Sepuluh tahun berlalu, janji pemerintah pusat menjadikan Maluku sebagai lumbung ikan nasional belum juga terealisasi.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Rencana untuk menetapkan Maluku sebagai lumbung ikan nasional pertama kali diutarakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Ambon pada tahun 2010. Hingga Selasa (18/8/2020), atau sepuluh tahun berlalu, janji itu masih tetap kabur, tak pasti kapan tiba waktunya diwujudkan. Maluku hingga kini masih tetap menanti.
Presiden Yudhoyono menyampaikan hal itu ketika membuka Sail Banda di Ambon pada 10 Agustus 2010. Yudhoyono mendorong pemanfaatan potensi perikanan Maluku yang terkandung dalam perairan seluas 658.331,52 kilometer persegi atau 92,4 persen dari total wilayah provinsi itu. Secara nasional, perairan Maluku sebagai penyumbang tertinggi dari sektor perikanan untuk Indonesia.
Namun, gagasan Yudhoyono tak kunjung dioperasionalkan. Setidaknya, wacana lumbung ikan nasional itu dapat dikerucutkan lewat program konkret yang dimulai dengan penyusunan peta jalan menuju ke sana. Hingga masa jabatan Yudhoyono selesai pada tahun 2014, gagasan itu masih tetap kabur.
Joko Widodo, presiden berikutnya dengan visi besar menjadikan Indonesia sebagai pusat maritim dunia, kembali memberi angin segar. Belum lama berkuasa, perikanan dan kelautan menjadi sektor yang paling disoroti. Sektor perikanan ditertibkan lewat serangkaian kebijakan, seperti memburu kapal asing, melarang kapal eks asing, dan melarang penggunaan alat tangkap tak ramah lingkungan.
Perairan Maluku menjadi salah satu sasaran. Di Laut Arafura, misalnya, puluhan kapal asing ditangkap dan ribuan kapal eks asing dikandangkan. Sebelum penertiban, Laut Ararufa menjadi surga bagi para pencuri ikan. Berdasarkan catatan Kementerian Kelautan dan Perikanan, dalam satu tahun, negara kehilangan potensi pendapatan sekitar Rp 40 triliun di Laut Arafura.
Pelanggaran di sektor perikanan diberantas, perairan Maluku mulai pulih. Eksploitas berkurang, perairan yang setiap tahun mengalami pengadukan massa air secara alamiah atau upwelling semakin subur. Ikan pun melimpah. Kini, potensi ikan di Maluku sekitar 4 juta ton per tahun atau setara dengan 30 persen potensi nasional.
Pemerintah Provinsi Maluku kembali berinisiatif mengingatkan pemerintah pusat akan janji itu. Kali ini, penetapan Maluku sebagai lumbung ikan nasional perlu dalam sebuah kerangka aturan atau kelembagaan. Melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan, Pemerintah Provinsi Maluku menyodorkan proposal peta jalan. Mereka juga memohon agar Presiden Joko Widodo mengeluarkan peraturan presiden terkait hal itu.
Kerja besar berlanjut. Rancangan perpres itu telah dirumuskan pada 31 Juli 2015 dan selanjutnya dipelajari oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Selesai dikoreksi, rancangan itu terlebih dahulu melewati proses harmonisasi peraturan perundang-undangan di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Proses selanjutnya dibawa ke Sekretariat Negara untuk diperiksa dari sisi teknisnya.
Jika tak ada halangan, rancangan itu diserahkan kepada Presiden Joko Widodo untuk ditandatangani. ”Sayangnya, rancangan itu tertahan di tangan Susi Pudjiastuti (Menteri Kelautan dan Perikanan 2014-2019),” kata mantan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Maluku Romelus Far Far. Romelus yang baru pensiun Maret 2020 itu terlibat dalam proses pengusulan.
Setelah dilantik mengantikan Susi, Edhy Prabowo kembali mengucapkan rencana menetapkan Maluku sebagai lumbung ikan nasional. Janji Edhy itu disampaikan kepada Gubernur Maluku Murad Ismail dalam suatu kesempatan di Jakarta. Namun, lebih dari setengah tahun dilantik, belum ada pembicaraan lebih jauh mengenai hal itu. Edhy yang berencana mengunjungi Ambon pun tak kunjung datang.
Namun, pada pekan lalu, rombongan dari sejumlah kementerian dan lembaga mendatangi Ambon khusus untuk melihat sektor perikanan. Mereka mendatangi tempat pendaratan ikan, budidaya ikan, dan pengolahan hasil ikan untuk ekspor di sejumlah perusahaan. Rombongan itu dipimpin Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Safri Burhanuddin.
Dari hasil temuan lapangan itu lalu digelar rapat koordinasi lumbung ikan nasional di Ambon, Maluku, pada Rabu (12/8/2020). Ada komitmen baru yang muncul dalam rapat itu. ”Kalau kita cuma rapat, ini tidak akan selesai. Kita harus buat sesuatu. (Janji lumbung ikan dari) 2010 ke 2020, cukuplah sepuluh tahun. Kasihan masyarakat Maluku menunggu dan menunggu,” kata Safri dalam sambutannya.
Safri menyatakan kekagumannya akan potensi perikanan di Maluku, baik perikanan tangkap maupun budidaya, yang belum terkelola secara optimal. Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, potensi perikanan tangkap hingga 4 juta ton per tahun, tetapi baru bisa dimanfaatkan oleh masyarakat Maluku kurang dari 10 persen. Nelayan lokal tak didukung peralatan yang memadai. Investasi swasta pun minim.
Begitu juga ruang laut untuk pengembangan perikanan budidaya mencapai 183.046 hektar. Sayang, perikanan budidaya baru dimanfaatkan sebesar 4,12 persen atau sekitar 7.544 hektar. Akibatnya, dalam satu tahun, produksi dari perikanan budidaya seperti tahun 2019 hanya 620.841 ton. Nilai itu dianggap masih terlalu kecil.
Masalah utama adalah minimnya dukungan sumber daya untuk pengelolaan potensi itu. Menurut Sekretaris Daerah Maluku Kasrul Selang, daerah tidak punya cukup sumber daya untuk mendorong pemanfaatan hasil laut. Anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi hanya Rp 3,3 triliun, sebagian besar habis untuk belanja pegawai, sebagian lagi untuk infrastruktur. Pemberdayaan ekonomi sangat minim.
Oleh karena itu, penetapan Maluku sebagai lumbung ikan nasional menjadi pintu masuk untuk menggerakkan semakin besar energi, baik di pusat maupun daerah, untuk pengelolaan sektor perikanan di Maluku. Pengelolaan dimaksud terpusat di Maluku dengan melibat semua sektor. ”Makanya, diperlukan peraturan presiden sebagai payung hukum,” ujar Kasrul.
Guru Besar Ilmu Perikanan dan Kelautan Universitas Pattimura Profesor Alex Retraubun mengatakan, usulan Maluku sebagai lumbung ikan nasional merupakan turunan dari visi besar Presiden Joko Widodo yang ingin menjadikan Indonesia sebagai pemegang kekuatan maritim dunia. Pengelolaan perikanan dan kelautan di daerah sentra yang kuat dan berkelanjutan adalah salah satu syarat.
Menurut Alex, muara dari kebijakan itu adalah kesejahteraan rakyat, terutama lebih kurang 115.000 rumah tangga nelayan di Maluku yang hingga kini masih berada dalam lingkaran kemiskinan. Sebagai satu dari delapan provinsi pendiri Indonesia yang pada 18 Agustus 2020 berusia 75 tahun, Maluku masih berada di urutan keempat provinsi termiskin di Indonesia.
Ironisnya, kemiskinan itu tumbuh di tengah alam yang melimpah sumber daya, termasuk ikan. Ini tak lepas dari imbas kebijakan pusat kekuasaan di Jakarta yang belum optimal memberi sentuhan. Janji lumbung ikan nasional selama sepuluh tahun bukan waktu yang singkat.