Sunan Gunung Jati, tokoh besar penyebar agama Islam yang juga pemimpin Cirebon, tak mewariskan harta dan takhta kepada rakyatnya. Wali sanga ini menitipkan tajuk dan fakir miskin. Kini, pesan leluhur itu kembali diuji.
Oleh
abdullah fikri ashri
·5 menit baca
Sunan Gunung Jati, tokoh besar penyebar agama Islam yang juga pemimpin Cirebon, tidak mewariskan harta dan takhta kepada rakyatnya. Wali sanga ini menitipkan tajuk dan fakir miskin. Salah satunya, pendidikan untuk warga kurang mampu. Kini, pesan leluhur itu kembali diuji saat pandemi Covid-19.
Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa IAIN Cirebon berunjuk rasa di Kantor Rektorat IAIN Syekh Nurjati, Cirebon, Jawa Barat, Selasa (30/6/2020). Mereka membawa berbagai spanduk bertuliskan ”Mahasiswa Ambyar, Kampus Menghindar” hingga ”Yang Nyakitin Cukup Mantan, Rektor Jangan”.
Massa juga menggelar aksi teatrikal dengan dua orang berlumuran cat merah bak darah yang membawa sebuah keranda. ”Hati Nurani Rektor Mati”, tulisan yang terpampang di keranda siang itu. Berbagai aksi itu merupakan bentuk protes terkait uang kuliah tunggal (UKT) hingga subsidi kuota pembelajaran jarak jauh (PJJ).
UKT dan PJJ dinilai memberatkan mahasiswa di tengah pandemi Covid-19. Itu sebabnya, mereka nekat berhadapan dengan dosen dan pejabat rektorat, yang selama ini menjadi orangtua mereka di kampus. ”Ibu saya sudah tidak sanggup bayar uang kuliah,” ucap Abu Marfu (22), mahasiswa semester IV di Fakultas Tarbiyah.
Ibu saya sudah tidak sanggup bayar uang kuliah.
UKT sebesar Rp 1.750.000 per semester sangat berat bagi Abu. Ibunya tidak lagi berjualan nasi uduk lebih dari tiga bulan akibat pandemi Covid-19. Konsumen utama sang ibu, yakni para santri di Babakan, Ciwaringin, belum kembali ke pondok pesantren. Penghasilan Rp 100.000-Rp 120.000 per hari pun lenyap.
Padahal, ibunya menanggung empat anak, termasuk Abu dan adiknya yang duduk di bangku sekolah menengah atas. Bantuan bahan kebutuhan pokok dari pemerintah cukup meringankan beban keluarganya, tetapi belum mampu mengatasi persoalan lain, terutama biaya pendidikan. Abu pun sempat menjadi kuli bangunan selama sebulan dengan penghasilan Rp 70.000 per hari.
”Pagi sampai sore jadi kuli. Malamnya, saya ke rumah teman yang punya Wi-Fi (internet nirkabel) untuk kuliah online,” ucap Abu yang kesulitan mengeluarkan lebih dari Rp 20.000 untuk membeli kuota selama empat kali pertemuan kuliah daring dalam sepekan.
Kondisi serupa dirasakan banyak mahasiswa lainnya. Survei Aliansi Mahasiswa IAIN Cirebon terhadap 4.553 mahasiswa pada 2-16 Juni menunjukkan sebanyak 71 persen penghasilan orangtua mereka menurun. Bahkan, 11 persen tercatat tidak punya penghasilan dan 2 persen mengaku merugi. Adapun penghasilan 15 persen orangtua mahasiswa lainnya dilaporkan tidak berubah dan 1 persen mengalami peningkatan.
Survei ini juga menemukan sebanyak 63 persen orangtua mahasiswa berpenghasilan Rp 1 juta ke bawah selama sebulan saat pandemi. Sebanyak 21 persen tercatat memiliki penghasilan Rp 1 juta-Rp 2 juta per bulan. Sekitar 10 persen penghasilannya Rp 3 juta-Rp 4 juta per bulan serta hanya 6 persen yang punya pendapatan Rp 4 juta-Rp 5 juta per bulan.
Secara nasional, kondisi tersebut juga menimpa mahasiswa lainnya. Bahkan, awal Juni lalu, tagar Gunung Jati Menggugat sempat menjadi salah satu topik paling tren di Twitter. Tagar itu merupakan bentuk protes mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, terkait UKT.
Itu sebabnya, Kementerian Agama yang membawahkan perguruan tinggi keagamaan menerbitkan peraturan menteri terkait keringanan UKT atas dampak wabah Covid-19. Keringanan bisa berupa pengurangan UKT atau perpanjangan pembayaran UKT.
Rektorat IAIN Syekh Nurjati pun telah menetapkan pengurangan UKT sebesar 10 persen. ”Kami menuntut pengurangan UKT bisa lebih dari itu. Seharusnya, pemotongan 30 persen untuk seluruh mahasiswa dan 50 persen bagi mahasiswa tingkat akhir,” ujar Rohmawan, Ketua Senat Mahasiswa IAIN Syekh Nurjati Cirebon.
Kami menuntut pengurangan UKT bisa lebih dari itu. Seharusnya, pemotongan 30 persen untuk seluruh mahasiswa dan 50 persen bagi mahasiswa tingkat akhir.
Pihaknya juga mendorong rektorat membuat sistem banding besaran UKT hingga tiga kali dalam satu semester. Dengan banding, mahasiswa yang terdampak pandemi Covid-19 dapat menurunkan besaran UKT, misalnya dari Rp 2 juta menjadi Rp 400.000 per semester. Tuntutan lainnya, realisasi subsidi kuota untuk PJJ.
Rektor IAIN Syekh Nurjati Cirebon Sumanta Hasyim mengatakan, pemotongan 10 persen untuk UKT sudah sesuai dengan kemampuan kampus. Berbagai anggaran, lanjutnya, sudah direalokasi untuk menangani Covid-19. Dana peningkatan mutu dan penelitian dosen sebesar Rp 6,2 miliar, misalnya, dialihkan untuk Covid-19.
Akan tetapi, pihaknya belum bisa merealisasikan kuota untuk mahasiswa dalam PJJ karena persoalan teknis, seperti kartu telepon mahasiswa terdiri atas berbagai operator. Pencairan dana pun masih terhambat birokrasi dan administrasi.
Warisan
Meski demikian, dana untuk beasiswa mahasiswa kurang mampu sekitar Rp 7,8 miliar tidak dipotong sedikit pun. Bahkan, Sumanta mengatakan, pihaknya mengumpulkan zakat dari dosen dan tenaga pendidik untuk diberikan kepada mahasiswa kurang mampu.
”Kami berkomitmen, memegang misi Sunan Gunung Jati. Apalagi, sebagian besar yang kuliah di sini dari menengah ke bawah,” ujarnya.
Kami berkomitmen, memegang misi Sunan Gunung Jati. Apalagi, sebagian besar yang kuliah di sini dari menengah ke bawah.
Misi Sunan Gunung Jati yang dimaksud ialah Insun titip tajug lan fakir miskin (Aku, Sunan Gunung Jati, titip tajuk dan fakir miskin). Tajuk (mushala) diartikan tidak hanya sebagai tempat berserah diri kepada Ilahi, tetapi juga mendidik. Itu sebabnya, tajuk dulu menjadi tempat belajar bagi warga, termasuk fakir miskin.
Eman Suryaman dalam bukunya, Jalan Hidup Sunan Gunung Jati, Sejarah Faktual dan Filosofi Kepemimpinan Seorang Pandhita-Raja, mengungkapkan, Sunan Gunung Jati tidak mewariskan harta dan takhta, tetapi tajuk dan fakir miskin. Di tajuk terdapat nilai transendental kepada Tuhan dan menjalin hubungan harmonis terhadap sesama hambanya, termasuk menyejahterakan fakir miskin.
Kini, menurut Sumanta, kehadiran IAIN Cirebon merupakan wujud pesan pemimpin Cirebon pada abad ke-15 itu. Namun, pandemi Covid-19 menguji ketahanan warisan Sunan Gunung Jati tersebut.
”Kami sudah berupaya maksimal agar mahasiswa bisa belajar semuanya. Tetapi, kalau hal ini masih dianggap kurang, kami siap diskusi dengan perwakilan mahasiswa,” ujar Sumanta yang kemudian masuk ke kantor rektorat dan meninggalkan massa.