Cegah Pilkades Serentak Jadi Kluster Penularan Covid-19 di Sidoarjo
Sidoarjo menggelar pemilihan kepala desa serentak di 174 desa pada 20 September. Agar pesta demokrasi rakyat itu tidak berisiko menjadi kluster penularan Covid-19, protokol kesehatan harus diterapkan secara ketat.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·3 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS — Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, berencana menggelar pemilihan kepala desa serentak di 174 desa pada 20 September. Pesta demokrasi rakyat itu harus dicegah menjadi kluster baru penularan Covid-19. Untuk itu, protokol kesehatan harus diterapkan secara ketat mulai masa penahapan hingga pencoblosan.
Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Windhu Purnomo, mengatakan, pilkades serentak sangat riskan menjadi sumber penularan Covid-19. Terlebih, persebaran penyakit ini belum terkendali di Sidoarjo. Indikasinya, wilayah tersebut masih masuk kategori zona oranye peta epidemiologi setelah dua pekan lalu masuk zona merah dan sebelumnya lagi berada di zona oranye.
”Sesuai ketentuan, penyelenggaraan pilkades diizinkan pada daerah yang berada di zona kuning peta epidemiologi. Sidoarjo harus berusaha keras memperbaiki penanganan Covid-19 agar bisa mengendalikan sebaran penyakit,” ujar Windhu Purnomo di Sidoarjo, Kamis (6/8/2020).
Sidoarjo merupakan daerah dengan kasus terkonfirmasi positif Covid-19 terbanyak kedua di Jatim. Hingga Rabu (5/8/2020), tercatat 3.456 kasus kumulatif. Dari jumlah tersebut, 201 orang meninggal, 2.324 orang sembuh, dan sisanya dirawat. Meski angkanya tinggi, sejumlah indikator menunjukkan perbaikan.
Windhu mengatakan, salah satu indikator perbaikan tersebut, angka reproduksi efektif (Rt) Sidoarjo terus bertahan di bawah 1, yakni tepatnya 0,8. Reproduksi efektif menunjukkan jumlah orang yang ditulari dari satu orang yang terinfeksi Covid-19. Rt ini efektif apabila mampu bertahan selama 14 hari berturut-turut.
Indikasi positif lain, angka kesembuhan naik dari 59 persen menjadi 67 persen. Selain itu, angka kematian Covid-19 (case fatality rate/CFR) juga berhasil ditekan menjadi 5,9 persen dari sebelumnya 6 persen. CFR Sidoarjo saat ini merupakan yang terendah di Surabaya Raya.
Untuk mengendalikan sebaran Covid-19, pemerintah harus meningkatkan tes massal minimal 2.000 orang setiap minggu dan melakukan penelusuran kontak erat pasien terkonfirmasi positif secara agresif. Setiap orang yang terkonfirmasi positif juga harus ditangani dengan baik agar peluang sembuh tinggi dan tidak menjadi sumber penularan bagi orang lain.
Pemerintah Kabupaten Sidoarjo harus meningkatkan tes massal minimal 2.000 orang setiap minggu dan melakukan penelusuran kontak erat pasien terkonfirmasi positif secara agresif.
Terkait pilkades serentak di 174 desa, Windhu menyarankan pelaksanaannya benar-benar diikuti penerapan protokol kesehatan secara ketat. Bahkan, dia merekomendasikan pemerintah daerah melakukan simulasi pilkades lebih dulu untuk meningkatkan kewaspadaan dan mengantisipasi hal-hal yang belum terprediksi.
Pelaksana tugas Bupati Sidoarjo Nur Ahmad Syaifuddin mengatakan, pihaknya akan mengkaji lebih dalam lagi semua rekomendasi, termasuk dari epidemiolog. Untuk menyukseskan pelaksanaan pilkades di tengah pandemi Covid-19 memang bukan perkara mudah dan perlu dukungan banyak pihak, terutama masyarakat.
”Oleh karena itu, pemerintah mengajak masyarakat patuh menerapkan protokol kesehatan agar sebaran Covid-19 terkendali dan pilkades yang menjadi proses penentuan kepemimpinan ini berhasil digelar. Sebab, kepemimpinan merupakan hal penting, apalagi dalam situasi seperti ini,” kata Nur Ahmad.
Beberapa rekomendasi yang perlu ditindaklanjuti adalah, tempat pencoblosan harus berada di ruang terbuka dengan sirkulasi udara baik. Semua pemilih harus diakomodasi tak terkecuali mereka yang terkonfirmasi positif Covid-19. Untuk itu perlu dipikirkan penanganan terhadap mereka untuk mencegah penularan misalnya dengan mengirimkan petugas ke rumah atau tempat isolasi.
Hal lain yang juga perlu dipikirkan, lanjut Nur Ahmad, adalah mengantisipasi kerumunan pemilih saat antre pencoblosan ataupun setelahnya. Meskipun hal itu bisa disiasati dengan pengaturan jam kedatangan ke tempat pemungutan suara (TPS), tetapi implementasinya tidak mudah. Peluang pemilih datang berombongan masih tinggi.
Penyelenggara pilkades diminta tidak menyediakan kursi di ruang tunggu pemilih untuk mengantisipasi kerumunan yang memungkinkan penularan.
Rekomendasi lain, penyelenggara pilkades diminta tidak menyediakan kursi di ruang tunggu pemilih untuk mengantisipasi kerumunan yang memungkinkan penularan.
”Pemilih langsung masuk bilik, menyalurkan haknya, dan diminta segera pulang. Hal itu juga untuk mengantisipasi desa yang jumlah pemilihnya banyak, yakni di atas 5.000 orang,” kata Nur Ahmad. Menurut dia, tingkat partisipasi pemilih pada pilkades biasanya tinggi karena ikatan emosional yang kuat antara pemilih dan para calon.