Perubahan formasi dan susunan pemain mula kembali dilakukan Pelatih Juventus Maurizio Sarri saat menghadapi Inter Milan pada laga tunda. Meski menang, Sarri belum puas dan terus melakukan perubahan.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
TURIN, SENIN — Kemenangan meyakinkan dalam laga tanpa penonton derbi d’italia belum cukup memuaskan Pelatih Juventus Maurizio Sarri. Pelatih pengagung filosofi ”Bola Sarri” ini mengisyaratkan gaya bermain timnya masih jauh dari harapan. Ketidakpuasan ini menandakan perombakan akan terus dilakukan ”Si Nyonya Besar”, yang berpeluang menimbulkan turbulensi penampilan tim.
Sarri merombak skuadnya saat menang atas Inter Milan, 2-0, pada Senin (9/3/2020) dini hari WIB, di Stadion Juventus. Dengan pola 4-3-3, Juve memainkan Douglas Costa dan Gonzalo Higuain di depan menggantikan Paulo Dybala dan Miralem Pjanic. Sementara itu, penyerang sayap Juan Cuadradao digeser menjadi bek sayap.
Tidak terhitung sudah berapa kali Sarri mengganti 11 pemain utama ataupun formasi tim. Meski demikian, percobaan strategi dalam derbi ini berjalan sangat baik. Dimotori gelandang serba bisa Aaron Ramsey, Juve menyerang dengan efektif.
Hasilnya, ”Si Nyonya Besar” menguasai jalannya pertandingan dengan penguasaan bola hingga 54 persen, ditambah dengan akurasi umpan mencapai 91 persen. Keleluasaan dalam umpan itu diikuti efektivitas penyerangan dengan 2 dari 5 tendangan ke arah gawang berubah menjadi gol lewat Ramsey dan Dybala, yang masuk sebagai pemain pengganti.
Footbal Italia menyebutkan performa ini merupakan yang terbaik dari Juve sepanjang musim ini. Namun, tidak bagi sang arsitek, Sarri.
”Ini kemenangan yang penting. Tetapi, jalan kami masih panjang ke depan. Ini masih jauh dari apa yang saya ingin lihat dari Juve saya,” sebut pelatih berusia 61 tahun itu.
Beberapa perubahan terjadi dari pekan ke pekan di bawah Sarri. Juve sudah mencoba formasi mulai dari 4-4-2, 4-3-1-2 hingga terakhir 4-3-3. Perubahan juga terjadi pada pemain utama tim. Ramsey, gelandang dengan mobilitas tinggi, yang tidak mendapatkan waktu bermain pada awal musim, mulai dipercaya menggantikan Pjanic.
Kurang gairah
Menurut Sarri, Juve kekurangan gairah dalam beberapa pertandingan karena itu dia membutuhkan pemain dengan energi besar.
”Saya memilih pemain yang punya fisik bagus untuk menjamin energi tim. Ini yang saya cari dalam latihan dari para pemain,” katanya.
Mantan Pelatih Napoli itu masih mencari racikan terbaik untuk mengaplikasikan ”Bola Sarri”. Filosofi itu merupakan gaya menyerang yang mengutamakan umpan vertikal saat menguasai bola dan menekan agresif lawan saat bertahan. Gaya ini membutuhkan kecerdikan umpan dan penempatan posisi pemain serta fisik kuat.
Rasa penasaran Sarri memaksa pendukung dan pemilik Juve harus sedikit bersabar. Perubahan-perubahan masih akan terjadi untuk memenuhi ego besarnya, yang akan berujung pada ketidakstabilan permainan tim.
Terbukti ”Si Nyonya Besar” belum menunjukkan dominasi penuh seperti yang dilakukan sewindu terakhir saat menjuarai Serie A. Dengan musim ini tersisa 12 pekan, mereka masih ditempel ketat Lazio yang hanya terpaut satu poin di peringkat kedua.
Mantan pemain Sarri saat melatih klub kasta bawah Italia, Sorrento (2011-2012), Ronaldo Vanin mengingatkan bagaimana ”kegilaan” sang arsitek.
”Dia tidak hanya ingin menang, dia ingin lebih. Dia mau kami mengikuti apa yang diinginkannya sampai paling sempurna. Dia mengetahui jika kamu kelebihan mengumpan walau hanya 10 sentimeter,” katanya.
Perfeksionis
Dalam sebuah laga tandang bersama Sorento, tim Sarri pernah menelan kekalahan. Selama 30 menit, sang pelatih tidak tampak di bus yang sudah berisikan pemain. Setelah hampir sejam, Sarri muncul dengan sebuah kaset video pertandingan di tangannya. Dalam empat jam perjalanan pulang, dia menyaksikan video itu di laptop.
Sifat perfeksionis menjadikan Sarri mengagungkan proses. Karena itu, dia sukses melatih Napoli dan Empoli dengan kesempatan melatih sekitar tiga musim. Sebaliknya, dia terlihat gagal di Chelsea karena hanya diberikan waktu semusim.
Pelatih senior Claudio Ranieri dalam sebuah wawancara dengan Corriere dello Sport pada 2018 mengatakan, dia melihat gaya bermain Sarri tidak lebih efektif dari Massimiliano Allegri. Gaya Sarri terlalu memberikan kebebasan kepada pemain yang dinilai mengurangi efektivitas terhadap kemenangan.
”Tentunya saya menyukai Napoli saat dilatih Sarri. Saya juga menyukai tim nasional Belanda saat dilatih Rinus Michels, yang sangat menghibur. Tetapi perlu diingat dia tidak memenangi apa pun,” kata Ranieri.
Sepanjang karier melatih sejak 2000, Sarri hanya pernah meraih satu trofi mayor, yakni juara Liga Europa besama Chelsea. Selebihnya, prestasinya hanya lebih sering terdengar karena filosofi permainan ciptaan mantan bankir itu. (AFP/REUTERS)