Menyesap Manis Madu Petani Jambi Kala Pandemi
Manisnya madu tak lagi sebatas di lidah. Covid-19 yang memukul perekonomian dunia ternyata membawa cerita manis bagi petani madu di Jambi. Mereka panen berkah di kala pandemi ini.
Manisnya madu tak lagi sebatas di lidah. Covid-19 yang memukul perekonomian dunia ternyata membawa cerita manis bagi petani madu di Jambi. Mereka panen berkah di kala pandemi ini.
Samsul (50) kini bisa bernapas lega. Sudah tiga bulan terakhir kotak-kotak sarang lebah menjadi penopang hidup. Sehari-hari ia lebih banyak bercengkerama dengan koloni Apis meliferra di tengah hutan Acasia mangium di Sarolangun, Jambi.
Melimpahnya polen dan nektar ekstrafloral dalam hutan itu memacu produksi madu. ”Kami bisa panen madu 10 hari sekali,” ujar Samsul yang tergabung dalam Kelompok Tani Madu Sarang Tawon Jambi, Rabu (3/6/2020).
Cerita tentang melimpahnya madu menyebar luas dengan cepat. Banyak petani karet beralih menjadi pembudidaya madu, apalagi di tengah anjloknya harga getah karet.
Alhasil budidaya itu tumbuh pesat. Sarang-sarang madu yang semula 400-an kotak kini mencapai 4.000-an kotak. Semuanya dikelola sekitar 2.700 petani yang tergabung dalam enam kelompok.
Cerita tentang melimpahnya madu menyebar luas dengan cepat. Banyak petani karet beralih menjadi pembudidaya madu, apalagi di tengah anjloknya harga getah karet.
Dari usaha itu, dihasilkan 12 hingga 14 ton madu per bulan. Uang yang mengalir masuk hingga Rp 1 miliar per bulan!
Samsul bisa memperoleh penghasilan pribadi hampir Rp 2 juta per bulan dari delapan kotak sarang lebah. Nilai itu jauh melampaui pendapatannya sebagai penyadap. Getah karet hanya memberinya hasil Rp 500.000 sebulan. ”Apalagi harga karet makin turun. Sekilo Rp 5.000,” ujarnya.
Seiring konservasi
Tak hanya membawa dampak sejahtera, budidaya madu akhirnya juga menjadi bagian dari upaya konservasi. Lebah membutuhkan tanaman-tanaman penghasil nektar dan polen. Keberadaan vegetasi yang beragam di hutan itu juga mendorong petani untuk turut menjaga kelestarian hutan.
Kondisi tersebut jauh berbeda dibandingkan sewaktu konflik lahan membara di tempat itu. Lima tahun terakhir, perambahan masif. Para pendatang membuka hutan untuk mendapatkan hasil kayu. Mereka juga membangun desa baru di dalamnya.
Kehadiran mereka menciptakan konflik kepentingan dengan pemegang konsesi hutan tanaman industri (HTI), PT Agronusa Alam Sejahtera (AAS). Dari 32.500 hektar konsesi hutan akasia dan sengon di lahan itu, 70 persen habis dirambah.
Selama bertahun-tahun rentetan konflik telah menyita energi kedua belah pihak. Titik terang muncul dua tahun lalu. Salah seorang petani mendatangi pengelola hutan. Petani itu, Ulil Albab, meminta izin membudidaya madunya di hutan akasia.
Tak hanya membawa dampak sejahtera, budidaya madu akhirnya juga menjadi bagian dari upaya konservasi. Lebah membutuhkan tanaman-tanaman penghasil nektar dan polen. Keberadaan vegetasi yang beragam di hutan itu juga mendorong petani untuk turut menjaga kelestarian hutan.
Menurut Ulil, budidaya yang sebelumnya ia rintis di kebun sawit tidak menghasilkan. Perkembangan produksi koloni lebah tidak seimbang dengan produksi madu. Setelah ia telusuri penyebabnya karena nektar atau cairan manis dari tanaman sawit sangat minim. Di sisi lain, polen atau tepung sari sebagai pendukung regenerasi koloni lebah melimpah.
Usulan Ulil untuk membangun budidaya madunya di hutan akasia disambut Firman Purba, Manajer Distrik PT AAS. Ulil pun memboyong 43 kotak koloni lebah. Rupanya koloni lebah mendapatkan nektar yang sangat melimpah di hutan itu. Produksi madunya pun melesat.
Melihat hasil itu, budidaya madu dalam hutan akasia mulai dikembangkan. Petani lain diberi kesempatan. ”Yang mau mengembangakan budidaya madu, kami luangkan tempat. Selain untuk mendorong kesejahteraan, kami yakin petani punya andil menjaga hutan dari kerusakan,” kata Firman.
Selama ini, keberadaan hutan tanaman industri, khususnya monokultur akasia, menuai kontroversi di sejumlah wilayah. Laporan Centre for International Forestry Research (Cifor) tahun 2016 berjudul ”Dampak Hutan Tanaman Industri di Indonesia” menyebut pengembangan HTI kerap ditandai sejumlah masalah.
Dari hasil penggalian di masyarakat sekitar HTI, didapatkan adanya persepsi negatif warga. Pembangunan HTI dipandang sama dengan pengambilan lahan oleh entitas luar. Hal itulah yang menyulut sejumlah reaksi negatif warga.
Pelibatan masyarakat secara optimal dalam mengelola hutan sebenarnya dapat menjadi jalan keluar mengatasi konflik. Pengembangan budidaya madu oleh masyarakat bisa berjalan seiring dengan target produksi tanaman industri.
Berdasarkan data Pusat Perlebahan Nasional, budidaya lebah madu akan optimal berkembang dengan penyediaan pakan yang didominasi Acacia mangium. Tanaman tersebut bahkan dapat meningkatkan kembali populasi lebah.
Ragam pakan lebah
Kuntadi, peneliti perlebahan dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, dalam Jurnal Sylva Tropika, 2003, menuliskan, ada beragam sumber pakan lebah madu yang dihasilkan dari hutan Indonesia. Bisa tanaman buah, sayuran, tanaman industri, dan tanaman hutan.
Bunga dari tanaman-tanaman itu mengandung nektar dan polen yang mempengaruhi produksi madu. Sekitar 25.000 tanaman berbunga tumbuh dan berkembang dengan baik. Keragaman jenis tanaman yang sangat besar ini memungkinkan tersedianya nektar dan polen sepanjang tahun. Sayangnya, informasi tentang tanaman-tanaman tersebut belum meluas.
Untuk madu akasia, penelitian Bagian Nutrisi Manusia dan Sains Makanan, Universitas Florida, menyebut madu dari nektar Acacia mangium mengandung mineral dan vitamin, seperti B1, B6, B2, B3, dan C, yang bermanfaat menambah stamina, imunitas, fungsi otak, perbaikan jaringan kulit, hingga baik untuk kesehatan jantung.
Kepala Dinas Kehutanan Jambi Ahmad Bestari mengatakan, budidaya madu menjadi jalan tengah mengatasi konflik dalam kawasan hutan. Petani yang tinggal di dalamnya mendapat manfaat besar sekaligus dapat berperan dalam konservasi. Oleh karena itu, budidaya serupa akan dikembangkan di lahan konsesi lain yang didera konflik.
Pengurus kelompok tani madu, Subarjo, mengatakan, para petani memiliki keinginan kuat untuk mengembangkan budidaya madu. Apalagi, pasarnya sangat terbuka lebar. Di saat badai korona ini, peminat madu bahkan malah bertambah banyak.
Akhirnya, budidaya madu bisa menjadi salah satu jalan untuk penyelesaian konflik dan menyelamatkan petani dari gelombang pandemi.