Pelonggaran PSBB di Jawa Barat Mempertimbangkan Potensi Penularan Gelombang Kedua
Rencana pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jawa Barat akan mempertimbangkan beragam aspek. Salah satunya potensi penularan gelombang kedua yang mesti diantisipasi.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Potensi penularan Covid-19 gelombang kedua bakal menjadi salah satu pertimbangan menyusun rencana pelonggaran pembatasan sosial berskala besar atau PSBB di Jawa Barat. Lama atau tidaknya pandemi bergantung pada sikap dan tingkah laku semua pihak untuk menyikapinya.
Menurut rencana, pelonggaran itu dilakukan setelah mengevaluasi penerapan PSBB se-Jabar yang berakhir 19 Mei mendatang. Oleh sebab itu, relaksasi harus didukung data penurunan jumlah warga positif Covid-19 dan tidak adanya penambahan kasus baru di suatu wilayah.
”Potensi penularan baru atau gelombang kedua juga dipertimbangkan. Ini harus diantisipasi. Jika semua bisa dijamin, relaksasi dapat diterapkan,” ujar Wakil Sekretaris Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan Covid-19 Jabar Berli Hamdani, di Gedung Sate, Kota Bandung, Rabu (13/5/2020).
Oleh sebab itu, pelacakan kasus Covid-19 akan terus dilakukan. Apalagi ada potensi penularan dari luar negeri melalui pekerja migran Indonesia yang direpatriasi.
Berli mengatakan, pihaknya telah berkoordinasi dengan pengelola Bandara Soekarno-Hatta di Tangerang, Banten. Para pekerja migran akan dijemput dan menjalani tes cepat.
Jika tes cepat menunjukkan hasil reaktif atau positif, dilanjutkan dengan tes reaksi rantai polimerase (PCR). Hal ini dilakukan agar hasil pemeriksaan lebih akurat.
Pelacakan kasus Covid-19 akan terus dilakukan. Apalagi ada potensi penularan dari luar negeri melalui pekerja migran Indonesia yang direpatriasi.
”Jika tidak ada gejala, akan ditempatkan di Gedung BPSDM (Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Jabar). Kalau punya gejala, ditempatkan di ruang isolasi di 105 rumah sakit rujukan (Covid-19) di Jabar,” jelasnya.
Berli menuturkan, rencana relaksasi PSBB masih dikaji tim ahli Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan Covid-19 Jabar dan tim Universitas Padjadjaran. Tim akan menganalisis berbagai aspek, di antaranya epidemiologi, sosial, dan ekonomi.
Sekitar 63 persen wilayah Jabar berpotensi melakukan relaksasi pasca-PSBB. Sebagian besar berada di kabupaten karena kasus dan mobilitas orang relatif lebih landai dibandingkan dengan kawasan perkotaan.
Pelacakan kasus Covid-19 akan terus dilakukan. Apalagi ada potensi penularan dari luar negeri melalui tenaga kerja Indonesia (TKI) yang direpatriasi.
Berli yang juga Kepala Dinas Kesehatan Jabar mengatakan, kontak indeks harus terus ditekan untuk memperkecil potensi penularan Covid-19. ”Arahan agar tidak beraktivitas di luar rumah terus dijalankan. Selain oleh pemerintah, pengawasan juga perlu dilakukan warga,” ucapnya.
Gubernur Jabar Ridwan Kamil mengatakan, setelah PSBB berakhir pekan depan, pihaknya segera memetakan wilayahnya berdasarkan tren kasus Covid-19. ”Hasil PSBB, ternyata yang harus diwaspadai di 37 persen wilayah sehingga 63 persen (wilayah) bisa relaksasi. Dengan demikian, ekonomi bisa normal di 63 persen wilayah itu,” ujarnya.
PSBB dinilai dapat menekan mobilitas warga sehingga berdampak pada penurunan kasus baru. Kamil menyebutkan, sebelum PSBB, reproduksi penularan (Ro) Covid-19 di Jabar mencapai indeks 3. Kini, indeksnya menurun menjadi 0,86.
Hasil PSBB, ternyata yang harus diwaspadai di 37 persen wilayah sehingga 63 persen (wilayah) bisa relaksasi. Dengan demikian, ekonomi bisa normal di 63 persen wilayah itu.
Mantan Wali Kota Bandung itu menambahkan, pada awal hingga pertengahan April, terdapat rata-rata penambahan 40 kasus Covid-19 per hari. ”Jumlahnya menurun menjadi 28 kasus per hari dari pertengahan hingga akhir April. Pada 1-12 Mei turun lagi menjadi 21 kasus per hari,” ujarnya.
Berdasarkan data Pusat Informasi dan Koordinasi Covid-19 Jabar yang diperbarui hingga Rabu pukul 19.13, kasus positif di provinsi itu berjumlah 1.556 orang. Sejumlah 237 orang sembuh dan 98 orang meninggal dunia.
Epidemiolog Universitas Padjadjaran, Pandji Fortuna Hadisoemarto, mengatakan, PSBB masih diperlukan untuk menahan laju penularan Covid-19. Berdasarkan pemodelan yang ia buat, pandemi Covid-19 dapat berlangsung selama tiga tahun jika pergerakan masyarakat tidak ditekan.
”Kalau (pandemi) ingin lebih cepat berakhir, harus disiplin melakukan PSBB dan menurunkan kontak indeks hingga di bawah 20 persen,” ujarnya.