Novak Djokovic semakin matang. Bermain tenis baginya tak lagi untuk pembuktian ambisi pribadi, tetapi wujud kepedulian kepada dunia di sekitar. Kematangan itu yang membawanya merebut gelar juara kedelapan di Melbourne.
Oleh
Yulia Sapthiani
·4 menit baca
Gelar juara Australia Terbuka 2020 membuka peluang bagi Novak Djokovic untuk menjadi petenis tunggal putra dengan gelar juara Grand Slam terbanyak. Namun, seiring kedewasaan pola pikirnya, bermain tenis dilakukan tak lagi untuk memenuhi ambisi pribadinya. Djokovic bertanding untuk orang-orang di sekitarnya.
Tragedi yang terjadi di saat yang bersamaan dengan Australia Terbuka, salah satunya kebakaran semak dan hutan di Australia, menyadarkan Djokovic bahwa komunitas olahraga, termasuk tenis, tidak boleh melupakan kondisi di sekitar mereka. Dia pun mengajak penonton yang datang ke Rod Laver Arena, lapangan utama Melbourne Park, Melbourne, untuk menyaksikan final tunggal putra turnamen tenis Grand Slam Australia Terbuka, Minggu (2/2/2020), untuk melakukan hal serupa.
”Kita adalah bagian dari olahraga profesional, selalu bersaing untuk menjadi yang terbaik. Tetapi, ada yang lebih penting dalam kehidupan, yaitu peduli pada yang terjadi di sekitar kita,” kata Djokovic.
Djokovic mengatakan itu setelah mengalahkan Dominic Thiem, 6-4, 4-6, 2-6, 6-3, 6-4, dalam final yang berlangsung selama 3 jam 59 menit. Gelar itu adalah yang kedelapan bagi Djokovic di Australia Terbuka, yang mempertegas dominasinya pada Grand Slam pembuka musim ini. Kemenangan ini juga mengantarnya ke puncak peringkat dunia, dan menjadi gelar juara ke-17 dari keseluruhan turnamen mayor: Australia Terbuka, Perancis terbuka, Wimbledon, dan Amerika Serikat Terbuka.
Jumlah tersebut mendekatkan Djokovic pada prestasi maestro tenis asal Swiss Roger Federer sebagai tunggal putra dengan gelar Grand Slam terbanyak, 20 gelar, serta petenis Spanyol Rafael Nadal (19 gelar). Kemampuannya bermain dengan baik di semua jenis lapangan—Nadal memiliki kelemahan di lapangan berkarakter cepat, sedangkan Federer tidak tampil maksimal di lapangan lambat—memperbesar peluang Djokovic menjadi tunggal putra dengan trofi juara Grand Slam terbanyak.
Faktor lain yang memungkinkan terjadinya hal itu adalah belum adanya petenis dengan usia di bawah ”Big Three”—julukan bagi Federer, Nadal, dan Djokovic—yang bisa menghentikan dominasi ketiganya dalam persaingan Grand Slam. Persaingan dengan level tertinggi di empat turnamen itu menuntut konsistensi fisik, teknik, taktik, dan mental selama dua pekan.
Prestasi terbaik petenis era ”Next Generation” atau alumni program ATP untuk petenis berusia 21 tahun ke bawah itu adalah menembus final. Hal itu pun baru bisa dilakukan oleh dua petenis, yakni Thiem (26 tahun) dan Daniil Medvedev (23). Perlawanan terbaik diberikan Medvedev saat memaksa Nadal bermain lima set pada final AS Terbuka 2019 dan Thiem saat melawan Djokovic di Melbourne Park, Minggu.
Dikenal sebagai petenis yang lebih piawai bermain di lapangan tanah liat, dengan 10 dari 16 gelar ATP diperolehnya pada jenis lapangan lambat ini, Thiem memberi penampilan terbaiknya di lapangan keras pada Australia Terbuka 2020. Namun, kemampuan itu belum cukup mengantarkannya meraih trofi juara Grand Slam.
Thiem belum bisa mengatasi tekanan dalam kondisi kritis, seperti ketika dia kehilangan set keempat dan kelima melawan Djokovic, meski telah unggul dua set dan tinggal membutuhkan satu set untuk menang.
Sementara itu, di seberang lapangan, Djokovic bisa mengesampingkan tekanan dari penonton yang mengolok-oloknya. Sebagian besar dari penonton pada laga itu mendukung Thiem, dan mengharapkan ada juara baru di Australia Terbuka. Meskipun di satu sudut tribune, pendukung Djokovic tak kenal lelah memberi semangat sambil mengibarkan bendera Serbia, negara asal Djokovic.
Peduli pada sekitar
Dengan tambahan gelar di Melbourne Park, Djokovic tinggal membutuhkan dua gelar untuk menyamai Nadal atau tiga gelar untuk menyejajarkan namanya dengan Federer sebagai juara Grand Slam terbanyak. Tak hanya di turnamen dengan lapangan cepat, seperti Australia Terbuka, Wimbledon, dan AS Terbuka, petenis Serbia itu bisa mendapatkannya di Perancis Terbuka seperti yang dilakukan pada 2016.
Namun, seperti yang dikemukakannya pada The New York Times, bersaing di arena tenis tak lagi untuk memenuhi ambisinya. Hal itu berakar dari kehidupannya yang sulit pada masa kecil.
Djokovic bercerita ketika ayahnya harus berjuang untuk keluarga ketika Yugoslavia baru pecah pada era 1990-an. ”Sepuluh Deutsche, saya ingat 10 Deutsche. Ayah saya mengatakan, ‘Hanya ini yang kita punya’. Lalu dia berkata, ‘Kita harus melalui situasi itu dan mengatasinya bersama’. Momen itu sangat berpengaruh dalam kehidupan saya,” kata Djokovic.
Setelah menikah, Djokovic dan istrinya, Jelena, mendirikan yayasan untuk membantu anak-anak. Dia pun selalu bersama keluarga saat tak bertanding.
Setiap hari, di apartemennya di Monte Carlo, Monako, kehidupan Djokovic bersama istri dan dua anak mereka selalu diawali dengan bangun pagi, menyiapkan sarapan, ke balkon apartemen untuk menikmati matahari terbit sambil saling memeluk dan bernyanyi. Setelah itu, yoga bersama-sama
”Bagi saya, bermain tenis, saat ini, bukan lagi menjadi pembuktian untuk diri sendiri, tetapi untuk orang-orang di sekitar saya,” katanya. (AP/AFP)