Warga Sepang-Nggieng Melawan Perampasan Hak Ulayat
Upaya masyarakat adat Sepang-Nggieng, Kecamatan Boleng, Manggarai Barat, melawan mafia tanah belum usai. Mereka masih menanti kembalinya hak tanah ulayat setelah para mafia tanah menjadi tersangka.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perampasan hak ulayat masyarakat adat Sepang-Nggieng menjadi pintu masuk untuk memberantas mafia tanah di Nusa Tenggara Timur. Dengan begitu, masyarakat adat memperoleh kepastian hukum, haknya tidak tercerabut, dan potensi konflik horizontal luruh.
Masyarakat adat Sepang-Nggieng bersama Kongres Rakyat Flores dan SETARA Institute for Democracy and Peace memperjuangkan hak tanah ulayat dari mafia tanah yang bekerja sama dengan oknum Badan Pertanahan Nasional Manggarai Barat. Kasusnya sudah mencapai tahap penyidikan di Badan Reserse Kriminal Polri dengan sejumlah orang, termasuk oknum pertanahan, sebagai tersangka.
Jaringan mafia tanah itu menerbitkan 563 buku sertifikat hak milik (SHM) seluas 700 hektar, termasuk sebagian tanah ulayat Sepang-Nggieng. Modusnya dengan manipulasi data fisik dan yuridis. Misalnya, data fisik obyek tanah terletak di Desa Tanjung Boleng, tetapi data yuridisnya terbit oleh desa lain, yakni Desa Batu Tiga.
Benny Susetyo, perwakilan SETARA Institute for Democracy and Peace, Rabu (18/11/2020), mengatakan, mafia tanah merajalela karena sebagian masyarakat adat, termasuk Sepang-Nggieng, tidak punya akses, sumber daya, dan minim pengetahuan tentang pertanahan. Tak dinyana mafia tanah masuk lewat celah itu untuk merampas hak ulayat. ”Masyarakat adat membutuhkan kepastian hukum supaya tidak ada mafia tanah dan tidak terjadi konflik horizontal,” ujar Benny.
Pengakuan hak ulayat tercantum dalam Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Selain itu, hak ulayat mendapat legitimasi dalam ketentuan Pasal 2 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Bunyinya, hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah.
Artinya, menurut Benny, negara mengakui hak ulayat dengan memberikan kedudukan yang setara dengan daerah swatantra untuk melaksanakan fungsi hak menguasai dari negara dengan cara dikuasakan pelaksanaannya kepada masyarakat-masyarakat hukum adat dan daerah swatantra. ”Berantas mafia tanah dan kembalikan hak ulayatnya dari tangan mafia,” katanya.
Masyarakat adat Sepang-Nggieng meminta Bareskrim Polri menyita dan memusnahkan 563 SHM yang telah terbit; Kepala BPN Manggarai Barat membatalkan dan memblokir secara administratif 563 SHM karena mencaplok tanah ulayat; serta mengembalikan status tanah kepada pemegang hak ulayat.
Mafia tanah
Mafia tanah bekerja sama dengan oknum BPN Manggarai Barat untuk menguasai hak atas tanah ulayat. Mereka mengalihkan hak dan menerbitkan SHM kepada pihak ketiga tanpa proses jual beli, tidak disaksikan pemilik hak ulayat, serta tidak didukung data fisik dan data yuridis yang sah.
Pemangku hak ulayat melaporkan dugaan pidana penyerobotan, penggelapan, dan pemalsuan surat-surat tanah ke Bareskrim Polri dengan LP/B/0100/II/2020/Bareskrim, 20 Februari 2020. Laporan masuk tahap penyidikan berdasarkan Sprindik No SP.Sidik/606.2a/VI/2020/ Ditpidum, 4 Juni 2020.
Petrus Selestinus, Ketua Presidium Kongres Rakyat Flores, dalam keterangannya menyebutkan, mafia tanah bekerja secara terorganisasi sehingga terbit 563 SHM. Dari jumlah itu, ada satu nama yang memiliki 53 SHM dengan luas bervariasi mencapai 100 hektar.
Lebih jauh, katanya, ada upaya kongkalikong dengan cara memecah luas tanah dalam sertifikat. Luas tanah dipecah menjadi rata-rata 4.900 meter persegi supaya tak terendus BPN Nusa Tenggara Timur maupun pusat. ”Mafia tanah tertarik dengan destinasi superpremium dan merugikan masyarakat adat,” kata Petrus.
Sebelumnya, tim penyidik Kejaksaan Tinggi NTT yang beranggotakan empat jaksa penyidik tengah menyelidiki kasus dugaan pembagian dan penjualan tanah berupa pulau seluas 30 hektar milik Pemkab Manggarai Barat. Sejumlah pejabat yang terlibat sedang diperiksa, termasuk Bupati Manggarai Barat Agustinus Ch Dula (Kompas.id, 1 Oktober 2020).
Lahan berupa pulau itu dibagi antara pejabat daerah dan pusat, lalu diperjualbelikan kepada pengusaha dari Jakarta untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata.
Selain itu, tengah terjadi sengketa antara Pemprov NTT dan masyarakat adat Pubabu-Besipae, Timor Tengah Selatan, terkait penguasaan lahan seluas 3.780 hektar. Pemprov NTT mengklaim Pubabu-Besipae dalam kawasan hutan negara (lindung). Kuasa hukum dari Firma Hukum ABP telah mengecek dengan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, 16 Agustus 2020. Hasilnya, kawasan hutan itu berada di Koa, Kecamatan Molo Barat, seluas 2.599 hektar, bukan di Pubabu-Besipae.
Sementara itu, Koordinator Kuasa Hukum Masyarakat Pubabu-Besipae Akhmat Bumi di Soe, Jumat (21/8/2020), mengatakan, sertifikat tanah yang dimiliki Pemprov NTT itu bermasalah. Dalam sertifikat tidak disebutkan hak tanah diperoleh dari hasil konvergensi lahan, pemberian hak, pemecahan sertifikat tanah, atau penggalan bidang tertentu.