Kisah Khairol, Pekerja Kapal China yang Akhirnya Pulang
Dua tahun bekerja sebagai buruh di kapal ikan China, Khairol Aman (20), Aulia Zikrul (20), dan Aizin Basir (20) akhirnya pulang ke Aceh. Mereka ditipu oleh perusahaan agen dan diperlakukan tak baik di kapal.
Oleh
ZULKARNAINI
·5 menit baca
Penantian panjang Jumaini Suryawati (42) dan Iran Fajri (42) untuk bertemu anaknya, Khairol Aman (20), akhirnya terwujud. Pasangan itu tak kuasa menahan tangis melihat anaknya di depannya. Jumaini tidak mampu berkata banyak. Tubuh Khairol dipeluk erat dan matanya sembab.
”Kami berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu pemulangan anak-anak,” ujar Jumaini.
Dua tahun bekerja sebagai buruh di kapal ikan China, Khairol Aman (20) bersama Aulia Zikrul (20), dan Aizin Basir (20) akhirnya pulang ke Aceh. Setelah menempuh perjalanan panjang dari Peru, Amerika Selatan, akhirnya ketiga pemuda itu mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, Senin (23/11/2020). Kepulangan mereka disambut tangis dan bahagia.
Sebelumnya mereka telah ditipu oleh perusahaan agen penyalur tenaga kerja di kapal dan diperlakukan tak baik di kapal. Cerita ini menambah daftar panjang buruknya nasib anak buah kapal (ABK) Indonesia di kapal ikan asing.
Pemulangan tiga ABK itu difasilitasi oleh Unit Pelayanan Teknis Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UPT BP2MI) Banda Aceh dan Kedutaan Besar Indonesia di Peru.
Khairol Aman, Aulia Zikrul, dan Aizin Basir mulai menjadi pekerja migran di kapal ikan China pada Oktober 2018. Mereka bergabung sesaat setelah menamatkan sekolah perikanan di Ladong, Aceh Besar, setara dengan sekolah menengah atas.
Mereka direkrut oleh perusahaan agen penyedia tenaga kerja Indonesia. Saat mereka wisuda kelulusan, direktur perusahaan itu hadir ke sekolah. Anak-anak muda itu mendapat tawaran bekerja di kapal asing dengan gaji 350 dollar AS atau Rp 4,9 juta dengan kurs Rp 14.000.
Bagi Khairol, Aulia, dan Aizin, tawaran bekerja di kapal asing adalah peluang baik. Mereka senang di saat orang lain susah cari pekerjaan, begitu lulus mereka langsung mendapatkan pekerjaan. Ini adalah pengalaman pertama mereka bekerja dan langsung dikontrak selama dua tahun.
Kami berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu pemulangan anak-anak.
Mereka tidak tahu prosedur untuk menjadi pekerja di luar negeri. Alhasil, mereka berangkat tanpa melapor ke Dinas Tenaga Kerja dan UPT BP2MI Banda Aceh.
”Kami berangkat ilegal, saya tidak tahu harus melapor dulu,” kata Khairol saat ditemui di rumahnya di Desa Lamreung, Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh besar, Rabu (25/11/2020).
Dari Banda Aceh, mereka terbang ke Jakarta kemudian lanjut ke Korea Selatan. Di Korsel, mereka naik ke kapal ikan bernama Lu Lan Yuan Yu 088. Kapal itu berlayar dari Korea menuju Peru. Saat melintasi perairan Indonesia antara Batam dan Singapura, Khairol sempat menelepon ibunya. Itulah komunikasi terakhir dengan keluarga.
Di kapal Lu Lan Yuan Yu 088, Khairol, Aulia, dan Aizin bekerja sebagai buruh. Mereka bertugas memancing cumi-cumi. Bersama mereka, ada enam ABK dari Papua, Ambon, dan Medan. Mayoritas ABK warga China.
”Kami bekerja sehari 18 jam, hanya diberikan waktu tidur 6 jam. Selama dua tahun itu kami tidak boleh libur sehari pun,” kata Khairol.
Khairol pernah ditendang dan dipukuli karena terlambat bekerja beberapa menit. Dia juga pernah dipaksa bekerja meski saat itu dia sedang demam tinggi. ”Kami diperlakukan tidak manusiawi,” ujar Khairol.
Selama di kapal, Khairol dan ABK Indonesia tidak diizinkan menggunakan telepon satelit untuk menghubungi keluarga. Saban hari lauk makanan para ABK daging babi. Sebagai Muslim, Khairol tidak mau makan babi karena dilarang agama. Selama dua tahun mereka hanya makan nasi dan sayur. Hanya sesekali mereka mendapat ikan. ”Itu kalau kaptennya baik. Saya pernah berantem dengan koki karena tidak dikasih masak cumi,” kata Khairol.
Selama dua tahun tidak sekalipun kapal-kapal itu merapat ke pelabuhan. Selama dua tahun pula, para ABK tidak melihat daratan. Cumi-cumi hasil tangkapan dimuat ke kapal lain. Kebutuhan logistik juga dipasok oleh kapal khusus.
Selama dua tahun pula, para ABK tidak melihat daratan.
Sementara di Aceh, Jumaini gelisah sebab berbulan-bulan tak ada kabar tentang Khairol. Sekitar setahun Khairol bekerja, Jumaini mendapatkan informasi bahwa perusahaan agen yang merekrut anaknya bermasalah. Direkturnya jadi buronan polisi karena menipu para ABK. Jumaini semakin gelisah. Dia khawatir akan keselamatan anaknya. ”Saya ingin anak pulang, tidak perlu uang,” ujar Jumaini sambil menangis saat ditemui Kompas, Rabu (16/9/2020).
Ternyata perusahaan agen tidak membayar gaji Khairol dan dua temannya. Saat perusahaan agen diberitakan bermasalah, perusahaan pemilik kapal tidak lagi membayar gaji ABK melalui agen. Gaji mereka ditahan oleh perusahaan kapal dan baru dibayarkan saat kontrak kerja berakhir. Namun, yang dibayar hanya 12 bulan, sekitar Rp 53 juta dipotong kas bon, dan potongan lainnya. Sementara 12 bulan lagi sudah lebih dulu dibayar ke perusahaan hingga kini tidak sampai kepada mereka.
Saat masa kontrak berakhir pada Oktober 2020, pihak kapal awalnya tidak mau memulangkan. Mereka ditawarkan perpanjang kontrak delapan bulan. Namun, tawaran itu ditolak. Akibatnya, selama 15 hari Khairol dan kawannya tidak diberikan makan. Mereka bertahan hidup di kapal dengan memakan roti dan belas kasih dari ABK lain.
”Ke depan saya rencana mau buka usaha saja. Tidak mau lagi kerja di kapal asing,” ujar Khairol.
Kepala UPT BP2MI Banda Aceh Jaka Prasetiyono mengatakan, penipuan terhadap pekerja migran ilegal kerap terjadi. Para pekerja dijanjikan pekerjaan enak dan gaji tinggi, tetapi ternyata diperdagangkan.
Sejak 2018 hingga Agustus 2020, jumlah tenaga kerja migran asal Aceh yang bermasalah dan dipulangkan mencapai 628 orang. Sebanyak 36 orang di antaranya meninggal. Bahkan, pada Juli 2020, dua pekerja migran asal Aceh meninggal di dalam kapal ikan China dan jenazahnya diselundupkan melalui Batam, Kepulauan Riau.
”Pergi jalur legal saja bisa ditipu, apalagi jalur ilegal,” kata Jaka.
Jaka meminta kepada calon pekerja migran agar menembuh jalur resmi supaya jika ada kasus mudah diadvokasi. Selain itu, keluarga juga lebih tenang.
Jumaini kini pun kini berlega hati karena anaknya akhirnya pulang.