Pemerintah Banyuwangi Rancang Skema Bantuan untuk Perantau
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi akan memberikan bantuan bagi para perantau yang terdampak. Skema pemberian bantuan tersebut diharapkan menjadi solusi bagi perantau yang tidak bisa kembali ke kampung halaman.
Oleh
ANGGER PUTRANTO
·4 menit baca
BANYUWANGI, KOMPAS — Pemerintah Kabupaten Banyuwangi tetap mengimbau warganya yang berada di perantauan untuk tidak mudik ataupun pulang kampung. Sebagai gantinya, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi akan memberikan bantuan bagi para perantau yang terdampak.
Skema pemberian bantuan tersebut diharapkan menjadi solusi bagi perantau yang tidak bisa kembali ke kampung halaman dan menderita kesulitan di perantuan. Hal ini menyusul instruksi pemerintah yang membatasi pergerakan warga untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Hal tersebut disampaikan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas ketika ditemui di Banyuwangi, Kamis (7/5/2020). ”Saat ini, kami masih merancang bagaimana teknis dan mekanisme pemberian bantuan bagi para perantau. Harapannya minggu depan kami sudah bisa salurkan bantuan,” ungkapnya.
Anas mengatakan, pihaknya tetap mengimbau warga Banyuwangi di perantuan untuk sementara tidak pulang ke kampung halaman. Anas sadar imbauan tersebut tidak mudah bagi warga yang pendapatannya berkurang atau bahkan kehilangan pekerjaan akibat dampak dari penyebaran Covid-19 ini.
Karena itu, skema bantuan ini diharapkan dapat sedikit mengurangi beban para perantau asal Banyuwangi. Adapun bantuan yang diberikan rencananya berupa kebutuhan pokok bagi perantau yang paling terdampak.
”Kami bantu berupa beras sekitar 3 ton hingga 5 ton per daerah. Bantuan ini kami salurkan melalui Ikawangi (Ikatan Keluarga Banyuwangi) yang ada di daerah-daerah. Pengurus Ikawangi nantinya akan mendata siapa yang paling terdampak dan layak menerima bantuan,” ujarnya.
Ada dua cara yang dapat digunakan untuk penyaluran bantuan ini. Pertama, pemerintah daerah akan mentransfer uang untuk kemudian dibelanjakan di daerah setempat. Kedua pemerintah akan mengirimkan langsung beras kepada perwakilan Ikawangi di daerah-daerah.
Cara pertama, lanjut Anas, akan diterapkan ke daerah-daerah yang jaraknya jauh dan sulit di tempuh. Sementara cara kedua diterapkan di daerah-daerah yang masih bisa dijangkau dari Banyuwangi.
”Skema bantuan bagi perantau akan dialokasikan dari dana yang dikumpulkan oleh para ASN di Banyuwangi. Memang tidak bisa semuanya kami bantu, tapi yang sangat terdampak seperti buruh bangunan atau buruh pabrik yang kehilangan pekerjaan harus benar-benar dibantu,” tutur Anas.
Anas bersyukur banyak perantau yang tergabung di Ikawangi masing-masing daerah. Hampir setiap tahun saat Lebaran, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi selalu mengadakan silaturahmi bagi para perantau yang dikemas dalam Festival Banyuwangi Diaspora. Ajang tersebut digunakan untuk mengumpulkan para perantau dan menjalin hubungan antar-sesama perantau maupun antar-perantau dengan pemerintah.
”Saat ini, Ikawangi punya peran untuk dapat saling gotong royong membantu teman-temannya sesama perantau. Mereka yang lebih kuat secara ekonomi bisa membantu temannya yang juga sedang kesusahan,” ujar Anas.
Saat ini, Ikawangi punya peran untuk dapat saling gotong royong membantu teman-temannya sesama perantau.
Sebelumnya, Ketua Ikawangi Dewata (Bali) berencana mengirimkan permohonan bantuan kepada Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. Ketua Ikawangi Dewata Agustinus Winjaya mengatakan, sedikitnya ada sekitar 50.000 warga Banyuwangi yang merantau di Bali.
”Saat ini mungkin hanya sekitar 10 persen yang berhasil kembali ke Banyuwangi. Sementara 90 persen lainnya tertahan dan bertahan di Bali dengan kondisi yang tidak mudah,” ujarnya.
Kondisi tidak mudah tersebut, lanjut Winjaya, dialami para perantau baik yang menjadi pengusaha maupun pekerja di Bali. Di Bali, mayoritas warga Banyuwangi bekerja di sektor garmen dan kuliner. Selain itu, tak sedikit pula yang menjadi buruh bangunan.
Winjaya mengatakan, para pengusaha asal Banyuwangi memproduksi aneka pakaian dan kerajinan tangan untuk diekspor. Saat ini, hasil produksi mereka tidak bisa dipasarkan karena ekspor memang dibatasi. Selain itu, beberapa negara penerima juga belum membuka akses pengiriman barang melalui pelayaran peti kemas.
Sementara para pekerja harus menghadapi keputusan diliburkan, dirumahkan, bahkan kehilangan pekerjaan. Mereka yang memiliki usaha warung kecil-kecilan juga harus membatasi jam operasional maksimal hingga pukul 21.00.
”Kondisi ini yang memaksa teman-teman memilih pulang. Semula teman-teman memilih bertahan di Bali karena yakin kondisi ini cepat berlalu. Namun, kondisi ini, kok, tidak berubah dan justru semakin sulit untuk bertahan di Bali. Akhirnya sebagian teman memilih pulang ke Banyuwangi, tapi sampai di Gilimanuk mereka dilarang menyeberang,” tuturnya.
Winjaya mengatakan, pemerintah harus memberikan solusi yang nyata bagi para perantau. Perantau dilarang pulang, tetapi tidak mendapat jaminan kesejahteraan saat banyak di antara mereka kehilangan penghasilan.
Tetap di tanah rantau, lanjut Winjaya, hanya akan membuat para perantau mengeluarkan biaya hidup. Padahal, pemasukan bulanan mereka menjadi berkurang atau bahkan hilang sama sekali.
”Kami sudah mencoba meminta bantuan dari Pemerintah Provinsi Bali, tapi belum ada tanggapan. Kami berencana meminta bantuan ke Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. Drafnya sedang kami buat,” ungkapnya.
Winjaya mengatakan, dirinya dan para perantau membutuhkan bahan makanan untuk bertahan hidup ke depan. Namun, jika hal itu dirasa terlalu berat, ia berharap agar para perantau diberi kemudahan untuk pulang kampung.