Menjaga Suluh Masa Depan Bocah-bocah Pengungsi Merapi
Belum rampung dampak pandemi yang membuat kegiatan belajar di kelas terhenti, mereka kembali menepi akibat ancaman erupsi. Bersyukur, masih ada tangan-tangan yang peduli menjaga masa depan bocah-bocah di pengungsian.
Oleh
KRISTI UTAMI/PANDU WIYOGA
·4 menit baca
Tahun 2020 adalah periode terberat dalam hidup anak-anak di lereng Gunung Merapi. Belum rampung dampak pandemi Covid-19 yang membuat kegiatan belajar di kelas dihentikan, kini mereka kembali menepi akibat ancaman erupsi. Bersyukur, masih ada tangan-tangan yang peduli menjaga masa depan anak-anak di pengungsian.
Istiyah tak mengeluh meski hampir tiap hari menempuh jarak lebih kurang 20 kilometer dengan sepeda motor dari Desa Krinjing menuju Balai Desa Deyangan, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, yang merupakan tempat para siswanya mengungsi. Meski melelahkan, kegiatan itu dianggap membahagiakan oleh Istiyah.
”Kalau saya tidak berbuat sesuatu, rasanya kepikiran terus. Biarlah saya capek yang penting saya bisa memastikan anak-anak saya bisa belajar. Apalagi, awal bulan depan, mereka akan menghadapi ujian akhir semester,” kata Istiyah, guru SD Negeri 1 Krinjing, Selasa (17/11/2020).
Sejak ditinggal sebagian siswa mengungsi, dirinya kerap gelisah. Apalagi, setelah sejumlah orangtua siswa mengadu bahwa anak-anak sulit belajar. Hal itu yang mendorong dirinya rela naik-turun untuk mengajar di pengungsian.
Selama di pengungsian, Istiyah memanfaatkan teras mushala untuk mengajar. Karena tahu banyak muridnya tak membawa buku dan alat tulis, dia membawakannya untuk mereka. Saat belajar, siswa-siswinya itu juga diminta memakai masker dan menjaga jarak.
Fadilla Qulnissa (10), warga Desa Babadan I, Desa Paten, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, yang mengungsi di Balai Desa Banyurojo, Kecamatan Mertoyudan, mengaku selalu gelisah saat mencoba belajar. Lalu lalang orang, relawan, dan bocah lain di pengungsian membuat siswa kelas II di SD Negeri Krinjing 1 itu sulit berkonsentrasi.
”Di sini ramai banget jadi saya enggak bisa fokus belajar. Kadang kalau belajar sering ada yang mengganggu,” tutur Fadilla yang kini mengungsi di Balai Desa Banyurojo, Kecamatan Mertoyudan.
Sejak awal pandemi, anak-anak lereng Merapi di Kabupaten Magelang menjalani pembelajaran jarak jauh untuk menekan risiko penularan Covid-19. Bagi mereka, pembelajaran jarak jauh cukup merepotkan. Sebab, tidak semua keluarga mempunyai ponsel pintar dan tidak semua daerah memiliki jaringan internet yang stabil.
Di saat ujian pertama belum teratasi, ujian lain datang. Anak-anak yang tergolong kelompok rentan diharuskan mengungsi akibat peningkatan status Gunung Merapi dari Waspada (Level II) menjadi Siaga (Level III). Di pengungsian, kendala dalam pembelajaran berlipat.
Trimah (38), ibu Fadila, berharap ada guru yang datang untuk mendampingi siswa bejalar di pengungsian. Tanpa pendampingan guru, dia ragu anaknya bisa menyerap materi pelajaran dengan baik. ”Saya ingin ada guru yang bisa mendampingi anak belajar. Dulu, saya tidak sekolah, jadi tidak bisa mengajari anak saya, bisanya hanya menemani,” ujarnya.
Yuliati (26), warga Desa Krinjing, Kecamatan Dukun, yang mengungsi di Balai Desa Deyangan, juga mengeluhkan kesulitan belajar anaknya. ”Sejak di pengungsian, anak saya jadi semakin sulit disuruh belajar. Saya pusing memikirkan cara agar dia tidak ketinggalan pelajaran,” ujarnya.
Suami Yuliati harus bolak-balik dari rumah ke pengungsian setiap dua hari sekali untuk mencari tahu materi apa yang disampaikan guru melalui pesan singkat di ponsel tetangganya.
Sejak kegiatan belajar-mengajar tatap muka dihentikan, semangat belajar anak Yuliati, Asyifa (8), menurun. Menurut Yuliati, Asyifa sering menolak belajar karena malu jika harus menumpang belajar menggunakan ponsel tetangganya.
Masalah lain hadir saat tetangga yang biasa meminjami ponsel kepada Asyifa tidak ikut mengungsi. Hal itu membuat suami Yuliati harus bolak-balik dari rumah ke pengungsian setiap dua hari sekali untuk mencari tahu materi apa yang disampaikan guru melalui pesan singkat di ponsel tetangganya.
Kepala Desa Banyurojo Iksan Maksum mengatakan, pada erupsi 2010, pendidikan anak-anak yang mesti mengungsi bisa diikutkan ke sekolah sekitar. Namun, kegiatan belajar mengajar di sekolah-sekolah di Banyurojo saat ini juga dihentikan karena pagebluk.
”Dengan terpaksa, anak-anak yang usia taman kanak-kanak dan sekolah dasar diliburkan. Adapun yang usia sekolah menengah mengikuti pelajaran melalui internet,” kata Iksan.
Bersyukur, ada banyak komunitas yang setiap hari menyelenggarakan pemulihan trauma bagi anak-anak yang mengungsi di Banyurojo. ”Separuh pengungsi di sini adalah anak-anak. Maka, kegiatan pemulihan trauma dan bermain sangat penting untuk menjaga semangat dan keceriaan mereka,” ucap Iksan.
Beberapa waktu lalu, Bupati Magelang Zaenal Arifin berkomitmen, pihaknya akan menyiapkan semua pelayanan terhadap pengungsi, termasuk pendidikan. ”Kami akan siapkan layanan pendidikan berikut pemulihan trauma untuk menghibur anak-anak,” kata Zaenal.
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Magelang Aziz Amin Mujahidin mengatakan, pihaknya telah menyiapkan sejumlah petugas untuk memberikan pelayanan pendidikan, termasuk mendampingi kegiatan belajar anak-anak di pengungsian. Dalam sehari, setidaknya ada dua guru yang bersiap memberikan pelayanan pendidikan di setiap lokasi pengungsian.
Dinas pendidikan telah menyiapkan sejumlah petugas untuk memberikan pelayanan pendidikan, termasuk mendampingi kegiatan belajar anak-anak di pengungsian.
”Guru-guru tersebut bertugas menemani siswa belajar dan memberikan penjelasan apabila siswa mengalami kesulitan. Guru yang bertugas di pengungsian ini adalah guru yang sehari-hari mengajar di sekolah yang berada di lingkungan pengungsian,” tutur Aziz.
Dia menambahkan, saat ini pihaknya juga tengah mengkaji kondisi sejumlah titik pengungsian. Di pengungsian yang masih memiliki tempat kosong akan dibuat tempat tersendiri yang dikhususkan untuk kegiatan belajar.
”Kalau misalnya tempat pengungsiannya kecil dan sudah tidak ada tempat, pelayanan pendidikannya kami pusatkan di balai desa terdekat dari lokasi pengungsian,” ucapnya.
Walau dalam situasi sulit, pendidikan anak-anak pengungsi di lereng Gunung Merapi mesti tetap diperhatikan. Terlebih, tak ada yang tahu sampai kapan warga akan mengungsi. Jangan sampai masa mengungsi justru semakin membenamkan semangat mereka belajar.