Perantau Sedang Menghadapi Dilema
Pemudik yang sudah berada di kampung halaman menghadapi situasi yang dilematis. Mereka belum berencana kembali ke kota perantauan dalam waktu dekat ini. Pada saat yang sama, mereka membutuhkan pendapatan.
KUNINGAN, KOMPAS — Ribuan pedagang asal Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, menghadapi dilema kembali tempat perantauan. Sebagian dari mereka khawatir tertular Covid-19 yang belum mereda. Di sisi lain, mereka harus memutuskan untuk segera melakukan sesuatu agar mendapatkan penghasilan.
”Belum ada (pedagang) yang balik ke Yogyakarta. Kami masih menunggu situasi kondusif. Tetapi, belum tahu kapan Covid-19 selesai,” kata Ketua Paguyuban Pedagang Warga Kuningan (PPWK) Yogyakarta Andi Waruga kepada Kompas, Rabu (27/5/2020), di Kuningan.
Menurut dia, pandemi Covid-19 membuat hampir 5.000 warga Kuningan di Yogyakarta mudik sebelum Lebaran. Mereka meninggalkan lebih dari 1.000 tempat usaha di Yogyakarta akibat sepi pengunjung. Kini, mereka gamang kembali ke perantauan. ”Usaha di sana (Yogyakarta) enggak jalan semua,” ucap Andi.
Hal serupa disampaikan Sanny Febrian (23), warga Kuningan yang menunda panggilan kerja di Jakarta akibat pandemi Covid-19. ”Rencana awal bulan depan (Juni) ke sana. Tetapi, tunggu Covid-19 berkurang dulu,” katanya.
Baca juga: Petani dan Nelayan Berkolaborasi dengan Barter Produk Pangan
Berdasarkan data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kabupaten Kuningan, perantau yang kembali ke daerah sekitar 70.000 orang. Sebagian besar berasal dari Jakarta dan sekitarnya, Bandung, serta Yogyakarta. Selain bekerja di pabrik, para perantau merupakan pekerja informal.
Kepala Desa Manis Kidul, Kuningan, Maman Sadiman mengatakan, dari sekitar 200 perantau di desanya, tidak lebih dari 10 orang yang kembali ke daerah perantauan di Jakarta, Bekasi, dan Karawang dengan alasan bekerja. Selebihnya, mereka memilih tinggal di desa.
Di tengah kegamangan sebagian perantau, aparat memperketat perjalanan warga ke arah Jakarta dan sekitarnya. Di Kota Cirebon, kendaraan bernomor polisi Jakarta dan sekitarnya dihentikan aparat dan diperiksa dokumen kelengkapan perjalanan.
Sementara itu, Lukman (28), pekerja informal di Jakarta yang pulang kampung ke Tegal, Jawa Tengah, sudah dua bulan berada di rumah tanpa usaha tetap. Bayangan merantau lagi kerap melintas di benaknya. Biaya hidup di Jakarta memang tak semurah di kampung, tetapi pendapatan di kota besar lebih menjanjikan.
Baca juga: DKI Perbaiki Sistem Pembuatan Surat Izin Keluar Masuk Jakarta
”Sudah dua bulan ini saya menganggur, usaha di sini (Tegal) juga susah karena ada PSBB (pembatasan sosial berskala besar), paling kerja serabutan jadinya,” kata Lukman. Dia masih menunggu waktu yang tepat untuk kembali ke Jakarta.
Adapun Indra Warman (31) sejak awal Maret terkurung di rumah mertuanya di di Palu, Sulawesi Tengah, belum berniat kembali ke Tambun, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. ”Saya punya anak kecil, sekarang sedang aktif-aktifnya, kalau dipaksakan balik dalam situasi nanti sudah pasti tak akan aman,” ujarnya.
Berbeda dengan Yones Febri (25), perantau asal Dharmasraya, Sumatera Barat. Ia mantap dengan keputusannya kembali ke Tangerang Selatan, Banten. Di sana, dia bekerja sebagai karyawan di tempat fotokopi. Dia merasa kesulitan mencari kerja di kampung. ”Daripada di kampung dan menganggur sama sekali,” ujarnya.
Begitu pun dengan pria asal Solok Selatan, Sumatera Barat, Ferdi Andika (28). Dia berniat kembali ke perantauan seraya memantau informasi mengenai pembukaan mal di Jakarta dan Bekasi, Jawa Barat. Dia berencana kembali akhir Juni nanti. ”Selain itu, perputaran ekonomi sudah jelas lebih besar di kota,” kata lulusan Universitas Negeri Padang ini.
Magnet
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada triwulan I-2020 sebesar 2,97 persen. Dari jumlah itu, Pulau Jawa memberikan kontribusi terbesar terhadap perekonomian nasional, yakni sebesar 59,14 persen dengan pertumbuhan 3,42 persen. Sementara produk domestik regional bruto (PDRB) DKI Jakarta, pada 2018, merupakan yang tertinggi di Pulau Jawa, sebesar Rp 2.599,17 triliun. Dari data ini, kegiatan ekonomi di Jawa, khususnya di Jakarta masih menjanjikan.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra PG Talattov, menilai, selain dari kontribusi PDRB Jakarta yang besar bagi perekonomian secara nasional, sektor perbankan pun hampir seluruhnya berputar di wilayah ini. Artinya, pergerakan uang dan bisnis memang didominasi Ibu Kota. ”Otomatis sektor-sektor formal, terutama yang berpusat di Jakarta, itu menjadi penarik warga untuk melakukan urbanisasi ke Jakarta,” ujar Abra.
Pada situasi ini, Abra menyoroti perlunya optimalisasi percepatan penggunaan dana desa sebagai bantuan sosial. Hal ini menjadi titik krusial untuk memastikan ketimpangan antara kota dan desa tidak terlampau lebar. ”Kalau berlarut-larut tidak dieksekusi, dikhawatirkan rumah tangga di perdesaan akan semakin tertekan. Ujung-ujungnya ekonomi nasional juga akan semakin dalam kontraksinya,” ujar Abra.
Hal lain yang perlu dicermati adalah dana desa yang awalnya bertujuan membangun infrastruktur untuk meningkatkan produktivitas ekonomi sekarang beralih menjadi bantuan sosial. Untuk jangka pendek, hal itu memang akan membantu menjaga daya beli masyarakat. Namun, dalam jangka menengah panjang, keadaan ini akan menghambat pertumbuhan ekonomi di daerah. Pemerintah dapat menangkap momentum, yakni dengan mendorong realokasi industri ke perdesaan yang dinilai masih aman dari pandemi Covid-19.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Derajad S Widhyharto, berpendapat arus urbanisasi akan tetap terjadi tahun ini. Tidak tersedianya pekerjaan di daerah secara masif akan membuat warga mencari berbagai cara untuk mengakali aturan tersebut. ”Mereka tidak peduli (berbagai persyaratan untuk masuk Jakarta). Karena fokus mereka bukan formalitas, melainkan pada hidup laik dan kesejahteraan,” katanya.
Dia mengingatkan, perantau yang akan kembali ke kota-kota besar sebaiknya memiliki spesialisasi agar dapat terserap pasar kerja. ”Di Pasar Pramuka yang menjual produk kesehatan, misalnya, memerlukan karyawan, tetapi yang memiliki pengetahuan tentang produk kesehatan. Di sektor pekerjaan formal, akan ada permintaan di bidang kesehatan, seperti dokter dan perawat,” katanya.