Masuk ”Zona Rawan” untuk Melihat Bekas Tambang
Wilayah Tanah Bumbu tergolong daerah rawan bagi yang mencoba mengulik masalah pertambangan di sana. Jarang sekali ada wartawan yang berani datang. Awal Januari 2020, wartawan ”Kompas” Jumarto Yulianus meliputnya.
”Wartawan ya? Kalau aja situasinya masih seperti beberapa tahun lalu, ikam (kamu) bisa-bisa kada kawa bulik (tidak bisa pulang) kalau berani datang ke sini. Banyak premannya di sini,” sambungnya lagi.
Begitulah ucapan seorang bapak kepada saya setelah kami mengobrol selama hampir setengah jam pada akhir pekan, awal Januari 2020. Identitas saya akhirnya diketahui meskipun saya tidak memperlihatkan kartu identitas pers dan sama sekali tidak mengenakan atribut Kompas.
Di situ, saya mengobrol dengan beberapa bapak, warga Dusun 2, Desa Makmur Mulia, Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Daerah tersebut berjarak lebih kurang 165 kilometer (km) dari Kota Banjarmasin.
Saya mendatangi dusun tersebut sendirian dengan menggunakan sepeda motor dalam rangka liputan investigasi areal bekas tambang. Sebetulnya, hampir setiap daerah di Kalsel memiliki areal bekas tambang, terutama batubara. Yang lokasinya tidak terlalu jauh dari Banjarmasin juga ada.
Namun, saya memilih melihat langsung kondisi di Tanah Bumbu karena di sanalah yang paling banyak. Berdasarkan data Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) pada 2018, ada 814 lubang tambang bekas batubara yang dibiarkan menganga tanpa rehabilitasi dan reklamasi di Kalsel. Lubang bekas tambang terbanyak ditemukan di Tanah Bumbu (246 lubang), Tanah Laut (241), dan Banjar (158).
Selama ini, sudah menjadi rahasia umum jika Tanah Bumbu tergolong daerah rawan bagi siapa saja yang mencoba mengulik masalah pertambangan di sana. Karena mempertimbangkan aspek keselamatan, jarang sekali ada wartawan yang berani mengangkat masalah tersebut.
Saya juga sudah lama mengetahui itu. Bahkan, sejak pertama kali datang ke Banjarmasin, bapak kos saya kala itu sudah mengingatkan untuk berhati-hati menyoroti masalah pertambangan di Kalsel. Kebetulan beliau adalah wartawan senior LKBN Antara Biro Kalsel. ”Boleh saja idealis, tetapi kamu harus tetap mengutamakan keselamatan,” pesannya kala itu.
Setelah enam tahun di Kalsel, saya akhirnya dapat kesempatan liputan investigasi soal pertambangan setelah diberi kerangka acuan kerja atau term of reference liputan tematik soal areal bekas tambang. Sebetulnya, tidak ada arahan dari editor untuk liputan ke Tanah Bumbu. Saya sendirilah yang memutuskan ke sana untuk melihat fakta lapangan yang komprehensif.
Sebelum pergi, saya sempat berkomunikasi dengan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel. Oleh Walhi, saya diperkenalkan dengan salah seorang aktivis lingkungan yang cukup senior di Satui. Saya disarankan berkomunikasi dulu dengan beliau supaya tidak menemukan kendala di lapangan.
Saya segera menghubungi nomor kontak yang diberikan Direktur Eksekutif Walhi Kalsel Kisworo Dwi Cahyono. Kepada Pak Bambang Sucipto, aktivis lingkungan tersebut, saya sampaikan rencana saya datang ke Satui untuk liputan masalah pertambangan dan ingin melihat langsung kondisi lapangan.
Jumat (3/1/2020) pagi, saya meluncur dari Banjarmasin ke Satui dengan sepeda motor. Saya juga sudah janji mau bertemu Pak Bambang sekitar pukul 13.00 Wita atau seusai beliau menunaikan shalat Jumat. Sebelum shalat Jumat, saya sudah tiba di Satui.
Setelah makan siang di sebuah warung lalapan, saya langsung menuju rumah Pak Bambang. Beliau membagikan lokasi rumahnya melalui pesan WhatsApp. Meski sempat nyasar, saya akhirnya menemukan rumah Pak Bambang.
Berdiskusi
Ketika saya sampai di rumah Pak Bambang, di sana sudah ada Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Peduli Tanah Air (Peta) Kalsel Agus Rismalian Nor. Bang Agus, demikian panggilannya, juga belum lama sampai di tempat Pak Bambang.
Ternyata, Pak Bambang sengaja meminta Bang Agus datang ke rumahnya karena kedatangan saya. Kami mengobrol banyak hal sambil minum kopi. Pada kesempatan itu, saya pun mencoba menggali berbagai masalah pertambangan yang terjadi di sana.
Saya kemudian meminta mereka merekomendasi lokasi atau daerah yang bisa dipantau. Bang Agus menyebut beberapa nama desa. Salah satunya adalah Desa Sejahtera Mulia. ”Namanya sejahtera, tetapi masyarakatnya masih jauh dari sejahtera,” kata Agus.
Lokasi desa tersebut masih cukup jauh dari Sungai Danau, pusat Kecamatan Satui. Kalau mau ke sana juga harus melewati jalan khusus angkutan batubara. ”Ulun (saya) mohon maaf, enggak bisa mengantar pian (kamu) ke sana. Namun, kalau mau melihat bekas tambang, yang dekat-dekat sini (Sungai Danau) juga banyak,” katanya.
Setelah dua jam lebih mengobrol, Bang Agus berpamitan karena ada keperluan lain. Dia memberikan nomor kontak rekannya yang kini menjadi Sekretaris Desa (Sekdes) Sungai Danau. Saya langsung menghubungi sekdes tersebut setelah meninggalkan rumah Pak Bambang. Dia berjanji mau mengantar saya melihat lokasi bekas tambang setelah balik kerja dari kantor desa.
Ketika hari sudah mulai senja, saya pun diantar melihat lokasi bekas tambang terdekat. Dari jalan raya, jaraknya hanya sekitar 1 kilometer. Saya langsung tercengang melihat kolam raksasa yang hanya berjarak beberapa puluh meter dari rumah warga. Akses jalan beraspal ke permukiman warga di situ sampai putus akibat tergerus lubang tambang.
Setelah melihat-lihat selama lebih kurang 20 menit, kami pun balik kanan. Saya juga masih harus mencari penginapan untuk beristirahat pada malam itu. Saya tetap berencana kembali lagi ke lokasi tersebut esok pagi. Setelah itu, rencananya baru jalan ke Desa Sejahtera Mulia.
Diperingati
Sabtu (4/1/2020) pagi, setelah mandi dan sarapan, saya memacu sepeda motor menuju lokasi yang didatangi kemarin sore. Saya masih penasaran dengan ujung jalan beraspal yang putus itu. Ternyata, ada jalan baru di antara semak-semak yang cukup rimbun. Setelah melewati beberapa rumah yang sudah tidak terawat lagi, saya mendapati kembali permukiman warga.
Di sana, ada beberapa rumah warga. Jumlahnya dapat dihitung dengan jari. Umumnya adalah rumah kayu dengan kondisi sederhana. Dinding papan rumah-rumah beratapkan seng karatan itu kebanyakan juga tidak dipoles cat. Hanya satu rumah yang terbuat dari beton. Itu pun sebagian besar temboknya yang dibuat dari batako belum diplester semen.
Setelah mengobrol dengan beberapa bapak, warga di situ, saya baru mengetahui nama tempat itu adalah Dusun 2, Desa Makmur Mulia, Kecamatan Satui. Mereka bercerita bahwa banyak warga sudah pindah karena tergusur tambang batubara.
Banyak warga di sana terpaksa pergi meninggalkan rumah yang sudah ditempati berpuluh-puluh tahun setelah menerima pembayaran ganti rugi atas tanah, bangunan, serta kebun dari calo yang memperjualbelikan lahan untuk tambang.
Menurut Kaspul (45), luas permukiman warga yang belum dilepas untuk pertambangan tinggal sekitar 3 hektar. Di lahan itu masih ada sembilan rumah yang ditempati sembilan keluarga, kebun karet, dan kebun sayuran. ”Semua warga di sini sudah ditawari. Namun, kami belum mau melepas karena harganya tidak sesuai,” katanya.
Setelah mengobrol cukup lama dengan warga di sana, dan mereka juga akhirnya mengetahui saya adalah wartawan, mereka bercerita banyak hal tentang dampak pertambangan bagi masyarakat. Kehidupan warga sama sekali tidak menjadi lebih sejahtera atau bertambah makmur ketika tambang batubara beroperasi hingga tambang stop beroperasi.
Menurut mereka, kondisi tak jauh berbeda juga dialami warga di desa lain, yang tinggal di sekitar wilayah pertambangan batubara. ”Kalau ikam (kamu) ada rencana ke Sejahtera Mulia, sebaiknya jangan. Di sana masih ada tambang yang beroperasi. Ikam bisa-bisa kada kawa bulik. Apalagi, ikam jalan sendirian,” kata mereka mengingatkan.
Saya berpikir ucapan warga itu tentu bukan omong kosong. Jadi, saya maksimalkan saja wawancara dengan warga di situ dan memotret kondisi lingkungan mereka. Cerita dan fakta yang saya dapatkan sudah cukup banyak dan kuat sebagai bahan tulisan.
Ditelepon
Siang itu, saya pun memutuskan meninggalkan Satui, menuju Kecamatan Kintap, Kabupaten Tanah Laut. Di sana, saya ingin melihat desa di sekitar wilayah pertambangan yang bisa berdaya tanpa bergantung pada pertambangan batubara. Saya mendatangi Desa Bukit Mulia yang telah mengembangkan budidaya serai wangi dan peternakan ayam petelur.
Karena hari sudah malam, saya akhirnya bermalam di Asam Asam, Kecamatan Jorong, Tanah Laut, sebelum pulang ke Banjarmasin. Keesokan harinya saya melanjutkan perjalanan dengan menembus hujan karena mendapat informasi Kota Banjarbaru dilanda banjir. Saya harus segera menuju lokasi banjir meskipun belum ada arahan dari editor.
Ketika sudah masuk Banjarbaru dan tinggal 10 kilometer dari lokasi banjir, editor di Jakarta menghubungi dan meminta saya memantau banjir di Banjarbaru. Waktu itu, saya sedang beristirahat di sebuah warung. Setelah minum segelas teh hangat dan makan dua potong pisang goreng, saya langsung bergegas ke lokasi banjir. Berita dan foto banjir pun aman.
Yang tidak aman justru setelah berita dan feature soal areal bekas tambang terbit di halaman satu harian Kompas edisi Senin (13/1/2020). Headline Kompas dengan judul ”Bekas Tambang Merugikan” digandeng dengan serial berjudul ”Mereka Tak Ikut Nikmati Kue Kemakmuran” sepertinya jadi perhatian.
Tiba-tiba saja nomor baru menelepon, menanyakan tentang berita yang saya tulis. Si penelepon yang memperkenalkan diri sebagai humas perusahaan tambang itu juga ingin tahu lokasi yang diliput. Setelah itu, si humas berkali-kali menghubungi dan sempat mengajak ngopi juga. Selain itu, ada juga penelepon lain yang mengajak melihat lokasi tambang yang menurutnya bagus. ”Jangan nulis yang jelek aja. Yang bagus juga ada,” katanya.
Telepon yang seolah-olah meneror silih berganti itu tak saya gubris. Saya hanya bilang, ”Oke deh, lain waktu ya.” Akhirnya, mereka tak lagi menelepon. Saya pun mulai merasa tenang dan aman. Di satu sisi, saya puas karena tulisan saya dibaca dan jadi perhatian orang. Namun, di sisi lain, saya juga merasa waswas. Bagaimanapun tak ada berita seharga nyawa.