Ajip Rosidi yang Tak Pernah Kehabisan Energi
Sastrawan Ajip Rosidi meninggal dunia di usia ke-82. Dia meninggalkan banyak jejak gigih menjaga sastra dan bahasa daerah agar tak punah ditelan zaman.
Terkenang Topeng Cirebon
Di atas gunung batu manusia membangun tugu
Kota yang gelisah mencari, Seoul yang baru, perkasa
Dengan etalase kaca, lampu-lampu berwarna, jiwanya ragu
Tak acuh tahu, menggapai-gapai dalam udara hampa
Kulihat bangsa yang terombang-ambing antara dua dunia
Bagaikan tercermin diriku sendiri di sana !
Mengejar-ngejar gairah bayangan hari esok
Memimpikan masa-silam yang terasa kian lama kian elok !
Waktu menonton tari topeng di Istana Musim Panas
Aku terkenang betapa indah topeng Cirebon dari Kalianyar !
Dan waktu kusimakkan musik Tang-ak, tubuhku tersandar lemas
Betapa indah gamelan Bali dan Degung Sunda. Bagaikan terdengar !
Kian jauh aku pergi, kian banyak kulihat
Kian tinggi kuhargai milik sendiri yang tersia-sia tak dirawat
(Ajip Rosidi)
Suasana konferensi pers acara ”Kongres Bahasa Daerah Nusantara” di Gedung Merdeka, Bandung, Jawa Barat, Selasa (2/8/2016), itu terasa canggung. Banyak wartawan hadir di sana. Sastrawan Ajip Rosidi yang menjadi narasumber Utama juga sudah ada di muka. Namun, kesempatan bertanya yang diberikan moderator tidak juga dimanfaatkan wartawan.
”Ayo kamu aja tanya,” kata seorang wartawan di bangku belakang.
”Kamu aja lah, saya takut dimarahi,” jawab wartawan lainnya.
Bagi sebagian orang, termasuk wartawan, Ajip yang kerap bernada tinggi ketika bicara sastra bukan hal baru. Namun, seperti puisi-puisinya, bisa jadi itu adalah cinta untuk dibagi dengan banyak orang. Apabila bicara sastra dan budaya tradisi, Ajip memang tak pernah kehabisan energi.
Benar saja, tak ada yang bertanya, Ajip lantas angkat bicara. Seperti biasa, dia penuh semangat meski usianya saat itu sudah 78 tahun. Pentingnya menjaga masa depan bahasa daerah, ia ingatkan kembali.
Menurut Ajip, para penyusun Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan tidak memikirkan masa depan bahasa ibu. Bahkan, UNESCO pada 1951 menganjurkan pemakaian bahasa ibu sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan agar mudah dipahami.
Pada 1953, pemerintah menetapkan pemakaian bahasa ibu sebagai bahasa pengantar hanya sampai kelas III SD. Pada 1975, tidak ada lagi bahasa daerah sebagai pengantar. ”Maka, terjadilah keajaiban. Anak-anak belajar bahasa daerah dengan pengantar bahasa Indonesia,” kata Ajip.
Wajar ia begitu membara. Sementara banyak bahasa daerah di luar negeri perkasa dijaga negara, napas sejumlah bahasa daerah di Indonesia terengah-engah bahkan mati. Saat acara itu berlangsung, dari 706 bahasa yang ada di Indonesia, 266 di antaranya berstatus lemah dan 75 sekarat. Adapun 13 bahasa telah punah, yakni Hoti, Hukumina, Hulung, Loun, Mapia, Moksela, Naka’ela, Nila, Palumata, Saponi, Serua, Ternateno, dan Te’un.
Begitulah Ajip. Kapan pun dan di mana saja, ia selalu bersuara tentang bahasa dan sastra. Tidak selalu dengan nada tinggi tapi kerap penuh canda nan mesra.
Baca juga: Mata Hati Peradaban
Pada Minggu (16/4/2017) adalah contoh lainnya. Hari itu istimewa bagi Ajip dan bakal diingat banyak masyarakat Indonesia. Dia menikah dengan artis senior Nani Widjaja di Masjid Agung Sang Cipta Rasa di Kota Cirebon, Jawa Barat, yang berusia lima abad. Saksi nikahnya adalah Sultan Keraton Kasepuhan XIV Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat yang baru meninggal dunia kurang dari dua minggu lalu.
Seusai sah jadi pasangan suami istri, sejumlah tamu meminta Ajip mencium Nani. ”Nanti aja,” jawab Ajip, yang tangannya lalu dicium Nani.
Kebahagiaan menyaksikan pernikahan pasangan yang berusia senja itu begitu terasa. Ajip kelahiran Majalengka, 31 Januari 1938, saat itu berusia 79 tahun, sedangkan Nani yang dilahirkan di Cirebon, 10 November 1944, saat itu berusia 72 tahun. Para awak media berlomba mengabadikan momen itu dan ratusan warga Cirebon berdesakan di halaman masjid. Kamera infotainment yang sebelumnya jauh dari kehidupan Ajip pun mendekat. Nani jadi magnetnya.
”Perasaannya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ada lebih dari 100 rasa. Saya sudah berumur, tetapi masih diberikan kesempatan oleh Allah SWT untuk menikah,” ujar Nani yang berpakaian kebaya putih. Ia tersenyum sembari memandang Ajip.
Nani menjanda sejak suaminya yang juga tokoh film, Misbach Yusa Bira, meninggal dunia enam tahun lalu. Sementara Ajip menduda hampir tiga tahun setelah istrinya, Fatimah atau biasa dipanggil Empat, meninggal. Kang Ajip dan Nani sudah kenal lama, tetapi pertemuan keduanya semakin sering beberapa bulan terakhir.
”Tiga tahun terakhir, saya hidup sendiri. Saya butuh pendamping. Dan, Nani orangnya,” ujar Ajip.
Apa istimewanya Nani ? ”Dia masih cantik walau sudah tua,” jawab Ajip disambut senyum-senyum para tamu yang kebanyakan adalah kerabat dan keluarga kedua mempelai.
”Kalau Kang Ajip, paling istimewa. Beliau sudah menulis sejak kecil dan saya membaca karyanya. Beliau juga sederhana,” balas Nani.
”Saya berencana membuat karya sastra untuk Nani,” ujar Ajip, penulis Ensiklopedia Sunda, membalas pujian itu.
Ah, benar, kan, selalu ada sastra dalam kisah hidup Ajip.
Kalau Kang Ajip, paling istimewa. Beliau sudah menulis sejak kecil dan saya membaca karyanya. Beliau juga sederhana.
Ingat Aku dalam Doamu
Ingat aku dalam do’amu: di depan makam Ibrahim
akan dikabulkan Yang Maha Rahim
Hidupku di dunia ini, di alam akhir nanti
lindungi dengan rahmat, limpahi dengan kurnia Gusti
Ingat aku dalam do’amu: di depan makam Ibrahim
di dalam solatmu, dalam sadarmu, dalam mimpimu
Setiap tarikan nafasku, pun waktu menghembuskannya
jadilah berkah, semata limpahan rido Illahi
Ya Robbi!
Biarkan kasih-Mu mengalir abadi
Ingat aku dalam do’a-Mu
Ingat aku dalam firman-Mu
Ingat aku dalam diam-Mu
Ingat aku
Ingat
Amin
(Ajip Rosidi)
Semangat cinta sastra Ajip memang sudah tumbuh sejak lama. Ia menerbitkan dan menjadi editor serta pemimpin majalah Suluh Pelajar (1953-1955).
Pada 1965-1967, ia menjadi Pemimpin Redaksi Mingguan Sunda; Pemimpin Redaksi majalah kebudayaan Budaya Jaya (1968-1979); pendiri penerbit Pustaka Jaya (1971); dan Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1972-1981).
Luar biasa karena Ajip tidak pernah menamatkan pendidikan SMA-nya. Namun, dia pernah menjadi dosen luar biasa pada Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, Bandung (1967), Pengajar tamu di Osaka Gaikokugo Daikagu, Osaka, Jepang (1981), Guru Besar Luar Biasa pada Tenri Daigaku, Nara (1983-1994) dan Kyoto Sangyo Daigaku, Kyoto (1983-1996).
Pengalaman di negeri orang menabalkan cinta pada Tanah Airnya. Di sana, dalam dua hari, dia mengajar selama 18 jam. Lima hari sisanya ia habiskan untuk membaca dan menulis.
Alam Jepang memberinya waktu menulis yang lebih banyak ketimbang Jakarta. Tak ada kesibukan sebagai pemimpin organisasi sastra dan budaya. Hasilnya, lebih dari 50 judul buku dalam bahasa Indonesia dan Sunda ditulisnya selama di Jepang. Tak sedikit karya tentang keinginannya untuk selalu dekat dengan yang Maha Kuasa. Banyak pula puisi dan karya sastra lainnya ditulis dalam bahasa Sunda.
Pengamat sastra, Dr Faruk HT, saat dialog bertema ”Meninjau Sosok dan Pemikiran Ajip Rosidi”, Rabu (28/5/2003), di Graha Sanusi Hardjadinata, Universitas Padjadjaran, Bandung, mengatakan, Ajip adalah ”orang langka” dengan kelebihan yang tidak dimiliki HB Jassin, Goenawan Mohamad, dan Soebagio Sastrowardoyo.
Ajip dinilai sebagai sosok yang bisa melepaskan diri dari kecenderungan polarisasi dalam banyak hal. Salah satunya, polarisasi antara kebudayaan modern dan kebudayaan tradisional.
Ketika kebudayaan modern dianggap sebagai pilihan yang niscaya, kata Faruk, Ajip malah getol berbicara tentang kebudayaan tradisional. Redaktur PN Balai Pustaka (1955-1956) itu dikenal sangat taat asas (konsisten) mengembangkan kebudayaan daerah (Kompas, 29/3/2003).
Dalam Kompas, 31 Mei 2003, dari Jepang, Ajip belajar banyak hal. Tingginya perhatian pemerintah membuat sastra di sana dinikmati beragam kalangan. Tak hanya orang tua, kebiasaan membaca buku sudah dimulai sejak usia 2-3 tahun.
Selain itu, juga dilakukan penerjemahan besar-besaran berbagai macam ilmu, karya budaya, dan karya sastra ke dalam bahasa Jepang. ”Jadi, orang Jepang, walaupun tidak bisa bahasa asing, misalnya, mereka mengetahui (dan) menguasai ilmu-ilmu di negara-negara asing,” kata Ajip.
Orang Jepang memang dikenal sebagai bangsa yang amat bangga dengan bahasanya sendiri, tetapi hal itu tidak membuat mereka antibahasa asing. Minat orang Jepang terhadap studi-studi Indonesia juga cukup kuat. Jurusan Bahasa Indonesia (Indoneshia-go Gakuka) sudah ada di Tokyo Gaikokugo Daigaku sejak tahun 1949.
Selama mengajar di Jepang, Ajip tidak pernah kekurangan mahasiswa. Di Osaka Gaidai, ia mengajar rata-rata 30 mahasiswa setiap tahun, 40 mahasiswa di Kyoto Sangyo Daigaku, dan 60 mahasiswa di Tenri Daigaku.
Akan tetapi, Ajip tak berhenti sekadar kagum. Selain memprakarsai berdirinya Pusat Studi Sunda tahun 2002, jauh sebelumnya dia bergerak mandiri lewat Hadiah Sastra Rancage yang lahir sejak tahun 1988. ”Saya kira kita tidak mengharapkan bahwa (pemeliharaan kebudayaan daerah) itu harus dilakukan pemerintah. Pengalaman saya membuktikan bahwa tidak bisa mengharapkan pemerintah,” ujarnya.
Saya kira kita tidak mengharapkan bahwa (pemeliharaan kebudayaan daerah) itu harus dilakukan pemerintah. Pengalaman saya membuktikan bahwa tidak bisa mengharapkan pemerintah.
Digelar setiap tahun, ”rancage” yang bisa diartikan sebagai sesuatu yang kreatif terakhir diselenggarakan di Jatiwangi, Majalengka, Jumat (31/1/2020). Rancage 2020 ini istimewa.
Selain digelar bertepatan dengan ulang tahun Ajip ke-82, penyelenggaraannya adalah yang ke-32 untuk sastra Sunda, ke-26 kalinya untuk sastra Jawa, ke-22 kalinya untuk sastra Bali. Selain itu, ajang itu jadi yang ke-5 untuk sastra Lampung dan ke-4 untuk sastra Batak. Untuk sastra Madura, ini adalah yang pertama.
Total, hingga tahun 2020, Yayasan Kebudayaan Rancage sudah mengumumkan 115 judul buku terbaik peraih Hadiah Sastra Rancage dan Samsoedi untuk sastra anak.
Saat itu, Ajip kembali berpesan, Rancage berpotensi meningkatkan minat baca masyarakat. Saat banyak buku bahasa daerah diterbitkan dan dibaca, bahasa ibu di tiap daerah bakal terus ada. Semuanya, sekali lagi, bukan isapan jempol. Hingga pertengahan tahun 2020, dia masih terus menulis di kediamannya di Magelang, Jawa Tengah.
Baca juga: Kelepak Kata di Sayap Sapardi
Hari Tuaku
Pabila hari tuaku tiba, kelak suatu masa
Kacamata tebal atas hidung, bersenandung
Menembangkan lelakon lama. Lalu tersenyum
Memandang bayangan atas kaca jendela
Yang putih warnanya, sampai pun alis, bulu mata ....
Maka namamu ’kan kusebut, dengan bibir gemetar
Bagai ayat kitab suci, tak sembarang boleh terdengar
Namun kala itu yang empunya nama entah di mana
Apakah lagi menyulam, duduk bungkuk atas kursi rotan
Ataukah sedang menimang cucu, mungkin pula telah lama
Aman berbaring dalam tilam penghabisan.
Dan pabila giliranku tiba, telentang
Dengan kedua belah tangan bersilang
Sebelum Sang Maut menjemput
Sekali lagi namamu ’kan kusebut, lalu diam. Mati.
(Ajip Rosidi)
Akan tetapi, belum selesai karyanya, Ajip jatuh saat mau pergi ke kamar mandi di rumahnya di Magelang, Jawa Tengah, sekitar dua minggu lalu. Meski beberapa anggota keluarga bergantian berjaga di depan kamarnya, Ajip masih ingin melakukan banyak hal sendirian.
Kala itu, fisiknya tak sekuat yang dibayangkan. Kepalanya terbentur tembok dan lantas bengkak. Namun, karena tidak pusing dan muntah, beliau tidak dibawa ke rumah sakit. Apalagi, muncul kekhawatiran karena Covid-19 sedang ganas-ganasnya di Magelang.
Hanya saja, 10 hari setelahnya, Ajip muntah-muntah. Dokter yang datang ke rumahnya meminta Ajip dirontgen. Ternyata, ada pendarahan di kepala dan Ajip harus dioperasi. Solusinya dibuat lubang di kepala untuk mengeluarkan darah itu. Operasi dilakukan dan doa untuk kesembuhannya dipanjatkan.
Akan tetapi, Tuhan berkehendak lain. Rabu 29 Juli pukul 22.30, Ajip berpulang. Meninggalkan sejumlah pengorbanan dan jasa bagi sastra daerah dan nasional, dua hari sebelum hari raya Idul Adha, dia pergi menghadap yang Maha Kuasa. Ajip dimakamkan di halaman depan rumahnya di Perpustakaan Jati Niskala, Desa Pabelan 1, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang.
Sastrawan Eddy D Iskandar menulis, masih segar dalam ingatannya saat beberapa bulan lalu dia dikunjungi Ajip. Banyak yang dibicarakan mengenai penerbitan buku hingga film.
Waktu sama-sama jadi anggota juri Festival Film Indonesia 2006, WS Rendra bahkan menegaskan, Hadiah Sastra Rancage merupakan gagasan luar biasa Ajip untuk menghargai sastra daerah yang justru diabaikan pemerintah. Kata Eddy, berkat Ajip, buku-buku Sunda tempo dulu bisa diterbitkan lagi, termasuk kamus, ensiklopedia, antologi, terjemahan karya puisi Sunda ke bahasa Indonesia, Inggris, dan Perancis.
Selamat jalan Kang Ajip. Kisahmu abadi.
Baca Juga: Sastra di Ruang Dengar