Duradin sudah menjadi guru honorer selama 31 tahun. Rambutnya kini memutih dan kulitnya keriput. Banyak yang berubah signifikan, kecuali kesejahteraannya.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri
·4 menit baca
Tiga puluh satu tahun sudah Duradin (51) menjadi guru honorer. Selama itu pula, pahlawan tanpa tanda jasa tersebut banting tulang mendidik generasi penerus sekaligus menyambung hidup keluarganya. Anak didiknya banyak yang mengecap sukses. Namun, sejahtera itu masih saja sulit didapatkan Duradin.
Sejak 18 Juli 1989, Duradin menjadi guru honorer di sejumlah sekolah dasar di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Rambutnya kini memutih. Kulitnya keriput. Banyak yang berubah signifikan, kecuali kesejahteraannya.
Gaji pertama saya Rp 3.500 per bulan. Sekarang, sudah Rp 400.000. (Duradin)
”Gaji pertama saya Rp 3.500 per bulan. Sekarang, sudah Rp 400.000,” kata guru SDN 1 Kaliwulu ini saat ditemui, Jumat (20/11/2020). Artinya, selama tiga dekade mendidik, rata-rata kenaikan gajinya hanya Rp 13.216 per tahun. Jumlah itu setara dengan segelas kopi di kafe atau justru lebih murah.
Dari dulu sampai sekarang, ia setia mengayuh sepeda bututnya beberapa kilometer demi mengajar. Pernah, ia jalan kaki karena tidak punya uang untuk menambal ban sepedanya. Ia jatuh pingsan di jalan. Jahitan luka di pelipis mata kirinya masih membekas.
Bapak tiga anak dan empat cucu ini sadar, secara hitungan matematika, gajinya tidak akan cukup menghidupi keluarganya. Apalagi, sawah orangtuanya seluas 0,7 hektar sudah dijual. Kadang, ia pergi ke acara bancakan demi mendapatkan makanan gratis.
Duradin pernah membuka usaha mebel pada 1996. Namun, bangkrut pada 2005. Bahan baku mahal dan penjualan seret jadi penyebabnya. Kini, ia kadang mengecat, memperbaiki genteng sekolah, apa saja. Syaratnya, pekerjaan itu tidak mengganggu tugas utamanya sebagai guru. Naluri sebagai pendidik sulit hilang.
Setiap pekan, ia mengajar 24 jam. Jam ajar itu sama dengan guru berstatus aparatur sipil negara yang gajinya bisa 10 kali lipat lebih tinggi darinya. Bahkan, alumnus Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah IAIN Syekh Nurjati Cirebon ini kadang mengajar 28 jam per pekan.
Segala upaya ia lakukan untuk menjadi ASN demi meningkatkan kesejahteraan. Mulai dari tes calon pegawai negeri sipil 13 kali hingga tidur di jalan raya Ibu Kota saat berunjuk rasa. Namun, status ASN masih sebatas impian.
Ia juga kuliah. Dengan bantuan beasiswa Kementerian Agama dan hutang ke kerabat, lulusan Pendidikan Guru Agama Cirebon (dulu setara SMA) ini mampu sarjana dengan indeks prestasi kumulatif 3,29. ”Sebagai mahasiswa, saya lebih tua dari dosennya,” ucapnya diiringi tawa.
Menurut Duradin, banyak rekannya menunggu diangkat sebagai ASN hingga menutup usia. Banyak juga yang mengundurkan diri. ”Pernah ada yang bunuh diri dengan menabrak kereta api karena stres jadi guru honorer,” katanya.
Duradin mengaku pernah ingin berhenti sebagai guru honorer. Apalagi, banyak yang bilang, pekerjaan tersebut tidak ada uangnya. Namun, ia bergeming dan berjanji tetap menjadi pendidik hingga usianya berakhir.
”Sebagai guru, ada perasaan bahagia saat tahu murid saya berhasil. Ada yang jadi tentara, PNS, dan dokter. Kalau ketemu, mereka masih cium tangan,” katanya.
Duradin hanyalah satu dari 6.078 guru dan tenaga kependidikan honorer di Cirebon berdasarkan data dinas pendidikan setempat. Jumlah itu hampir sama dengan guru ASN yang mencapai 7.837 orang.
Organisasi Pejuang Pendidikan Seluruh Indonesia (PPSI) Cirebon mencatat, sebanyak 7.128 guru dan tenaga kependidikan berstatus honorer di Cirebon. Tiga tahun lalu, jumlahnya 6.677 orang. Bahkan, di sejumlah satuan pendidikan, hanya kepala sekolah yang ASN. Selebihnya, honorer.
”Artinya, guru honorer dibutuhkan. Pengakuan terhadap kami besar, tapi pendapatannya kecil. Kami hanya bisa tersenyum kalau ditanya soal gaji,” ujar Ketua Umum PPSI Cirebon Sholeh Abdul Ghofur (36).
Pihaknya mencatat, gaji guru dan tenaga kependidikan honorer di Cirebon rata-rata Rp 300.000 per bulan. Jauh di bawah upah minimum Cirebon, yakni lebih dari Rp 2,19 juta per bulan.
Itu sebabnya, menurut Sholeh, sebagian besar guru honorer dituntut kreatif mencari sumber penghasilan lain tanpa mengganggu kegiatan belajar mengajar. Solusi meningkatkan kesejahteraan guru honorer, katanya, dengan pengangkatan sebagai ASN atau pemberian insentif.
Selama 12 tahun menjadi guru honorer, baru tahun lalu, ia menerima insentif dari Pemkab Cirebon sebesar Rp 100.000 per bulan. Itu pun tidak rutin dicairkan. ”Jumlah yang kami terima juga tidak sebesar itu karena harus dibagi dengan rekan. Sebab, ada yang tidak terdaftar sebagai penerima di disdik,” katanya.
Angin segar muncul saat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berencana merekrut 1 juta guru honorer sebagai ASN melalui mekanisme pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) tahun depan (Kompas, 17/11/2020). ”Semoga ini ada regulasinya, bukan hanya ucapan lisan. Jangan sampai PHP (pemberi harapan palsu) lagi. Itu sudah biasa bagi kami,” katanya.
Sekretaris Disdik Kabupaten Cirebon Pahim belum mengetahui rencana perekrutan tersebut. Namun, pihaknya berharap, pemerintah pusat dapat mengangkat seluruh guru dan tenaga kependidikan honorer di Cirebon sebagai ASN. ”Untuk seleksi, kami menyerahkan kepada yang bersangkutan. Dinas tidak sampai memberikan pelatihan,” ujarnya.
Pihaknya menjanjikan insentif Rp 700.000 per bulan untuk guru dan tenaga kependidikan honorer. ”Aturannya dalam bentuk keputusan bupati atau peraturan bupati lagi disiapkan, dibahas. Tetapi, kemungkinan (berlaku) anggaran pendapatan dan belanja daerah perubahan 2021 jika uangnya ada,” ungkapnya.
Di tengah ketidakpastian soal kesejahteraan guru honorer, Duradin dan rekan lainnya tetap setia mendidik. Harapannya, membangun generasi bangsa yang terdidik meski tertatih.