OTG Bisa Sudahi Isolasi Tanpa Tes Usap, Jateng Belum Menerapkan
Pada pedoman terbaru yang dikeluarkan Kemenkes, pasien Covid-19 tanpa gejala serta bergejala ringan dan sedang bisa selesai isolasi tanpa tes PCR. Sementara pasien gejala berat tetap harus tes PCR 1 kali negatif.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Jawa Tengah belum akan menerapkan metode penetapan selesai isolasi atau sembuh kepada pasien Covid-19 tanpa gejala serta gejala ringan dan sedang tanpa tes usap. Ketentuan yang tertuang dalam pedoman terbaru dari Kementerian Kesehatan itu masih disosialisasikan.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/413/2020 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 yang disahkan pada 13 Juli 2020, terdapat beberapa perubahan ketentuan.
Salah satunya terkait evaluasi akhir status klinis pasien Covid-19. Pada orang tanpa gejala (OTG) tak perlu dilakukan follow-up tes reaksi rantai polimerase (PCR). Pasien dinyatakan selesai isolasi setelah isolasi mandiri selama 10 hari sejak pengambilan spesimen diagnosis konfirmasi.
Pada pasien Covid-19 bergejala ringan dan sedang pun tak perlu follow-up tes PCR. Pasien dinyatakan selesai isolasi setelah 10 hari isolasi sejak tanggal onset (awal gejala) ditambah 3 hari setelah tak menunjukkan gejala demam dan gangguan pernapasan.
Kami sedang sosialisasi hal tersebut kepada teman-teman tenaga kesehatan di lapangan. Juga kepada masyarakat supaya ada kesamaan persepsi.
Sementara terhadap pasien Covid-19 bergejala berat atau kritis yang dirawat di rumah sakit, isolasi dinyatakan selesai jika telah dites PCR 1 kali negatif, ditambah minimal 3 hari lagi setelah tak menunjukkan gejala demam dan gangguan pernapasan.
Kepala Dinas Kesehatan Jateng Yulianto Prabowo mengatakan, pihaknya belum menerapkan metode tersebut. Hingga saat ini, pasien Covid-19, baik OTG, bergejala ringan, sedang, maupun berat dinyatakan sembuh jika sudah dites PCR dengan hasil negatif.
”Kami sedang sosialisasi hal tersebut kepada teman-teman tenaga kesehatan di lapangan. Juga kepada masyarakat supaya ada kesamaan persepsi,” kata Yulianto melalui pesan singkat, Sabtu (25/7/2020).
Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang Mochamad Abdul Hakam mengatakan, pihaknya tetap menggunakan tes usap/PCR dengan hasil negatif untuk menyatakan pasien sembuh. Hal itu dipilih agar kesembuhan lebih terjamin dan mengurangi risiko penularan.
”Kami tetap menerapkan sekali swab negatif meski sebetulnya kami juga melihat rata-rata konversi hasil swab (menjadi negatif) terjadi pada hari ke-11. Kami sudah bahas di internal dinas kesehatan dan pada rapat dengan forkopimda (forum komunikasi pimpinan daerah),” tuturnya.
Rekomendasi WHO
Adapun pedoman Kemenkes searah dengan rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang diperbarui pada 27 Mei 2020 dan dirilis pada 17 Juni 2020. Ada perubahan kriteria karena ada temuan bahwa pasien yang sudah sembuh masih mungkin terdeteksi positif dengan tes PCR. Pada orang seperti itu, kecenderungan risiko penularan rendah.
Dalam rekomendasi itu disebutkan, isolasi pasien Covid-19 bergejala bisa selesai dalam 10 hari sejak onset gejala, ditambah 3 hari tanpa gejala demam dan gangguan pernapasan. Adapun pada pasien tak bergejala, isolasi tuntas setelah 10 hari dinyatakan positif Covid-19.
Sebagai contoh, pasien yang bergejala dua hari, bisa selesai isolasi setelah 10 hari ditambah 3 hari (total 13 hari) sejak awal gejala. Pada pasien bergejala 14 hari, maka bisa selesai isolasi setelah 14 hari ditambah 3 hari (17 hari). Sementara pasien bergejala 30 hari bisa selesai isolasi setelah 30 + 3 hari (33 hari).
Namun, dalam rekomendasi itu juga disebutkan, negara-negara boleh untuk tetap memilih menggunakan tes PCR sebagai bagian dari ketentuan kesembuhan pasien. Jika demikian, ketentuan dua kali tes PCR dalam rentang 24 jam dapat digunakan.
Sejumlah alasan perubahan dalam perubahan kriteria, antara lain, masa isolasi yang berkepanjangan bisa memengaruhi kondisi kesehatan, sosial, dan akses perawatan kepada pasien. Juga, adanya keterbatasan kapasitas tes PCR di berbagai belahan negara.
Dijelaskan bahwa kriteria terbaru itu menyeimbangkan risiko dan manfaat yang didapatkan. Namun, ditekankan, pada kriteria apa pun, risiko akan selalu ada.
Harus dipersiapkan
Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro Budiyono mengatakan, ketentuan baru terkait Covid-19 harus dijelaskan kepada masyarakat, baik akan diimplementasikan dalam waktu dekat maupun jangka panjang. Segalanya mesti disiapkan.
Menurut dia, kegagapan dan ketidaksiapan Indonesia, yang juga dialami sejumlah negara lain di dunia, saat masa-masa awal Covid-19 harus menjadi pelajaran. ”Jangan sampai, nanti akan diterapkan, tetapi masih bersiap-siap,” kata Budiyono.
Budiyono menuturkan, pedoman terkait Covid-19 pasti disusun berdasarkan apa yang telah terjadi selama beberapa bulan pandemi Covid-19. Artinya, pengetahuan tentang virus korona baru tersebut akan terus berkembang, termasuk dalam penanganannya. Namun, sekecil apa pun risiko mesti tetap diwaspadai.
Kendati demikian, ia menekankan, peran terbesar dalam pengendalian penularan Covid-19 ini ada pada masyarakat. ”Bagaimana kedisiplinan dalam menerapkan protokol kesehatan. Pengawasan atas hal itu menjadi penting,” ujar Budiyono.