dan saya pun langsung menuju ke sana.
Sesampai di kamar jenazah, seorang polisi memberi tahu bahwa masih ada korban selamat yang dirawat di Puskesmas Dungkek, Sumenep. Tanpa membuang waktu, saya langsung meninggalkan rumah sakit.
Di puskesmas, saya bertemu Salihan yang menggendong anaknya yang berusia 9 bulan, Aditya Pratama. Saya bertemu Salihan saat dikunjungi oleh kerabatnya. Ia tidak berhasil menahan emosi dan menangis karena gagal menyelamatkan istrinya, Umratun.
Bertahun-tahun bergelut di dunia jurnalistik tetap ada rasa tidak tega saat akan mewawancarai para korban maupun keluarga. Suara pun rasanya tercekat dan tidak mampu keluar saat melihat Aditya yang digendong Salihan yang belum sadar bahwa ibunya telah meninggal.
Kecelakaan laut itu merenggut nyawa 20 orang dari total penumpang sebanyak 60 orang.
Kembali ingatan saya tentang orang-orang yang kehilangan anggota keluarga dalam sejumlah musibah, khususnya kecelakaan laut, muncul.
Sebagai seorang jurnalis yang diberi kesempatan meliput banyak peristiwa, secara pribadi saya harus mengambil pelajaran berharga agar kehilangan mereka tidak sia-sia. Selain foto yang dihasilkan dibuat selengkap-lengkapnya sehingga dapat mengubah sistem keselamatan transportasi laut, khususnya pelayaran tradisional, saya menuntut diri harus lebih bersyukur dengan keluarga yang saya miliki saat ini.
Setiap wartawan tentu mempunyai pencapaian yang berbeda dalam hidupnya. Namun, bagi saya, tidak ada yang paling berharga dari berhasil pulang dan disambut dengan gembira, bukan kecewa.
Bekerja dengan seefektif dan seefisien mungkin sehingga banyak waktu bisa dimaksimalkan untuk ada dan hadir di tengah keluarga. Setidaknya itu harapan yang saya jaga sepanjang berkarier sebagai wartawan hingga saat ini.