Gilo-gilo, Nostalgia Gerobak Kuliner Merakyat Khas Semarang
Lebih dari setengah abad, gilo-gilo tak sekadar menjadi kuliner nostalgia yang merakyat di Kota Semarang. Roda-roda gerobak kayunya telah ikut menggerakkan ekonomi rakyat di setiap masa, termasuk kini saat pagebluk.
Oleh
Aditya Putra Perdana/Gregorius Magnus Finesso
·5 menit baca
Siapa pun yang pernah tinggal di Kota Semarang, Jawa Tengah, tentu paham keberadaan gerobak dorong yang berkelintaran di perkampungan hingga jalan protokol menjajakan aneka kudapan. Serba ada dan murah meriah. Itulah gilo-gilo, kuliner jalanan merakyat yang melintas zaman.
Sinar matahari mulai beranjak teduh saat sepeda motor berseliweran di pelintasan pintu kereta api Jalan Hasanudin, samping Stasiun Semarang Poncol, Rabu (29/7/2020) sore. Di dekat palang pelintasan, banyak warga memarkir motor mengerumuni sebuah gerobak kayu hijau.
Mereka berburu kudapan gilo-gilo, sekadar mengganjal perut di sore hari. Di atas permukaan gerobak terhidang puluhan camilan. Ada aneka sate, seperti usus, keong, kikil, dan telur puyuh. Ada juga ragam gorengan: bakwan, tempe, tahu petis, martabak mini, dan tahu isi. Kue basah dan jajanan kekinian, seperti pisang karamel, pun ada. Tak lupa, salah satu kekhasan gilo-gilo adalah aneka buah potong.
Untuk melindungi dagangannya, pedagang biasanya menutup bagian atas gerobak dengan terpal plastik. Sebagian penjual keliling, tetapi ada yang menyiapkan 1-2 kursi plastik, sekiranya ada pembeli yang ingin nyamil di tempat.
Para pembeli ada yang langsung menyantap kudapan di tempat sambil menongkrong, ada juga yang membawanya pulang dengan kantong plastik. ”Lumayan sering beli. Kalau dulu, lebih sering nunggu yang keliling, tetapi sekarang beli di sini (gerobak mangkal), sekalian pulang kerja. Yang jelas praktis dan murah. Ada buah-buahannya juga,” kata Totok Hariyanto (37), warga Plombokan, Semarang.
Bagi warga luar kota yang pernah bermukim di Semarang, gilo-gilo menjadi salah satu kenangan tak terlupakan. Bagus Prasetyo (38), pegawai BUMN di Jakarta yang kuliah di Semarang, mengatakan, salah satu hal yang paling diingat dari masa-masa kuliahnya adalah menongkrong di depan rumah indekos sambil menyantap kudapan gilo-gilo.
”Zaman kuliah, uang saku pas-pasan. Kalau sore, saya dan teman-teman kos beli gilo-gilo saja. Beli ketupat sama gorengan. Ditutup buah. Waktu itu hanya habis Rp 3.000-an. Ngirit dan kenyang,” celoteh Bagus yang diwisuda pada 2005.
Zaman kuliah, uang saku pas-pasan. Kalau sore, saya dan teman-teman kos beli gilo-gilo saja. Beli ketupat sama gorengan. Ditutup buah. Waktu itu hanya habis Rp 3.000-an. Ngirit, tapi kenyang.
Tak hanya mahasiswa, gilo-gilo juga menjadi buruan kalangan menengah, termasuk pekerja kantoran. Nur Aisyah (36), karyawan bank swasta di Semarang, mengatakan, sebelum pandemi, ia dan teman-temannya rutin menanti pedagang gilo-gilo mangkal di dekat kantornya di sekitar Jalan Pemuda. ”Semarang, kan, panas. Jadi, buah-buahan itu wajib. Makanya, kami biasa rebutan buah potong gilo-gilo,” tuturnya.
Penjual gilo-gilo memang selalu berusaha mendekati lokasi yang ramai. Joko Mulyono (57), penjual gilo-gilo di dekat pelintasan KA Stasiun Semarang Poncol, mengatakan, awalnya ia berjualan di GOR Satria, Semarang Utara, sejak 1990-an. Baru lima tahun terakhir, ia pindah ke lokasi yang lebih ramai di dekat Stasiun Poncol.
Kendati demikian, pandemi Covid-19, dirasa Joko cukup berdampak pada pendapatannya. ”Saat normal, biasanya semangka habis 1 kuintal per hari, tetapi kini hanya 60 kilogram (kg). Kalau pepaya masih sama, 60-70 kg per hari,” kata Joko.
Adapun gorengan dan buah-buahan dijual seharga Rp 1.000 per buah atau potong, begitu juga dengan aneka sate. Joko, perantau asal Kabupaten Sukoharjo itu, menambahkan, belakangan, harga semangka melonjak dari Rp 3.500 per kg menjadi 7.000 per kg. Ia pun menyiasatinya dengan mengatur besar kecil potongan buah.
Hal senada disuarakan Sugeng (40), penjual gilo-gilo asal Kabupaten Klaten, yang biasa berkeliling di sekitar kawasan Sekayu. Selama pandemi, pendapatan kotor per hari yang biasanya mencapai Rp 700.000 kini maksimal hanya separuhnya.
Roda ekonomi
Meskipun menghadapi zaman yang berat, roda gerobak pedagang gilo-gilo terus berputar melayani pembeli sekaligus menggerakkan ekonomi ratusan bahkan ribuan usaha rumahan. Sebab, terkecuali buah-buahan, semua jajanan yang dijual pedagang gilo-gilo adalah titipan dari usaha rumahan.
Secara umum, pedagang gilo-gilo di Kota Semarang merupakan kaum boro atau perantau dari Klaten dan Sukoharjo. Pedagang asal Klaten tinggal di Kampung Gabahan, Kelurahan Gabahan. Sementara perantau asal Sukoharjo kebanyakan tinggal di Kampung Kulitan, Kelurahan Jagalan.
Di kedua kampung itu, sejumlah warga berjualan gorengan dan kudapan lain untuk dititipkan kepada pedagang gilo-gilo. Gorengan, misalnya, dititipkan kepada pedagang gilo-gilo seharga Rp 800 per buah, lalu dijual kepada pembeli Rp 1.000 per buah.
Roda gerobak pedagang gilo-gilo terus berputar melayani pembeli sekaligus menggerakkan ekonomi ratusan bahkan ribuan usaha rumahan.
Suryani (49), warga Kampung Kulitan, menuturkan, setiap hari dirinya menitipkan 100 sate kulit kepada pedagang gilo-gilo. ”Sejak saya kecil, di kampung sini memang banyak pembuat makanan untuk dititipkan ke gilo-gilo atau pedagang lain. Kalau mereka libur jualan, berarti saya juga enggak jualan,” katanya.
Keberadaan Kampung Kulitan tak bisa dilepaskan dari sosok Tasripin, seorang saudagar di Semarang yang hidup pada awal 1900-an dan terkenal dengan usaha pemotongan hewan serta penyamakan kulit. Dalam eJurnal Ruang berjudul ”Sense of Place Masyarakat Kampung Kulitan dan Kampung Gandekan Kota Semarang”, Annisa Amellia Purwanto dan Nurini dari Universitas Diponegoro, Semarang, mencatat, dari kampung pengusaha kulit ternama, Kampung Kulitan menjadi kampung dengan pamor sebagai pangkalan gilo-gilo terbesar di Semarang seiring masuknya banyak perantau.
Sementara itu, di Kampung Gabahan, banyak pedagang jadi saksi transformasi gilo-gilo yang diperkirakan sudah ada sejak sekitar pertengahan abad ke-20. Awalnya, gilo-gilo tidak dijajakan dengan gerobak dorong, tetapi dipikul. ”Setiap sore hingga malam, saya berkeliling dan selalu ditunggu-tunggu. Gilo-gilo sendiri dari ’iki lho, iki lho... ono’ (ini loh, ini loh... ada),” kata M Tukiyo (69), warga Kampung Gabahan yang sempat berjualan gilo-gilo pada 1968-1969.
Pemerhati budaya dari Universitas Negeri Semarang (Unnes), Dhoni Zustiyantoro, mengatakan, sejumlah sumber menyebut, gilo-gilo sudah ada sejak masa prakemerdekaan dan mencapai puncak kejayaan sekitar 1970-an. Masa itu belum banyak pilihan bagi warga untuk membeli makanan.
Hingga 1980-an, penjual menggunakan pikulan, baru setelah itu beralih dengan gerobak dorong untuk efisiensi. Semarang, yang terdiri atas beragam etnis dengan ciri khas masyarakat pekerja dan pedagang, memiliki kultur yang berbeda dengan masyarakat agraris yang relatif lebih banyak waktu luang. Peluang pasar itu yang dibaca para penjual gilo-gilo.
Secara psikologis, orang membeli gilo-gilo karena penjualnya lewat di depan rumah atau memang suka dengan makanan yang dijajakan. ”Ini berbeda ketika orang memesan makanan secara daring yang kebanyakan karena sedang lapar atau butuh makanan. Jadi, ada semacam romantisisme,” kata dosen Program Studi Sastra Jawa Fakultas Bahasa dan Seni Unnes itu.
Setelah lebih dari 50 tahun, gilo-gilo tak hanya menjadi kuliner nostalgia yang merakyat di Kota Semarang. Roda-roda gerobak kayunya telah ikut memutar ekonomi rakyat di setiap masa, termasuk kini saat pagebluk.