Gelar Juara Kenin, Wujud Kerja Keras Keluarga Imigran
Sofia Kenin mewujudkan mimpi setiap petenis untuk menjadi juara Grand Slam di Australia Terbuka. Keterbatasannya sejak kecil, yang lahir dari keluarga imigran asal Rusia, menempanya menjadi petenis yang tangguh.
Oleh
Yulia Sapthiani
·4 menit baca
”Jika punya mimpi, kejarlah”. Pesan itu disampaikan Sofia Kenin, sesaat setelah menerima trofi Daphne Akhurst, lambang juara tunggal putri Australia Terbuka. Sama seperti pesannya, petenis Amerika Serikat berusia 21 tahun itu telah mengejar dan mewujudkan mimpinya, mimpi orang tuanya, dan mimpi semua petenis: juara Grand Slam.
Trofi yang diterima dari juara Australia Terbuka 2000, Lindsay Davenport, adalah trofi Grand Slam pertama bagi Kenin. Dia memperolehnya setelah mengalahkan Garbine Muguruza (Spanyol), 4-6, 6-2, 6-2, dalam final di Rod Laver Arena, Melbourne Park, Sabtu (1/2/2020).
Dalam usia 21 tahun 80 hari, Kenin menjadi juara Australia Terbuka termuda sejak Maria Sharapova pada 2008. Sharapova, idola Kenin, menjuarainya pada usia 20 tahun.
Meski menjadi unggulan ke-14, Kenin sebenarnya berstatus underdog dalam final tersebut. Muguruza, yang untuk pertama kalinya sejak 2014 tak menjadi unggulan dalam Grand Slam, berpengalaman juara Perancis Terbuka 2016 dan Wimbledon 2017. Namun, tampil pertama kali di final turnamen tenis kasta tertinggi itu tak menghambat Kenin.
Dia membalikkan prediksi pasar taruhan, pendapat mantan petenis, juga orang-orang yang meragukan kemampuannya. Apalagi, di AS, Kenin berada di bawah bayang-bayang pemilik 23 gelar Grand Slam, Serena Williams, Madison Keys, bahkan petenis 15 tahun, Cori ”Coco” Gauff, yang naik daun sejak menembus babak keempat Wimbledon 2019.
Kenin pun menyadari hal itu. Namun, dia memandang situasi tersebut dari sisi positif. ”Banyak yang tidak tahu siapa saya, yang bisa saya lakukan adalah memberi bukti dan saya melakukannya. Sekarang, saya mendapat perhatian itu. Saya menyukainya, saya tak akan bohong,” tutur Kenin.
Dengan gelar Australia Terbuka, namanya akan berada di posisi ketujuh, naik dari posisi ke-15, pada daftar peringkat dunia awal pekan ini. Kenin akan berada di atas Serena dan Keys.
Petenis AS, seperti Jessica Pegula dan Bethanie Mattek-Sands, serta petenis nomor satu dunia, Ashleigh Barty (Australia), mengatakan, Kenin berhak dikenal lebih luas dibandingkan dengan sebelumnya.
Mental baja
Orang yang mengenal Kenin memberi pandangan positif dan menyebutnya bermental baja. Tracy Austin, petenis nomor satu dunia pada 1980, melihatnya ketika Kenin berada dalam posisi tertekan saat bertanding.
Kemenangan atas Barty misalnya, didapat setelah menggagalkan set point lawan pada setiap set. Di final, Kenin menang setelah kehilangan set pertama.
”Dia menjadi pelatih bagi dirinya. Selalu bicara sendiri untuk memotivasi diri. Dia juga berjalan dengan cepat, memperlihatkan semangatnya yang tinggi,” kata Austin.
Pada The New York Times, sebelum final, Kenin menegaskan, siapapun yang ingin mengalahkannya harus berusaha dengan keras. ”Berapa pun skornya, jika tertinggal, saya akan selalu berusaha untuk membalikkan keadaan dan saya sudah beberapa kali melakukannya,” katanya.
Pelatih Kenin semasa kecil, Rick Macci, mengatakan, mental baja telah melekat pada Kenin sejak dia mengenalnya. ”Mental itu terus tumbuh dalam dirinya,” kata Macci yang menjuluki anak didiknya itu dengan sebutan ”Si Nyamuk”.
Mental itu bisa jadi terbentuk dari kehidupan Kenin semasa kecil. Orang tuanya, Alex Kenin dan Lena, adalah imigran asal Rusia. Mereka pindah ke New York, AS, pada 1987 untuk mencari kehidupan lebih baik.
Sempat kembali ke (saat itu) Uni Soviet, Kenin lahir di Moskwa, 14 November 1998. Hanya tiga bulan setelah kelahiran Kenin, mereka kembali ke AS, kali ini ke Florida.
Pada awal kepindahan inilah masa sulit dialami, apalagi dengan bekal hanya beberapa ratus dollar AS. Alex, yang mempelajari teknik komputer pada siang hari, bekerja sebagai sopir taksi pada malam, meski tak bisa berbahasa Inggris.
”Saya berusaha agar putri saya tidak mengalami masa sulit seperti orang tuanya. Meski dia tidak ikut mengalami kehidupan yang berat, karena masih kecil, Sofia memahaminya. Mungkin kondisi itu pula yang membuat mentalnya kuat,” tutur Alex.
Dari Alex pula, Kenin mengenal tenis pada usia tiga tahun. Di sebuah taman di Pembroke Pines, Florida, Alex selalu mengajak Kenin bermain tenis. Setelah melihat potensi putrinya, Alex pun mendaftarkannya pada akademi tenis milik Rick Macci di Boca Raton, Florida.
Tempat itu dipilih karena pernah menjadi tempat latihan Serena dan Venus Williams. Dari sanalah, Kenin memiliki kemampuan dasar yang bagus.
Meski berlatih di akademi, Alex tak pernah meninggalkan perannya sebagai pelatih hingga kini. Kenin pun disekolahkan dengan cara home schooling agar lebih bisa fokus pada tenis.
Di sela latihan, Kenin sering diajak menonton turnamen tenis yang bertebaran di AS. Baru-baru ini, ketika Kenin membuat kejutan di Melbourne Park, WTA memperlihatkan video saat Kenin yang berusia tujuh tahun diajak tur di stadion tempat penyelenggaraan Miami Terbuka oleh Kim Clijsters.
Kenin kecil juga menarik perhatian Tennis Channel. Dalam wawancara pada 2005, Kenin mengatakan bahwa dia bisa mengembalikan servis Andy Roddick, petenis nomor satu dunia pada 2003.
Lima belas tahun berlalu, Roddick turut memberi semangat melalui Twitter, saat Kenin lolos ke final. Kenin menangis bahagia ketika membaca itu di ruang ganti pemain dan semakin bahagia ketika menjadi bagian dari petenis AS peraih Grand Slam seperti Roddick. Kenin telah mewujudkan mimpi, meski dengan keterbatasan kondisi keluarganya semasa kecil. (AP/AFP)