Para produsen pangan Tanah Air terdampak pandemi Covid-19. Gangguan distribusi serta lesunya permintaan membuat harga hasil panen anjlok. Penyelamatan harga di hulu menjamin kelangsungan produksi.
Oleh
WER/XTI/VIO/GER/IKI/DKA/LKT/JUD/INA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Harga sejumlah komoditas pertanian, seperti telur dan daging ayam, jagung, ikan, padi, dan cabai, anjlok di tingkat petani, peternak, dan nelayan. Pasokan naik seiring mulainya masa panen, sementara permintaan turun sejalan pembatasan sosial dalam rangka mengendalikan penyebaran virus korona.
Keterputusan hulu dan hilir berpotensi mengancam kelangsungan produksi dan penyediaan pangan pada masa depan. Oleh karena itu, upaya mengatasi hambatan distribusi dan mendongkrak harga jual komoditas di tingkat petani, peternak, pembudidaya ikan, dan nelayan menjadi semakin urgen.
Pantauan Kompas di sejumlah sentra produksi di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Lampung sepekan terakhir menunjukkan situasi tersebut. Harga telur ayam produksi para peternak di Blitar, Jawa Timur, misalnya, turun dari kisaran Rp 20.000-21.000 per kilogram pada awal April 2020, lalu Rp 17.000-18.000 per kg pertengahan bulan, dan jadi Rp 15.000-16.000 per kg pada akhir bulan.
Padahal, harga minimal agar peternak untung adalah Rp 19.000 per kg, sesuai ketentuan harga batas bawah pembelian telur di tingkat peternak yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7 Tahun 2020 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen.
Menurut Wakil Ketua Paguyuban Peternak Rakyat Nasional Blitar Sukarman, kian masifnya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) berdampak signifikan pada penyerapan telur di hulu. Sebab, wilayah kota/kabupaten yang memberlakukan PSBB umumnya merupakan pasar utama telur ayam asal Blitar, khususnya Jabodetabek yang menyerap 65-70 persen dari total 1.000 ton telur yang diproduksi oleh 4.000 peternak Blitar per hari.
”Tak hanya telur yang harganya rendah. Ayam petelur afkir juga sulit laku karena harga ayam potong juga rendah. Ada indikasi telur tetas untuk anakan ayam (DOC) saat ini mengisi pasar akibat rendahnya harga ayam potong (pedaging),” kata Sukarman.
Tutupnya rumah makan, restoran, dan hotel menekan permintaan. Situsai itu memukul Warsono (55), pedagang ayam di Teluk, Kecamatan Purwokerto Selatan, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, karena penjualannya anjlok dari rata-rata 800 ekor ayam menjadi 200 ekor ayam per hari.
Harga ayam pejantan di tingkat peternak pun turun. Menurut Warsono, harga ayam pejantan di sejumlah peternakan yang menjadi pemasoknya di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta turun dari kisaran Rp 25.000-30.000 per kg menjadi Rp 11.000-15.000 per kg. Oleh karena lesu, dia pun mengurangi dua dari empat karyawannya.
Terkait situasi yang dialami peternak, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian I Ketut Diarmita meminta perusahaan peternakan terintegrasi (integrator) untuk menyerap ayam pedaging produksi peternak rakyat mandiri. Integrator ditargetkan menyerap 4,119 juta ekor ayam hidup untuk meredam penurunan harga ayam.
Tangkapan nelayan
Harga ikan hasil tangkapan nelayan pun terdampak. ”Kami sedang berada di posisi sulit. Jumlah ikan melimpah, tetapi serapannya kecil, jadi harga terjun bebas,” kata Darman (42), nelayan asal Tegal, Jawa Tengah, Jumat (1/5/2020).
Di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, Kota Tegal, jumlah ikan yang dilelang berkisar 27-30 ton per hari. Dalam kondisi normal, semua ikan yang dilelang nelayan diserap oleh industri pengolahan ikan dan penjual ikan di Tegal dan sekitarnya. Namun, belakangan hanya separuh dari semua ikan yang dilelang di TPI itu yang terserap pasar.
Akibatnya, harga ikan anjlok. Ikan tengiri, misalnya, turun dari Rp 100.0000 per kg jadi Rp 50.000 per kg. Ikan siro yang semula Rp 11.000 per kg jadi Rp Rp 5.000 per kg, sementara harga cumi-cumi turun dari Rp 50.000 per kg jadi Rp 30.000 per kg.
Peningkatan jumlah pasokan seiring mulainya masa panen raya serta guyuran hujan menambah derita petani.
Peningkatan jumlah pasokan seiring mulainya masa panen raya serta guyuran hujan menambah derita petani. Harga jual hasil panen petani jagung di Kabupaten Lampung Selatan, Lampung, misalnya, kini hanya berkisar Rp 1.700-2.000 per kg. Padahal, pada panen Desember 2019, harganya masih mencapai Rp 4.000 per kg.
Menurut Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Lampung Selatan M Amin Syamsudin, ada pengepul yang menawarkan harga Rp 3.500 per kg. Syaratnya, kadar air maksimal 14 persen. Namun, petani kesulitan memenuhi syarat itu. Petani tidak bisa mengeringkan jagung karena ketiadaan mesin pengering, sementara hujan masih sering turun.
Situasi serupa dialami petani padi di pantai utara Indramayu dan Cirebon, Jawa Barat. Harga jual gabah di tingkat petani di Kalensari, Kecamatan Widasari, Kabupaten Indramayu, misalnya, tertekan hingga Rp 3.000 per kg kering panen (GKP), jauh di bawah harga pembelian pemerintah (HPP) yang ditetapkan Rp 4.200 per kg GKP. Sementara di Lampung, harganya berkisar Rp 3.400-3.700 per kg GKP.
Akan tetapi, harga gabah di daerah lain, seperti di Banyumas, Jawa Tengah, serta Malang dan Banyuwangi, Jawa Timur, relatif stabil. Di Banyuwangi, harga gabah di tingkat petani berkisar Rp 4.300-4.500 per kg GKP, sementara di Banyumas berkisar Rp 4.600-5.000 per kg GKP.
Insentif
Pemerintah menyiapkan insentif untuk 2,44 juta petani agar bisa menanam lagi setelah panen. Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, insentif akan diberikan dalam bentuk bantuan langsung tunai Rp 300.000 serta berupa sarana produksi senilai Rp 300.000 setiap bulan selama tiga bulan.
Pemerintah juga mewacanakan pembukaan lahan baru untuk mengantisipasi masalah pangan. Presiden Joko Widodo, kata Airlangga, juga meminta BUMN, pemerintah daerah, dan Kementerian Pertanian membuka lahan-lahan baru untuk persawahan, baik lahan basah maupun lahan gambut.
Staf Khusus Wakil Presiden RI Bidang Ekonomi dan Keuangan Lukmanul Hakim mengusulkan penguatan peran Dewan Ketahanan Pangan Nasional dan Daerah untuk mengoordinasikan ketersediaan dan distribusi pangan.
Menurut Lukmanul, Dewan Ketahanan Pangan dapat mengoordinasikan offtaker produk-produk pertanian, peternakan, dan perikanan. Dewan ini juga dapat menguatkan proses distribusi yang melibatkan BUMN, BUMD, dan swasta sehingga tidak terjadi ketimpangan pasokan pangan. (WER/XTI/VIO/GER/IKI/DKA/LKT/JUD/INA)