Penjualan ikan di Natuna mulai bangkit dari kelesuan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Nelayan setempat yakin dapat berkembang lebih pesat jika pemerintah memberi dukungan teknologi dan lebih tegas mengatur zona tangkap.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Penjualan ikan di Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, mulai bangkit dari dampak kelesuan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Para nelayan meyakini, sektor perikanan tangkap di Natuna akan berkembang lebih pesat jika pemerintah memberikan dukungan optimalisasi teknologi dan pengaturan zona tangkap yang tegas.
Ketua Aliansi Nelayan Natuna Hendri, Senin (20/7/2020), mengatakan, harga ikan komoditas ekspor jenis anguli, kakap, dan kerapu kini menembus Rp 100.000 per kilogram. Hal ini menjadi angin segar bagi nelayan setempat yang sejak Maret hingga Mei 2020 merana karena harga ikan turun sampai 50 persen akibat pandemi Covid-19.
”Sekarang, penjualan ikan mulai lancar dan harganya pun melonjak. Sebanyak apa pun hasil tangkapan nelayan pasti tertampung untuk pasar domestik maupun ekspor,” kata Hendri saat dihubungi melalui telepon dari Batam.
Sekarang, penjualan ikan mulai lancar dan harganya pun melonjak. Sebanyak apa pun hasil tangkapan nelayan pasti tertampung untuk pasar domestik maupun ekspor.
Penanggung Jawab Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Wilayah Kerja Natuna Feri Adriansyah menyatakan, penjualan ikan untuk pasar domestik ataupun ekspor meningkat lebih dari dua kali lipat sejak Juni. Pada Mei, penjualan ikan dari Natuna ke luar daerah sebanyak 224 ton, sedangkan pada Juni naik menjadi 404 ton.
Menurut Feri, jumlah itu masih bisa meningkat lagi jika nanti angkutan udara yang vital untuk mengangkut ekspor ikan hidup mulai normal kembali. ”Saat ini, ikan dari Natuna masih dipasarkan sebatas dengan kapal untuk pasar domestik yang mayoritas adalah Batam dan Bintan,” ujarnya.
Pembina Kelompok Nelayan Teluk Baruk, Kecamatan Bunguran Timur, Natuna, Mursalim berharap pemerintah pusat bisa lebih banyak memberikan bantuan dalam bentuk pelatihan dan bimbingan agar nelayan setempat bisa lebih optimal memanfaatkan potensi perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 711 yang besarnya mencapai 767.126 ton.
Jumlah nelayan di Natuna saat ini diperkirakan setidaknya ada 20.000 orang. Dari jumlah itu diperkirakan hanya sekitar 0,5 persen yang memiliki sarana untuk melaut hingga ke zona ekonomi eksklusif atau Laut Natuna Utara. Mayoritas nelayan di sana hanya mengandalkan kapal kecil dengan ukuran antara 3 gros ton (GT)-7 GT dan alat tangkap tradisional berupa pancing ulur.
Pada akhir 2019, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi merancang aplikasi fish on yang dirancang untuk membantu nelayan tradisional menemukan titik berkumpul ikan. Dalam aplikasi itu juga terdapat fitur lelang ikan untuk memotong rantai distribusi agar nelayan bisa langsung menjual hasil tangkap kepada konsumen.
”Kami berharap aplikasi itu segera rampung diuji coba. Jika dibekali teknologi yang mumpuni, kami yakin nelayan Natuna bisa bersaing,” kata Mursalim.
Zona tangkap
Masalah lain yang juga kerap dikeluhkan nelayan di Natuna adalah soal pelanggaran zona tangkap. Hendri mengatakan, belakangan sejumlah kapal cantrang terlihat beroperasi di perairan kurang dari 12 mil dari garis pantai Pulau Subi yang seharusnya merupakan zona tangkap nelayan tradisional.
Ketegangan nelayan tradisional di Natuna akibat kehadiran kapal cantrang berawal dari keputusan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan yang mendatangkan kapal dari pantai utara Jawa untuk mengisi kekosongan di zona ekonomi eksklusif (ZEE) atau Laut Natuna Utara. Kehadiran kapal cantrang dari pantura Jawa dinilai pemerintah bisa menghalau penangkapan ilegal oleh kapal asing.
Meski demikian, rencana mobilisasi nelayan pantura Jawa itu kandas di tengah jalan. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pernah menyatakan, 30 kapal cantrang dari pantura Jawa sudah kembali ke daerah asal pada medio April 2020. Hal itu diungkapkan Direktur Pemantauan dan Operasi Armada Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Pung Nugroho Saksono saat berkunjung ke Pangkalan PSDKP Batam pada 23 April lalu.
”Mungkin yang dilihat nelayan di Pulau Subi itu memang bukan bagian dari kapal yang dimobilisasi pemerintah sebelumnya. Namun, kami yakin itu kapal cantrang dan mereka beroperasi di perairan kurang dari 12 mil,” ucap Hendri.
Hendri meminta Kementerian Kelautan dan Perikanan segera menindak tegas kapal pukat, cantrang maupun purse sein, yang melanggar zona tangkap. Ia khawatir, nelayan tradisional akan semakin terpinggirkan jika hal ini terus dibiarkan.