Lelang sepatu daring berujung bui. Masyarakat diharapkan berhati-hati dalam menjalankan transaksi secara daring.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri
·4 menit baca
Awal 2021 menjadi kelabu bagi pria berinisial JSP (33) asal Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Gara-gara lelang sepatu secara daring, ia harus mendekam di hotel prodeo alias penjara. Ia diduga menipu ratusan pembeli di sejumlah provinsi.
Mengenakan baju oranye tahanan dengan tangan terborgol, JSP hanya bisa menunduk di Markas Kepolisian Resor Kota Cirebon, Kamis (31/12/2020). Mulutnya yang ditutup masker, bungkam. Warga asal Lemahabang itu melewati malam pergantian tahun di dalam jeruji besi.
JSP ditangkap polisi setelah 21 warga, yang kebanyakan mahasiswa, melaporkannya atas dugaan penipuan lelang sepatu. Peristiwa itu terjadi dalam rentang waktu Agustus hingga Desember tahun lalu. Polisi juga menerima tiga laporan serupa.
Kepala Polresta Cirebon Komisaris Besar M Syahduddi mengatakan, tersangka menggunakan akun Instagram @kodachi_cirebon yang diikuti lebih dari 5.000 akun untuk menipu korbannya. Akun yang belum memiliki centang biru atau terverifikasi itu telah mengunggah lebih dari 8.600 foto.
Akun tersebut bersifat pribadi sehingga unggahannya hanya bisa dilihat jika permintaan untuk mengikuti akun diterima. Hingga kini, akun itu hanya mengikuti dua akun.
Dalam menjalankan aksinya, tersangka menuliskan di akunnya tentang penjualan sepatu merek Compass dengan lelang kilat 30 menit dengan kelipatan Rp 25.000. Siapa pun yang ikut harus mengisi kolom komentar.
Setelah setengah jam, tersangka mengumumkan pemenang lelang dengan tawaran tertinggi di story Instagram-nya. Kemudian, tersangka mengirimkan pesan langsung kepada korbannya untuk transfer uang ke rekeningnya. Tersangka menjanjikan sepatu datang dua hingga tiga pekan setelah transaksi.
”Akan tetapi, sepatu itu tidak dikirimkan. Padahal, dalam sehari, minimal sepuluh sepatu dilelang,” ujarnya. Atas kejadian tersebut, korban mengalami kerugian lebih dari Rp 27 juta. Namun, gerakan JSP yang mengaku pemain tunggal ternyata bukan itu saja.
Ternyata, setelah didalami, JSP sudah beraksi sejak 2018. ”Korbannya sekitar 400 orang dan berasal dari hampir semua provinsi, kecuali Aceh, Papua, Ambon, dan Maluku. Kerugian korban diperkirakan Rp 800 juta,” ungkapnya.
Hasil dari tindakannya digunakan untuk keperluan pribadi. Misalnya, membeli kulkas satu pintu, satu set speaker, dan televisi hitam 32 inci. Penipuan secara daring ini, lanjut Syahduddi, adalah terbesar yang pernah ditangani Polresta Cirebon.
Benar atau tidak pernyataannya, pengadilan akan membuktikannya. Namun, yang pasti, JSP kehilangan pekerjaannya sebagai event organizer (pengelola acara) selama pandemi Covid-19. Wabah menyebabkan berbagai acara konser hingga pameran batal digelar.
Korbannya sekitar 400 orang dan berasal dari hampir semua provinsi kecuali Aceh, Papua, Ambon, dan Maluku. Kerugian korban diperkirakan Rp 800 juta.
Sangat diburu
JSP mengakui melelang sepatu bermerek lokal karena sangat diburu pembeli. Sepatu yang diproduksi terbatas itu bahkan bisa habis dalam lima menit. Seorang korbannya rela membeli sepatu hingga Rp 25 juta.
Padahal, di akun resminya, sepatu Compass dijual seharga ratusan ribu rupiah. Pembeliannya pun dibatasi di aplikasi Tokopedia. Satu akun Tokopedia hanya bisa membeli satu produk dalam satu kali checkout. Akun yang sama juga hanya bisa melakukan maksimal dua kali transaksi.
Penjualan sepatu secara eksklusif itu membuat orang-orang berebut. Sebagai gambaran, ajang Jakarta Sneaker Day pada awal 2019, misalnya, dikunjungi 24.000 orang. Padahal, saat kali pertama digelar pada 2017, hanya 15.000 orang. Transaksinya pun lebih dari Rp 20 miliar (Kompas, 24/2/2019).
Tidak mengherankan jika ada yang menjual kembali sepatu itu dengan harga selangit. Sayangnya, ada yang memanfaatkannya untuk menipu, seperti JSP.
Penggiat ekonomi digital Cirebon, Agus Gineer, mengatakan, ada beberapa cara mengantisipasi penipuan online. Pertama, konsumen dapat mengecek jejak digital akun toko dengan memasukkan nama toko atau nomor teleponnya ditambah kata ”penipu” ke Google. Jika ada informasi terkait itu, akun toko tersebut berpotensi menipu konsumen.
Selanjutnya, konsumen lebih baik belanja daring di kanal perdagangan secara elektronik atau e-commerce dibandingkan dengan transaksi secara langsung kepada penjual. Konsumen juga bisa mengecek data akun toko di bagian tentang akun. ”Jika akun pernah berganti nama beberapa kali, konsumen patut curiga,” katanya.
Agus juga mendorong akun media sosial yang menjadi kanal jualan online untuk lebih ketat. ”Di tempat saya, misalnya, yang mau jualan harus menyerahkan KTP (kartu tanda penduduk), NPWP (nomor pokok wajib pajak), dan alamatnya. Ini untuk mencegah penipuan,” kata Agus yang juga pendiri @About Cirebon, kanal digital tentang informasi bisnis, wisata, dan komunitas di Cirebon.
Jaminan keamanan sangat dibutuhkan dalam berbelanja daring. Apalagi, saat ini, masa pandemi Covid-19 mendorong warga untuk mengurangi mobilitas dan kontak fisik. Jangan sampai konsumen masuk dalam jebakan penipu di masa sulit ini.