Kerusakan Lingkungan Picu Banjir Besar di Kalsel
Banjir besar di Kalimantan Selatan tidak sepenuhnya disebabkan hujan ekstrem, tetapi juga dipicu oleh kerusakan lingkungan di sepanjang daerah aliran sungai. Pemulihan lingkungan mendesak dilakukan.
BANJARMASIN, KOMPAS — Banjir di Kalimantan Selatan belum juga surut. Selain curah hujan tinggi, banjir juga dipicu kerusakan lingkungan akibat masifnya alih fungsi lahan.
Banjir hingga ketinggian lebih dari 1 meter terjadi di wilayah Martapura, Kabupaten Banjar, Kalsel, hampir sebulan terakhir. Sebagian warga masih mengungsi, salah satunya di posko Masjid Agung Al-Karomah. Hujan deras membuat Sungai Martapura meluap dan menggenangi sekitarnya.
Kasnadi (64), warga Teluk Selong, Martapura Barat, Selasa (19/1/2021), mengaku mengungsi di posko Masjid Agung Al-Karomah sejak pekan lalu. Seumur hidup tinggal di kampungnya, banjir kali ini merupakan yang terparah. Banjir pernah terjadi pada 1996, tetapi tak separah sekarang.
”Hutan di hulu sana, kan, sudah tidak ada, jadi sudah pantas kalau hujan berhari-hari airnya tidak tertahan dan mengalir seperti air bah ke sungai-sungai di sini,” kata Kasnadi.
Banjir juga terjadi hampir di sepanjang daerah aliran Sungai Barito. Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan MR Karliansyah menyatakan, dari hasil evaluasi, kondisi infrastruktur ekologis, yaitu jasa lingkungan pengatur air, sudah tidak memadai. Akibatnya, sungai tidak mampu lagi menampung aliran air masuk.
Sungai Amandit, Sungai Balangan, dan Sungai Martapura yang saat ini meluap merupakan bagian dari sistem Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito yang melintas di empat provinsi. Total luasan DAS Barito ini mencapai 6,2 juta hektar (ha), meliputi 4,4 juta ha di Kalimantan Tengah, 1,8 juta ha di Kalsel, 8.000 ha di Kalimantan Timur, dan 590 ha di Kalimantan Barat.
Menurut Karliansyah, proporsi luas areal hutan di DAS Barito hanya 18,2 persen, dengan 15 persen merupakan hutan alam dan sisanya 3,2 persen hutan tanaman. Proporsi areal tidak berhutan sebesar 81,8 persen didominasi pertanian lahan kering campur semak sebesar 21,4 persen, sawah 17,8 persen, dan perkebunan 13 persen.
Penurunan tutupan hutan di Kalsel selama periode 1990-2019 mencapai 62,8 persen. ”Penurunan hutan terbesar terjadi pada tahun 1990-2000, yaitu sebesar 55,5 persen,” katanya.
Proporsi luas areal hutan di DAS Barito hanya 18,2 persen, dengan 15 persen merupakan hutan alam dan sisanya 3,2 persen hutan tanaman. Proporsi areal tidak berhutan sebesar 81,8 persen didominasi pertanian lahan kering campur semak sebesar 21,4 persen, sawah 17,8 persen, dan perkebunan 13 persen.
Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Belinda Arunarwati Margono mengatakan, penurunan tutupan hutan di Kalsel paling tinggi terjadi pada tahun 1990-2003 dan 2006-2009.
”Setelahnya relatif landai. Namun, khusus untuk DAS Barito, tutupan hutan sebenarnya masih cukup tinggi, di mana bagian hulunya terdapat 15,4 persen bukan hutan,” katanya.
Baca juga : Jokowi Minta Infrastruktur yang Rusak karena Banjir Diperbaiki Segera
Selain bukaan lahan, menurut Karliansyah, di tiga wilayah yang paling terdampak banjir, yaitu Kotabaru, Tanah Laut, dan Tanah Bumbu, juga terdapat pertambangan. Di Kotabaru luasannya 17.564 ha, Tanah Laut 19.598 ha, dan Tanah Bumbu 29.674 ha. ”Kami juga mencatat adanya 30.727 ha bekas tambang telantar,” katanya.
Banjir kali ini juga dipicu hujan esktrem, mencapai 8-9 kali lipat curah hujan normal. ”Volume air hujan masuk Sungai Barito sebanyak 2,08 miliar meter kubik, padahal kapasitas sungai kondisi normal 238 juta meter kubik,” katanya.
Faktor lain, daerah banjir berada pada pertemuan dua anak sungai yang cekung dan morfologinya merupakan meander dan tekuk lereng sehingga terjadi akumulasi air dengan volume besar. ”Kami juga melihat beda tinggi hulu-hilir sangat besar sehingga suplai air dari hulu dengan volume besar menyebabkan waktu konsetrasi air berlangsung cepat dan menggenangi dataran banjir,” kata Karliansyah.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan Kisworo Dwi Cahyono juga menilai, kerusakan lingkungan menjadi penyebab bencana banjir. ”Kalsel dijuluki wilayah 1.000 sungai, tetapi apa pernah dihitung jumlahnya sampai sekarang masih segitu atau tidak? Pasti tidak karena di hulu-hulu sungai sudah hancur oleh tambang, di hilir yang merupakan ekosistem gambut ’dihajar’ perkebunan sawit,” katanya.
Data yang dikumpulkan tim Save Our Borneo (SOB), setidaknya terdapat 1,7 juta hektar konsesi pertambangan di Kalsel, 488.000 hektar konsesi perkebunan kelapa sawit, dan 780.000 hektar konsesi hak pengusahaan hutan (HPH) Kalsel. Semua itu merupakan izin yang sudah operasionalisasi ataupun yang belum beroperasi.
Menurut Kisworo, negara harus bertanggung jawab atas banjir besar di Kalsel. Pemerintah perlu fokus pada penanganan banjir dan evakuasi korban. Masih banyak warga yang mengungsi mandiri dan belum mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Baca juga : Banjir dan Deforestasi di Kalteng yang Tak Berhenti
Dalam konferensi pers pada Selasa pagi, Sekretaris Daerah Provinsi Kalsel Roy Rizal mengungkapkan, banjir terjadi lantaran luapan sungai yang tidak mampu menahan debit air yang terlampau besar. Banjir serupa disebutkan pernah terjadi pada tahun 1928 di daerah tangkapan air Barabai.
”Kondisi seperti ini mungkin merupakan periode ulang 100 tahunan. Ini akan menjadi dasar untuk pembangunan DAM yang akan kami bangun di Kalsel nanti,” kata Roy.
Banjir, tambah Roy, juga terjadi karena adanya lereng sehingga akumulasi air terbentuk dalam jumlah yang sangat besar. Lokasi yang terdampak banjir merupakan wilayah rendah, meliputi Kabupaten Tapin, Banjar, Hulu Sungai Tengah, Balangan, Tabalong, Hulu Sungai Selatan, Batola, serta Kota Banjar Baru, Tanah Laut, dan Banjarmasin.
”Perizinan (kebun dan tambang) belum terlihat sebagai faktor utama, sedang kami pelajari. Sebab, banyak pada area penggunaan lain bukan wilayah hutan,” kata Roy.
Perizinan tambang secara luas, menurut Roy, juga hanya 37.000 hektar dari area izin sebesar 55.000 hektar sejak 2008, termasuk yang milik warga mencapai 108.000 hektar.
”Dalam konsultasi publik, terdapat sekitar 168 lubang tambang di sekitar Sungai Barito. Ini sedang disiapkan perpresnya untuk penanganan pascatambang,” kata Roy.
Wilayah lain
Banjir juga masih terjadi di Kabupaten Bengkayang, Sambas, dan Sanggau, Kalimantan Barat. Bantuan sembako disalurkan kepada ribuan keluarga terdampak banjir.
Di Halmahera Utara, Maluku Utara, banjir yang menggenangi 13 desa pada lima kecamatan beberapa hari terakhir, kemarin mulai surut. Sebanyak 1.437 jiwa masih mengungsi pada malam hari.
Sekretaris Daerah Halmahera Utara Yudhihart Noya menuturkan, tidak ada korbann jiwa dalam bencana banjir. Namun, kerugian yang ditimbulkan akibat banjir diperkirakan mencapai Rp 9,85 miliar.
Di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, ribuan rumah di tiga desa masih terendam banjir dengan ketinggian air hingga 80 sentimeter. Pemerintah Kabupaten Sidoarjo pun menetapkan status tanggap darurat bencana banjir.
Tanggap darurat juga ditetapkan Pemkab Cirebon, Jawa Barat. Banjir hingga ketinggian 1 meter berlangsung sejak Minggu, merendam 5.352 rumah dan ratusan hektar sawah. Sejumlah 21.199 warga terdampak, 114 di antaranya mengungsi.
Banjir dengan ketinggian hingga 1 meter juga terjadi di Kota Pekalongan, Kabupaten Batang, dan Pemalang, Jawa Tengah. Akibatnya, ribuan rumah terendam dan ratusan warga terpaksa mengungsi di sejumlah titik pengungsian. (ESA/FRN/NIK/XTI/IKI)