Semenjak pandemi Covid-19 jadi mimpi buruk dunia, Rohaetin (32) berjuang menjaga janin dan pasien yang ia rawat. Namun, perawat itu mengembuskan napas terakhir tidak lama setelah mengantar anaknya memulai hidup di dunia.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·4 menit baca
Semenjak pandemi Covid-19 menjelma mimpi buruk dunia, Rohaetin (32) berjuang menjaga napas janinnya dan pasien yang ia rawat. Namun, petaka itu datang. Perawat tersebut mengembuskan napas terakhir tidak lama setelah mengantar sang buah hati memulai hidup di dunia.
Isak tangis menyambut kedatangan jenazah Rohaetin di Rumah Sakit Daerah Gunung Jati, Kota Cirebon, Jawa Barat, Kamis (5/11/2020). Lapangan parkir menjadi tempat persemayam perawat ruangan high care unit (HCU) itu.
Keluarga, kerabat, dan rekan almarhumah bahkan mengangkat mobil dengan tangan kosong dari tempat parkir agar saf shalat jenazah lebih luas. Selama disemayamkan, jenazah berada di ambulans, tanpa diturunkan.
Langit mendung memayungi pelepasan jenazah. Kembang bertaburan di ambulans yang bergerak meninggalkan para pelayat. Sejumlah rekan kerja, yang belum siap melepas Rohaetin, jatuh pingsan.
Perawat yang bertugas lima tahun terakhir tersebut terlalu lekas pergi. Salam perpisahan bahkan belum terucap. Virus korona baru penyebab Covid-19 mempercepat kepulangannya kepada Sang Pencipta.
Virus itu terdeteksi di tubuhnya pada 20 Oktober, setelah menjalani tes usap massal. Beberapa hari sebelumnya, sejumlah tenaga kesehatan (nakes) terkonfirmasi positif Covid-19, termasuk suami Rohaetin, yang bekerja di bagian kamar operasi.
Tes usap juga dilakukan kepada anak pertamanya, Fatih Septian (6), dan mertuanya. Hasilnya, semuanya negatif Covid-19.
Perempuan berhijab dan murah senyum itu lalu dirawat di ruangan isolasi. Kondisinya yang hamil tua membuat tim dokter memutuskan operasi caesar. Pada Jumat (30/10/2020), anak keduanya lahir dalam keadaan sehat. Hasil tes uji usap jabang bayi itu negatif Covid-19.
”Almarhumah belum sempat melihat langsung anaknya, baru lewat foto dan video,” kata Ahmad Kunaefi (44), paman Rohaetin. Bayi tersebut segera dipisahkan dari ibunda untuk mencegah penularan Covid-19. Keluarga menamai bayi itu Naufal Malik Alfarizki. Kata Ahmad, maknanya laki-laki tampan dermawan yang murah rezekinya.
Di tengah kebahagiaan itu, kondisi Rohaetin justru kian kritis. Ia sulit bernapas. Tim ahli klinis RSD Gunung Jati lalu merujuknya ke RSUP Fatmawati, Jakarta, pada Kamis (5/11/2020) dini hari. Namun, Tuhan memanggilnya pukul 06.00.
Fatih yang menunggu di rumah terus menanyakan keberadaan mamanya. Apalagi, ayahnya masih menjalani isolasi mandiri di hotel yang disediakan Pemkot Cirebon.
”Mama di mana?” ucap Ahmad menirukan kata Fatih. ”Mama sudah meninggal. Baca doa ya untuk mama,” kata anggota keluarga lainnya. Fatih mengangguk lalu mengatupkan tangan sambil berdoa.
Untuk mengalihkan perhatian, keluarga menanyakan kapan si sulung sekolah lagi. ”Nanti aja, tunggu mama pulang,” kata Ahmad menirukan jawaban Fatih. Percakapan itu kembali menusuk perasaan keluarga.
Dedikasi
Tidak berlebihan jika Rohaetin disebut pahlawan kesehatan. ”Almarhumah seorang yang aktif dan berjiwa besar. Meskipun sedang mengandung, ia tetap menjalankan dinasnya. Katanya, untuk menolong orang,” lanjut Ahmad.
Kepala Ruangan HCU RSD Gunung Jati Sofyar Irawan mengatakan, Rohaetin paling semangat merawat pasien. ”Waktu terkonfirmasi positif, itu pas almarhumah mau cuti. Jadi, dedikasinya tinggi sekali,” ungkapnya.
Sofyar menuturkan, Rohaetin ingin terus berjuang mengurus pasien. Apalagi, jumlah perawat di HCU berkurang dari 21 orang menjadi 15 orang karena yang lainnya harus bekerja di ruang isolasi. Setiap perawat mengurus tiga pasien.
Mereka berdinas delapan jam sehari. Selama berjam-jam, perawat di HCU mengenakan alat pelindung diri level dua, seperti penutup kepala, pelindung wajah, masker bedah, hazmat, dan sarung tangan. Saking panasnya pakaian itu, keringat mereka mengucur deras.
Ruang HCU sempat ditutup sehari saat Rohaetin positif. Setelah menjalani tes usap, perawat lainnya dinyatakan negatif Covid-19. ”Alhamdulillah, saya senang. Ayo, kita semangat kerja lagi,” kata Sofyar menirukan pesan Rohaetin.
Sofyar kagum dengan Rohaetin yang masih memikirkan perjuangan melawan Covid-19 saat ia terkapar karena virus tersebut. Di sisi lain, ia waswas. ”Takut, pasti. Tapi, ini tugas kami. Ada orang yang membutuhkan,” ucap Sofyar.
Ia mengaku geram dengan pandangan yang masih menganggap remeh Covid-19. Bahkan, ada yang bilang Covid-19 sebagai konspirasi dan menguntungkan nakes. Padahal, kondisi para nakes sudah babak belur.
Sebelumnya, Minggu (1/11/2020), Tatang Koswara (55) dari bagian anestesi RSD Gunung Jati juga berpulang akibat tertular virus korona. Setidaknya, 45 nakes di rumah sakit rujukan pasien Covid-19 di Jawa Barat bagian timur itu sudah terpapar Covid-19.
Sebanyak 150 tenaga kesehatan yang berdomisili di Kabupaten Cirebon juga tertular Covid-19. Seorang perawat asal Puskesmas Karangsari meninggal dunia.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Cirebon Edy Sugiarto mengatakan, pihaknya sudah berupaya melindungi nakes dengan menyediakan APD, tes usap rutin, hingga hotel untuk isolasi. ”Problemnya, setelah pulang, nakes bisa terpapar Covid-19 kalau tidak menjalankan protokol kesehatan ketat. Bisa saat makan bersama atau kontak dengan pelaku perjalanan,” ujarnya.
Duka para nakes di Cirebon merupakan ironi dengan kontribusi mereka terhadap masyarakat. RS ”Oranye” Gunung Jati yang diresmikan 31 Agustus 1921, misalnya, merupakan ujung tombak mengobati wabah frambusia dan malaria.
Seabad berlalu, para nakes kini bertarung melawan Covid-19. Mereka yang gugur patut menjadi pahlawan. Sudah seharusnya, masyarakat membalas kiprah mereka dengan mencegah penularan virus mematikan itu. Jangan sampai, kita justru menjadi senjata mematikan bagi pahlawan kesehatan.