Korupsi Dana Banjir Bandang 2014, Mantan Kepala BPBD Kota Manado Dipidana 6 Tahun Penjara
Mantan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Manado Maximilian Tatahede dipidana 6 tahun penjara karena terlibat korupsi dana hibah penanganan banjir bandang yang melanda Manado pada 2014 lalu.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Mantan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Manado Maximilian Tatahede dipidana 6 tahun penjara karena terlibat korupsi dana hibah penanganan banjir bandang yang melanda Manado tahun 2014. Meski tak mendapat untung sepeser pun, ia terbukti memperkaya pihak lain dalam pengadaan jasa konsultan dalam perbaikan rumah pascabencana.
Kepala Seksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi BPBD Manado Budhi Yasin, Selasa (17/11/2020), mengatakan, dakwaan terhadap Maximilian terkait dana hibah dari APBN sekitar Rp 213,34 miliar. Sebanyak Rp 14,72 miliar dari dana itu dianggarkan untuk membayar jasa konsultan rehabilitasi dan rekonstruksi rumah rusak berat dan sedang di lokasi (in situ). Perbaikan in situ disebutnya sudah selesai semua.
Dalam sidang pembacaan putusan yang dipimpin ketua majelis hakim Djamaluddin Ismail, Senin (16/11/2020) malam, di Pengadilan Negeri Manado, Maximilian dinyatakan terbukti melanggar Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Atas kerugian negara Rp 6.355.765.517, ia dijatuhi pidana 6 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan.
Hakim anggota Edi Dharma Putra menjabarkan, Maximilian tidak ikut menikmati uang tersebut. Namun, dengan menyetujui anggaran yang disusun pejabat pembuat komitmen (PPK), ia turut memperkaya Yenni Siti Rostiani, Direktur Utama PT Kogas Driyap Konsultan, penyedia jasa konsultasi perbaikan rumah in situ.
Kasus ini bermula dari banjir bandang di Manado pada 15 Januari 2014 yang merusak 11.235 rumah. Dana hibah Rp 213,3 miliar dari pemerintah pusat yang baru cair jelang akhir 2015 pun segera digunakan, antara lain, untuk merehabilitasi atau merekonstruksi 3.018 rumah rusak, yaitu 1.280 rumah rusak berat dan 1.738 rumah rusak sedang.
Kepala Seksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi BPBD Manado saat itu, Fence Salindeho, yang menjadi PPK segera menyusun anggaran pengadaan jasa konsultan Rp 14,72 miliar. Namun, anggaran itu tidak disusun secara keahlian dan berdasar data yang dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut fakta persidangan, Fence membuat harga perkiraan sendiri dengan sekadar membandingkan total anggaran dengan jumlah rumah rusak. Fence tidak mengacu pada tarif pasar setempat menurut pendapat tenaga ahli, melainkan pada tarif penanganan bencana gempa bumi di Aceh dan Yogyakarta. Perkiraan lama pengerjaan juga tidak disesuaikan kebutuhan riil, tetapi berdasarkan banyaknya anggaran.
Kemudian, Fence menetapkan PT Kogas Driyap Konsultan sebagai pemenang lelang jasa konsultan tanpa memastikan terlebih dahulu jumlah rumah yang harus menerima pendampingan. Penandatanganan proyek antara Fence dan Yenni pada pengujung 2015 itu diketahui Maximilian.
Yenni menunjuk Agus Yugo Handoyo, direktur operasional di perusahaannya, sebagai direktur proyek tersebut. Setelah proses validasi dan verifikasi selama enam bulan, jumlah penerima hak bantuan perbaikan rumah berkurang 968 unit, dari 3.018 unit menjadi 2.050 unit rumah.
Akan tetapi, setelah kontrak berakhir pada akhir 2016, hanya 1.021 unit rumah yang direhabilitasi atau direkonstruksi. Bantuan untuk 1.029 rumah lainnya diberikan secara tunai, Rp 40 juta untuk rumah rusak berat dan Rp 20 juta untuk rumah rusak sedang.
Meski jumlah rumah sudah dikurangi, PT Kogas Driyap Konsultan masih memperoleh pembayaran Rp 11,33 miliar atau 88,9 persen dari nilai kontrak. Menurut hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), biaya jasa konsultasi seharusnya hanya sekitar Rp 4,98 miliar sehingga terdapat kerugian negara Rp 6,35 miliar.
Menurut paparan hakim anggota M Alfi Sahrin Usup, Fence dan Agus menggelembungkan anggaran dengan cara membuat nota pembayaran fiktif. Hal ini dilakukan dengan membuat daftar hadir personel yang sebenarnya tidak pernah hadir di lapangan, tetapi gajinya tetap dibayarkan. Ia juga membuat nota palsu penyewaan alat.
Pencairan pembayaran juga tidak berdasar pada berita acara serah terima yang dibuat panitia penerima hasil pekerjaan (PPHP), melainkan berdasar surat pernyataan yang dibuat Fence bahwa bobot pekerjaan setara 88,9 persen nilai kontrak. Surat keterangan kemajuan pekerjaan ditandatangani Maximilian dan Fence.
Pada hari yang sama, majelis hakim juga menjatuhi Yenni pidana 8 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan. Ia juga diminta mengembalikan Rp 6,35 miliar atau menggantinya dengan kurungan 3 tahun.
Agus Yugo Handoyo sebagai Direktur Operasional PT Kogas Driyap Konsultan dihukum 7 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan. Ketiganya menanggapi putusan itu dengan meminta waktu pikir-pikir. Agus sempat menanyakan batas waktu untuk mengajukan banding. Hakim ketua Djalamuddin memberi waktu tujuh hari.
Kuasa hukum Max, Agus, dan Yenni, Mustika Indah, mengatakan akan mengajukan banding hingga ketiga kliennya bebas. Menurut dia, berita acara oleh PPHP bukan syarat pencairan. Di samping itu, nilai kontrak tidak dapat dijadikan dasar perhitungan kerugian negara. ”Dasar pekerjaan adalah kontrak sehingga perhitungannya lump sum,” katanya.
Selain untuk rekonstruksi dan rehabilitasi serta biaya jasa konsultan, dana hibah penanganan banjir juga digunakan untuk membangun permukiman relokasi di Kelurahan Pandu, Bunaken, bagi warga yang tinggal di bantaran sungai di Manado. Kepala Seksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi BPBD Manado Budhi Yasin mengatakan, ada 2.047 rumah yang sudah berdiri.
Akan tetapi, belum semua rumah terisi. ”Kira-kira ada 600 keluarga yang sudah menetap di situ sehari-hari. Kalau akhir pekan, bisa sampai 1.000 keluarga,” kata Budhi.