Langkah Berat Sulawesi Utara Menuju ”New Normal”
Sulawesi Utara masih berada di zona jingga dalam persiapan menuju tatanan baru kehidupan normal. Meski kasus positif Covid-19 baru tak kunjung reda, desakan membuka kegiatan ekonomi menguat.
Penerbitan 14 indikator kesehatan masyarakat menuju tatanan kehidupan normal baru oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 memberi terang bagi arah penanganan pandemi, termasuk di Sulawesi Utara. Selama dua pekan terakhir, Sulut telah ”naik kelas” dari zona merah atau risiko tinggi ke zona jingga atau risiko sedang. Namun, masih ada syarat-syarat yang harus dicapai untuk mendapat status zona hijau atau zona aman.
Gugus Tugas Covid-19 Nasional menerbitkan 14 indikator ini pada 30 Mei lalu. Setiap daerah diminta menggunakannya untuk mengukur performa penanganan wabah berdasarkan keadaan epidemiologis, pelacakan kasus Covid-19, dan pelayanan kesehatan.
Capaian tersebut akan dikonversi menjadi sebuah kategori risiko dengan nilai numerik, yaitu zona risiko tinggi (merah, 0-1,8), zona risiko sedang (jingga, 1,9-2,4), zona risiko rendah (kuning, 2,5-3,0), dan zona tidak terdampak (hijau, bebas Covid-19). Dengan demikian, dapat disimpulkan seberapa aman warga suatu daerah dari risiko tertular Covid-19.
Kita berharap ada perubahan yang progresif, bukan setback (kemunduran). Terus melaju dari zona merah, jingga, kuning, sampai hijau.
Berdasarkan peninjauan, Steaven mengumumkan Sulut berada di zona jingga pada pekan kedua Juni 2020. Pada pekan sebelumnya, perolehan nilai 1,63 mengurung ”Bumi Nyiur Melambai” di zona merah.
”Kita berharap ada perubahan yang progresif, bukan setback (kemunduran). Terus melaju dari zona merah, jingga, kuning, sampai hijau. Inilah arah yang kita tuju sebagai sebuah komunitas. Kita punya angka-angka yang harus kita capai,” kata juru bicara Gugus Tugas Covid-19 Sulut, Steaven Dandel, dalam konferensi pers daring, Rabu (17/6/2020).
Sepuluh indikator pertama merujuk pada keadaan epidemiologis (bobot nilai 71 persen). Indikator ke-11 dan ke-12 (bobot nilai 12 persen) tergolong ranah surveilans kesehatan masyarakat, sedangkan indikator ke-13 dan ke-14 (bobot nilai 17 persen) terkait pelayanan kesehatan. Setiap indikator diberi skor 1-3 dan dikalikan persentase tertentu.
Lalu, bagaimana performa Sulut? Pada indikator pertama, penurunan jumlah kasus baru Covid-19 selama dua pekan di Sulut hanya 12 persen. Ada 151 kasus baru yang diumumkan selama pekan pertama Juni, lalu menurun menjadi 132 kasus baru pada pekan kedua.
Steaven mengatakan, penurunan tersebut jauh dari target minimal 50 persen sehingga Sulut belum mendapat nilai 1. Sulut malah melangkah mundur dengan ketambahan 150 kasus baru selama 15-20 Juni. Artinya, pertambahan kasus kembali memuncak.
Baca juga : Pengendalian Covid-19 Belum Efektif
Pada indikator ketiga, yaitu penurunan jumlah pasien positif yang meninggal selama dua pekan berturut, nilai bagi Sulut justru maksimal. Pada pekan kedua Juni, hanya 2 pasien positif Covid-19 yang meninggal, turun dari 8 kasus pada pekan keempat Mei (75 persen).
Walakin, jumlah kematian pasien positif sepanjang 15-20 Juni kembali memuncak menjadi 8 kasus. Pada Sabtu (20/6), Steaven mengatakan, tingkat fatalitas kasus (CFR) di Sulut mencapai 8,29 persen. Namun, ia menegaskan, pasien yang meninggal kebanyakan bukan murni karena Covid-19, melainkan karena penyakit penyerta.
”Ini juga terkait dengan gaya hidup dan pola makan. Banyak konsumsi karbohidrat dan gula, misalnya. Akibatnya, ada komorbid (penyakit penyerta) yang tidak menular dan kemudian menyebabkan kematian akibat Covid-19,” kata Steaven.
Pada indikator kelima, jumlah pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit hanya menurun 28 persen, yakni dari 119 pada pekan pertama Juni menjadi 85 pada pekan kedua Juni. Pemprov Sulut tidak mengungkap jumlah pasien yang harus dirawat di rumah sakit sehingga performa pada pekan ketiga Juni tidak dapat dipastikan.
Baca juga : Pelacakan Covid-19 di Sulawesi Utara Semakin Masif
Saat ini masih ada 598 kasus positif aktif di Sulut. Steaven mengatakan, secara statistik, hanya sekitar 20 persen pasien Covid-19 yang membutuhkan perawatan di ruang isolasi rumah sakit atau sekitar 120 pasien saat ini. Kapasitas 500 tempat tidur di ruang isolasi rumah sakit se-Sulut pun dinilai cukup untuk menangani pagebluk ini. Keadaan ini pun memberi nilai maksimal pada indikator ke-13. Sebab, jumlah tempat tidur meningkat lebih dari dua kali lipat dari 210 di masa awal pandemi.
Sementara itu, pada indikator ketujuh, pasien Covid-19 yang sembuh meningkat 80,9 persen, yakni dari 21 orang pada pekan pertama Juni menjadi 38 pada pekan kedua. Adapun selama 15-20 Juni, 27 pasien Covid-19 sembuh, turun 37,2 persen dari pekan sebelumnya.
Di bidang surveilans, 8.853 sampel usap telah diambil dari hasil pelacakan kontak erat. Steaven mengatakan, pada Jumat (19/6/2020), 8.853 sampel telah diambil dan 5.529 di antaranya sudah diuji dengan tingkat positif (positivity rate) mencapai 15,1 persen. Angka ini masih jauh di atas target tingkat positif di bawah 5 persen sesuai indikator 12.
Masih ada 2.214 sampel yang dalam proses ekstraksi, sedangkan 1.213 belum diproses. Steaven mengatakan, hal ini menunjukkan masifnya aktivitas surveilans yang tak diimbangi oleh kapasitas laboratorium di Sulut, terutama Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BTKLPP) Kelas I Manado.
Kami harus mengirim lebih dari 600 sampel yang mengantre ke jejaring laboratorium kami di Jakarta dan Makassar.
Juru bicara BTKLPP Manado, Vivi Polak, mengatakan, laboratoriumnya hanya mampu menguji 100-200 sampel per hari dengan satu mesin PCR. ”Kami harus mengirim lebih dari 600 sampel yang mengantre ke jejaring laboratorium kami di Jakarta dan Makassar,” kata Vivi.
Jumlah sampel usap yang diperiksa di Sulut terus meningkat dari 888 pada minggu keempat Mei menjadi 1.217 pada minggu pertama Juni, lalu 1.342 pada minggu kedua Juni. Artinya, ada peningkatan lebih dari 50 persen.
Kendati demikian, jumlah itu belum sesuai standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni pemeriksaan minimal 1 per 1.000 penduduk per minggu. Dengan total penduduk sekitar 2,6 juta, seharusnya 2.600 sampel yang diuji setiap pekan.
Kehadiran dua laboratorium swasta yang turut menguji spesimen usap pun dinilai turut membantu Gugus Tugas Covid-19 Sulut mencapai target ini. Rumah Sakit Siloam Manado adalah salah satu fasilitas kesehatan yang membuka layanan ini. Felicia Valentine, Kepala Divisi Bisnis rumah sakit itu, mengatakan, sampel akan diuji di laboratorium berkapasitas 752 sampel di Jakarta.
Baca juga : Ingin Segera Beraktivitas Lintas Provinsi, Ribuan Warga Sulut Ikut Tes Cepat
Adapun jumlah kumulatif pasien dalam pengawasan (PDP) masih cenderung meningkat. Meski sempat menurun sedikit selama dua pekan pertama Juni, masing-masing 241 dan 237, jumlah PDP melonjak menjadi 283 orang pada pekan ketiga Juni alih-alih menurun.
Secara keseluruhan, bersama indikator lainnya, Sulut masih di zona jingga yang berarti aktivitas masyarakat masih sangat terbatas. Kerja gugus tugas pun kini terpusat pada pelacakan kasus Covid-19 dengan tes cepat dan tes usap bagi warga yang hasil tes cepatnya reaktif. Sebanyak 27.195 tes cepat sudah dikerjakan di Sulut.
Pelacakan pun kini tidak hanya menyasar kontak erat pasien positif, tetapi juga pelaku perjalanan. RS Siloam Manado sudah menjalankan lebih dari 4.000 tes cepat dengan tarif Rp 250.000-Rp 350.000 per tes. Adapun Laboratorium Prodia Manado memberi tarif Rp 400.000-Rp 450.000, bukan Rp 806.000 seperti diberitakan sebelumnya (Kompas, 20 Juni 2020).
Kooperatif
Steaven berharap warga Sulut bisa memahaminya dan bisa bersikap kooperatif. Salah satu bentuk kerja sama yang diharapkan adalah berhenti menolak pelaksanaan tes cepat massal, seperti di area Ketang Baru dan Ternate Baru, Kecamatan Singkil.
Saat ini, total 808 kasus tercatat di Sulut, 557 di antaranya terpusat di Manado. Kendati begitu, Pemprov Sulut dan Pemkot Manado tidak pernah mengambil kebijakan yang betul-betul membatasi pergerakan warga, seperti pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Selama ini, pusat keramaian, seperti mal, kafe, dan restoran, hanya dibatasi jam operasionalnya.
Di saat jumlah kasus terus meningkat, Pemprov Sulut dan Pemkot Manado malah mewacanakan akan kembali membuka mal. Padahal, daerah lain, seperti Ambon, Maluku, akan melaksanakan PSBB mulai Senin (22/6/2020), sedangkan Tarakan, Kalimantan Utara, memperpanjang PSBB-nya.
Alasan yang diwacanakan adalah para pegawai mal dan pusat perbelanjaan lainnya sudah terlalu lama menganggur tanpa pemasukan. Bantuan sosial dari pemerintah pun diperkirakan hanya dapat membantu warga bertahan selama sepekan.
Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Sulut Jemmy Kumendong mengatakan, pemprov telah menggunakan 191,5 miliar untuk penanganan Covid-19. Sebanyak 70,5 miliar (36 persen) telah digunakan untuk membelanjakan 260.000 paket bantuan pangan bagi warga. Dana tersebut akan ditambah lagi.
Dana pemprov saat ini sudah sangat terbatas, begitu juga daerah lain.
”Dana pemprov saat ini sudah sangat terbatas, begitu juga daerah lain. Itulah alasan mengapa banyak daerah tidak mau PSBB karena tidak ada duit buat menjamin kelangsungan hidup masyarakat,” katanya.
Karena itu, aktivitas ekonomi di Sulut, terutama Manado, kemungkinan akan segera bergulir. Dampaknya pada penanganan pandemi pun masih misteri.