Terbitkan Pergub Larang Demonstrasi di Malioboro, Sultan HB X Disomasi
Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X menerbitkan aturan yang melarang demonstrasi di sejumlah lokasi, termasuk kawasan Malioboro. Elemen masyarakat sipil di DIY memprotes aturan itu dan mengirim somasi ke Sultan HB X.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·6 menit baca
KOMPAS/HARIS FIRDAUS
Massa yang tergabung dalam Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) Daerah Istimewa Yogyakarta melakukan demonstrasi di depan kantor Gubernur DIY, Kota Yogyakarta, Kamis (8/10/2020). Dalam aksi itu, MPBI DIY menyuarakan penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja.
YOGYAKARTA, KOMPAS — Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X menerbitkan peraturan gubernur yang melarang penyelenggaraan demonstrasi di sejumlah lokasi di Yogyakarta, termasuk kawasan Malioboro. Sejumlah elemen masyarakat sipil memprotesnya dan melayangkan somasi kepada Sultan HB X karena aturan tersebut dinilai mencederai hak kemerdekaan berpendapat di DIY.
Larangan penyelenggaraan demonstrasi di beberapa lokasi itu tercantum dalam Peraturan Gubernur DIY Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum pada Ruang Terbuka. Pergub itu ditandatangani Sultan HB X pada 4 Januari 2021.
Salah satu poin yang diatur dalam pergub itu adalah lokasi demonstrasi atau penyampaian pendapat di muka umum. Pasal 5 pergub itu menyatakan, penyampaian pendapat di muka umum dilaksanakan di ruang terbuka sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali di kawasan Istana Negara Gedung Agung, Keraton Yogyakarta, Kadipaten Pakualaman, kawasan Kotagede, dan kawasan Malioboro.
Pergub itu juga menyebut, penyampaian pendapat di muka umum atau demonstrasi hanya bisa dilakukan dengan radius 500 meter dari pagar atau titik terluar lima kawasan tersebut. Larangan berdemonstrasi di lima lokasi tersebut mulai berlaku sejak Pergub DIY Nomor 1 Tahun 2021 diundangkan atau pada 4 Januari 2021.
Kepala Biro Hukum Sekretariat Daerah DIY Dewo Isnu Broto memberi keterangan kepada wartawan, Rabu (20/1/2021), di kompleks kantor Gubernur DIY, Kota Yogyakarta.
Kepala Biro Hukum Sekretariat Daerah DIY Dewo Isnu Broto mengatakan, Pergub DIY Nomor 1 Tahun 2021 diterbitkan sebagai tindak lanjut terhadap Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum serta sejumlah aturan turunannya.
Aturan turunan dari UU No 9 Tahun 1998 itu adalah Keputusan Presiden Nomor 63 Tahun 2004 tentang Pengamanan Obyek Vital Nasional serta Keputusan Menteri Pariwisata Nomor KM.70/UM.001/MP/2016 tentang Penetapan Obyek Vital Nasional di Sektor Pariwisata.
Sesuai dengan Pasal 9 Ayat (2) UU No 9 Tahun 1998, penyampaian pendapat di muka umum tidak boleh dilakukan di obyek vital nasional.
Dewo memaparkan, dalam Keputusan Menteri Pariwisata Nomor KM.70/UM.001/MP/2016, ada enam kawasan di DIY yang ditetapkan sebagai obyek vital nasional di sektor pariwisata. Enam kawasan itu adalah kawasan Benteng Vredeburg, Istana Negara Gedung Agung, kawasan Kotagede, Keraton Yogyakarta, Puro Pakualaman, dan kawasan Malioboro.
Dewo menyatakan, sesuai dengan Pasal 9 Ayat (2) UU No 9 Tahun 1998, penyampaian pendapat di muka umum tidak boleh dilakukan di obyek vital nasional. Berdasarkan bagian penjelasan Pasal 9 Ayat (2) UU No 9 Tahun 1998, demonstrasi hanya boleh dilakukan dalam radius 500 meter dari pagar luar obyek vital nasional.
KOMPAS/HARIS FIRDAUS
Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Forum Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Daerah Istimewa Yogyakarta berjalan kaki menuju Gedung DPRD DIY, Kota Yogyakarta, Senin (30/9/2019), untuk melakukan unjuk rasa. Dalam aksi itu, mahasiswa menyuarakan sejumlah aspirasi, antara lain menuntut Presiden Joko Widodo menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk membatalkan UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi.
Berdasarkan berbagai aturan itu, Pemerintah Daerah (Pemda) DIY kemudian menerbitkan pergub yang mengatur larangan demonstrasi di Istana Negara Gedung Agung, Keraton Yogyakarta, Kadipaten Pakualaman, kawasan Kotagede, dan kawasan Malioboro. ”Pergub ini sebenarnya menindaklanjuti undang-undang, keppres, dan keputusan menteri pariwisata,” ujar Dewo.
Dewo juga menyebut, tanpa adanya Pergub DIY No 1 Tahun 2021, penyelenggaraan demonstrasi di Istana Negara Gedung Agung, Keraton Yogyakarta, Kadipaten Pakualaman, kawasan Kotagede, dan kawasan Malioboro sebenarnya tetap tidak boleh dilakukan. Hal ini karena lima kawasan tersebut sudah ditetapkan sebagai obyek vital nasional. ”Ada atau tidaknya pergub itu, ketentuan ini sebetulnya sudah berlaku,” katanya.
Kantor Gubernur dan DPRD
Meski begitu, sebelum adanya Pergub DIY No 1 Tahun 2021, demonstrasi tetap sering dilakukan di beberapa kawasan yang ditetapkan sebagai obyek vital nasional itu, misalnya kawasan Malioboro dan Istana Negara Gedung Agung. Apalagi, kantor Gubernur DIY dan Gedung DPRD DIY juga berlokasi di kawasan Malioboro.
Dewo menuturkan, apabila ada pihak tertentu yang ingin menyampaikan pendapat kepada Pemda DIY atau DPRD DIY, mereka bisa mengirim perwakilan untuk datang ke kantor Gubernur DIY atau Gedung DPRD DIY. Namun, mereka tidak boleh mengadakan demonstrasi di kantor Gubernur DIY atau Gedung DPRD DIY.
Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Forum Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Daerah Istimewa Yogyakarta menggelar demonstrasi di Gedung DPRD DIY, Kota Yogyakarta, Senin (30/9/2019).
”Demonstrasinya tetap di luar kawasan (obyek vital nasional), tapi untuk menyampaikan aspirasi, perwakilan bisa datang ke kantor gubernur atau DPRD. Itu boleh dilakukan karena kami tidak pernah melarang hak menyampaikan pendapat karena itu bagian dari demokrasi dan hak asasi,” ungkap Dewo.
Dewo juga membantah penerbitan Pergub DIY No 1 Tahun 2021 merupakan reaksi terhadap demonstrasi menolak Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja di Gedung DPRD DIY yang berujung kericuhan pada 8 Oktober 2020. Dalam peristiwa itu, sejumlah kendaraan dan fasilitas di Gedung DPRD DIY mengalami kerusakan. Selain itu, sebuah restoran di samping Gedung DPRD DIY juga terbakar.
”Mengapa baru sekarang pergub ini diterbitkan? Karena banyak hal yang harus kami pertimbangkan,” tutur Dewo.
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
Dua sepeda motor rusak tergeletak usai kericuhan yang terjadi dalam aksi unjuk rasa penolakan pengesahan RUU Cipta Kerja di halaman Gedung DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta di kawasan Malioboro, Yogyakarta, Kamis (8/10/2020). Sejumlah orang yang diduga terlibat dalam kericuhan tersebut diciduk aparat kepolisian.
Dewo menyebut, Pemda DIY juga telah menerima somasi dari sejumlah elemen masyarakat sipil yang menamakan diri Aliansi Rakyat untuk Demokrasi Yogyakarta. Dia menyebut, Pemda DIY akan segera menjawab somasi itu.
Selain itu, Dewo juga mempersilakan apabila ada pihak yang ingin melaporkan penerbitan Pergub DIY No 1 Tahun 2021 ke lembaga negara terkait. ”Monggo (silakan). Setiap kebijakan yang dilakukan pemerintah, masyarakat diberikan saluran untuk menyampaikan keberatan,” ujarnya.
Utamakan demokrasi
Perwakilan Aliansi Rakyat untuk Demokrasi Yogyakarta, Tri Wahyu, menyatakan, Pemda DIY seharusnya mengedepankan prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat dalam mengambil sebuah kebijakan. Oleh karena itu, Pemda DIY tidak boleh mengorbankan demokrasi dan kedaulatan rakyat dengan melarang demonstrasi karena alasan pariwisata.
”Yogyakarta itu kan bagian dari Indonesia. Jadi, prinsip negara hukum demokratis dan prinsip daulat rakyat yang harus dikedepankan, bukan daulat pariwisata,” ujar Wahyu.
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
Sebuah sepeda motor yang hangus tergeletak di Jalan Malioboro, Kota Yogyakarta, Kamis (8/10/2020). Di belakangnya terdapat restoran yang juga hangus terbakar di tengah kerusuhan dalam aksi unjuk rasa penolakan RUU Cipta Kerja di Gedung DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta yang juga berlokasi di kawasan Malioboro.
Wahyu juga mempertanyakan, kenapa Pemda DIY baru sekarang menerbitkan aturan yang melarang demonstrasi di Istana Negara Gedung Agung, Keraton Yogyakarta, Kadipaten Pakualaman, kawasan Kotagede, dan kawasan Malioboro. Padahal, Keputusan Menteri Pariwisata yang menetapkan lima kawasan itu sebagai obyek vital nasional sektor pariwisata sudah terbit sejak 2016.
Oleh karena itu, Wahyu menduga, larangan demonstrasi di sejumlah kawasan tersebut merupakan reaksi terhadap kericuhan yang terjadi saat demonstrasi pada 8 Oktober lalu. ”Keputusan Menteri Pariwisata itu kan sudah terbit sejak tahun 2016, tapi kenapa larangannya baru terbit tahun 2021?” tuturnya.
Wahyu mengatakan, kericuhan yang terjadi saat demonstrasi di Gedung DPRD DIY pada 8 Oktober lalu seharusnya tidak direspons dengan larangan penyelenggaraan demonstrasi di kawasan Malioboro dan beberapa tempat lain. ”Kalau ada aksi yang dipandang ricuh, ya diproses hukum saja individu-individu yang terlibat dengan penegakan hukum yang akuntabel. Tapi jangan melarang ada aksi di Malioboro dan sekitarnya,” ungkapnya.
Yogyakarta itu kan bagian dari Indonesia. Jadi, prinsip negara hukum demokratis dan prinsip daulat rakyat yang harus dikedepankan, bukan daulat pariwisata.
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
Anggota keluarga peserta aksi unjuk rasa yang tertangkap polisi menunggu di depan kantor Polres Kota Yogyakarta, Jumat (9/10/2020). Sejumlah massa aksi unjuk rasa penolakan rencana pengesahan RUU Cipta Kerja di DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (8/10/2020), ditangkap aparat kepolisian.
Wahyu juga menyebut, larangan demonstrasi di lima kawasan itu akan mencederai hak kemerdekaan berpendapat di DIY. Oleh karena itu, Aliansi Rakyat untuk Demokrasi Yogyakarta memutuskan untuk mengirimkan somasi kepada Sultan HB X.
Dalam somasi yang dikirim pada Selasa (19/1/2021) itu, Aliansi Rakyat untuk Demokrasi Yogyakarta menuntut Sultan mencabut dan membatalkan Pergub DIY No 1 Tahun 2021. Apabila Sultan tidak mencabut pergub itu dalam waktu tujuh hari setelah somasi dikirim, Aliansi Rakyat untuk Demokrasi Yogyakarta akan melapor ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Ombudsman Republik Indonesia, dan Menteri Dalam Negeri.
”Tidak menutup kemungkinan kami juga akan mengajukan hak uji materiil kepada Mahkamah Agung untuk membatalkan Pergub DIY Nomor 1 Tahun 2021,” papar Wahyu.