Dihentikannya kompetisi olahraga karena wabah Covid-19 berdampak pada petugas lapangan seperti wasit dan orang yang bekerja di arena pertandingan. Dampak dihentikannya pertandingan adalah hilangnya pendapatan.
Oleh
Yulia Sapthiani
·4 menit baca
Dihentikannya kompetisi olahraga karena wabah Covid-19 tak hanya berpengaruh pada atlet sebagai aktor utama di lapangan. Tak ada kompetisi, tak ada penilaian untuk naik level bagi petugas lapangan. Bagi pekerja di stadion, tak ada kompetisi, bahkan, menghilangkan penghasilan untuk hidup.
Hertha Sekar Pandansari menjadi salah satu petugas lapangan yang merasakan dampak dihentikannya turnamen tenis oleh badan tenis dunia, ITF, ATP, dan WTA sejak pertengahan Maret. Karena penghentian itu pula, dalam dua bulan terakhir ini, Hertha hanya bisa berada di rumah di Tangerang, Banten.
Ibu satu anak itu adalah wasit dengan sertifikasi white badge (lencana putih) dari Federasi Tenis Internasional (ITF) sejak 2004. Ini adalah level kedua dari tiga level wasit ITF, yaitu lencana hijau (Level 1), lencana putih (Level 2), dan lencana perunggu (Level 3). Dari perunggu, berdasarkan penilaian dalam bertugas, mereka bisa promosi ke perak, lalu lencana emas yang dimiliki wasit-wasit elite.
Sebelum beristirahat karena tak ada kompetisi, pada tahun ini, Hertha bertugas pada rangkaian turnamen di Australia, Januari-Februari, termasuk Australia Terbuka yunior. Setelah itu, dia menjadi tournament referee (wasit turnamen) untuk Kejuaraan Dunia Beregu Yunior di Jakarta, 17-22 Februari.
Hertha seharusnya kembali ke Australia untuk bertugas dalam turnamen di Canberra pada pertengahan Maret. Dia akhirnya batal berangkat setelah mendapat kabar pembatalan turnamen, sepekan sebelum penyelenggaraan.
Bagi Hertha, dihentikannya semua turnamen hingga, setidaknya, Juli membuatnya kesulitan memenuhi kriteria untuk mengisi rapor, yaitu memimpin 25 pertandingan dalam setahun. Penghasilannya memang berkurang, tetapi masih bisa mengandalkan penghasilan dari suami.
Hal itu pula yang dialami wasit-wasit bulu tangkis yang menjadikan profesi itu sebagai sumber penghasilan sampingan. Ketua Bidang Turnamen, Perwasitan, dan Referee PP PBSI Eddyanto Sabarudin mengatakan, wasit bulu tangkis masih bisa bertahan secara finansial karena memiliki pekerjaan utama, sebagai pegawai negeri atau pegawai swasta.
Satu hal yang harus dilakukan sebagai dampak penghentian turnamen bulu tangkis adalah menyusun ulang penugasan bagi semua wasit. ”Penugasan untuk semua wasit dilakukan di awal tahun untuk setahun penuh. Sekarang, penugasan itu harus disusun ulang,” kata Eddyanto.
Seperti tenis, kejuaraan bulu tangkis nasional dan internasional, juga, berhenti sejak pertengahan Maret karena pandemi Covid-19. Eddyanto berharap turnamen bisa bergulir kembali sekitar Juli atau Agustus.
Tak ada pendapatan
Akan tetapi, tak semua seberuntung Hertha atau wasit-wasit bulu tangkis yang memiliki pekerjaan lain. Di antara komunitas dunia olahraga, ada pula petugas lapangan atau pekerja di stadion yang bergantung pada pertandingan untuk mendapat penghasilan. Ini terjadi di berbagai belahan dunia.
Diceritakan dalam Guardian, Rendy Trent hanya bisa pasrah dengan vakumnya ajang olahraga di kota tempat tinggalnya, Philadelphia, AS. Selama 19 tahun terakhir, Trent memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bekerja dari stadion ke stadion.
Selain di Wells Fargo Center, kandang klub basket Philadelphia 76ers, Trent juga bekerja di Citizens Bank Park, stadion untuk tim bisbol Philadelphia Phillies. Pada hari lain, dia bisa berada di Stadion Lincoln Financial Field, kandang klub sepak bola Philadelphia Eagles.
”Tugas saya adalah menyediakan makan untuk pers dan bekerja di ruang VIP. Semua pendapatan saya berasal dari stadion olahraga di Philadelphia. Saat tim melaju ke play off, pendapatan saya bisa bertambah besar. Saat ini pendapatan saya nol,” kata Trent.
Kondisi ini kian menyulitkan karena Trent adalah penyintas kanker yang membutuhkan perawatan. Tanpa pendapatan, dia harus membayar 400 dollar AS per bulan untuk asuransi dan 975 dollar AS untuk sewa rumah.
”Saya hanya berusaha untuk tidak stres. Namun, saya tidak tahu berapa lama lagi bisa membayar tagihan tanpa pendapatan,” katanya.
Nasib yang sama dialami Duane Thwaites yang telah delapan tahun bekerja di kandang klub bisbol Miami Marlins, Marlins Park, di Miami, Florida, AS. Hidupnya, bahkan, lebih naas karena tak memiliki rumah. Ayah empat anak itu tidur di sebuah gudang.
Thwaites bekerja ketika Miami Marlins menjadi tuan rumah. Rata-rata dia bekerja 10-12 jam per hari. ”Jadi, saat ada tiga-empat pertandingan dalam sepekan, saya bekerja 30-48 jam dalam pekan itu. Adakalanya saya juga tak bekerja,” katanya.
Selain pertandingan kandang Miami Marlins, Thwaites juga sebenarnya mengandalkan turnamen tenis ATP/WTA Miami Terbuka di Stadion Hard Rock untuk menambah penghasilan. Namun, turnamen yang pada tahun ini berlangsung 25 Maret-5 April itu dibatalkan.
”Saat mendengar turnamen batal, rasanya seperti pergi ke neraka. Orang mengatakan, kami tetap bisa mendapatkan uang, tetapi tidak ada yang bisa menjelaskan caranya,” komentar Thwaites yang hanya bisa berharap situasi segera pulih.
Sebagai salah satu sisi yang terdampak dengan Covid-19, tak hanya ingar-bingar dan selebrasi yang hilang dari dunia olahraga. Bagi banyak orang, tak ada pertandingan artinya tak ada pekerjaan dan tak ada uang.