Kesehatan fisik dan mental atlet penting dijaga saat pandemi Covid-19. Keterbatasan gerak, ancaman kehilangan karier, ketiadaan kompetisi, dan ketidakpastian situasi membuat atlet depresi.
Oleh
Yulia Sapthiani/Adrian Fajriansyah
·6 menit baca
Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik bagi atlet, apalagi ketika mereka kehilangan kegiatan terstruktur pada masa pandemi virus Covid-19. Menyesuaikan diri dengan ketidakpastian di tengah kosongnya kompetisi bukan hal yang mudah.
Atlet-atlet bulu tangkis di pelatnas Cipayung, Jakarta, turut merasakan hal itu ketika turnamen bulu tangkis dihentikan seusai penyelenggaraan All England, 11-15 Maret. Apalagi, sekembali dari Birmingham, Inggris, Anthony Sinisuka Ginting dan kawan-kawan terisolasi dari lingkungan luar, termasuk keluarga. Aktivitas hanya boleh dilakukan di lingkungan pelatnas.
Pelatih ganda putri Eng Hian bercerita, situasi sulit dialami pemain asuhannya pada karantina selama dua pekan sepulang dari All England. “Mereka tak betah, selalu ada yang memaksa untuk keluar dari pelatnas,” kata Eng Hian.
Pada masa karantina dua pekan itu, tim All England dijauhkan dari atlet lain. Latihan dilakukan di lapangan yang ditandai khusus, makan pun diantarkan ke kamar masing-masing. Ruang gerak mereka hanya sebatas kamar, kamar mandi, dan tempat latihan.
“Bingung mengungkapkan rasanya seperti apa. Bosan, hilang, sampai bosan lagi,” ujar pemain ganda campuran, Pitha Haningtyas Mentari.
Setelah melewati dua pekan, pemain pun mulai terbiasa dengan situasi baru, yaitu tanpa kejuaraan, tanpa pulang ke rumah atau jalan-jalan pada masa libur. Intensitas latihan dikurangi. Selain untuk menjaga kesehatan, juga, untuk mengurangi kebosanan karena belum ada turnamen dalam waktu dekat.
Hal lain yang juga dilakukan untuk menjaga suasana hati pemain adalah melakukan kegiatan bersama yang selama ini dilakukan di luar pelatnas. Pemain dan pelatih ganda putri misalnya, rutin makan bersama, salah satunya di rumah Eng Hian.
“Kami memindahkan kebiasaan itu ke pelatnas, makan bersama seminggu sekali. Atas bantuan staf pelatnas, kami bisa kumpul sambil makan barbeku,” ujar Eng Hian.
Atlet cabang menembak dan angkat besi juga menjalani karantina di pelatnas. Setelah mengikuti Kejuaraan Asia di Doha, Qatar, 5-13 November 2019, atlet menembak Indonesia hanya bisa berlatih dan tinggal di Lapangan Tembak Senayan, Jakarta sejak awal 2020.
Untuk mengatasi kejenuhan, PB Perbakin mengadakan lomba menembak secara daring pada April dan Mei. Perlombaan yang melombakan kelas 10 meter air rifle dan 10 meter air pistol itu diikuti hingga 70 penembak dari Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Pekanbaru.
Setiap atlet berlomba dari tempat masing-masing, ditayangkan melalui layanan percakapan Zoom. Semua hasil tembakan harus diperlihatkan secara virtual sehingga langsung dicatat oleh panitia di Jakarta.
Lomba itu diadakan, juga, untuk memelihara semangat kompetitif yang sejatinya harus selalu dimiliki atlet. ”Atlet harus tetap punya semangat tinggi dalam berlatih. Tapi, kami tidak menutupi bahwa mereka pasti mengalami kejenuhan karena hanya berlatih tanpa pernah mengikuti perlombaan untuk memacu adrenalin dan mengevaluasi hasil latihan,” kata Kepala Bidang Pembinaan Prestasi PB Perbakin Sarozawato Zai.
Di Mess Marinir Kwini, Jakarta, PB PABBSI menyediakan sarana hiburan untuk atlet yang mengikuti pelatnas angkat besi. PABBSI menyediakan jaringan TV kabel di setiap kamar atlet. Sebanyak sembilan kamar dihuni 13 atlet.
Selain menyediakan sarana hiburan, guna menjaga kesehatan mental mereka, PABBSI akan mendatangkan hipnoterapis. Mereka dibutuhkan, terutama, untuk menumbuhkan semangat atlet muda (berusia 17-22 tahun) yang mendominasi timnas angkat besi. Kondisi mental mereka rentan menghadapi kejenuhan karena terisolasi di mess.
”Kami pernah mencoba cara ini sebelumnya, terutama sebelum atlet ikut kejuaraan. Tujuannya, untuk merileksasi pikiran atlet. Sejauh ini, kondisi mental atlet masih wajar, tetapi kami coba antisipasi agar mereka tidak jenuh karena tidak ada kejuaraan sampai dengan akhir tahun ini,” kata Manajer Pelatnas Angkat Besi Alamsyah Wijaya.
Sumber kecemasan
Atlet-atlet sepak bola di Liga Eropa menghadapi kesulitan yang sama. Jam istirahat yang teratur, makan dengan pola dan menu tertentu, serta latihan dengan program detail untuk mencapai puncak penampilan pada kompetisi digantikan oleh aktivitas di ruang gerak yang terbatas. Tak pelak, pelanggaran pun, dengan sengaja atau tidak, dilakukan.
Penyerang sayap Real Madrid, Eden Hazard, misalnya, berusaha keras menahan diri tidak pergi ke dapur dan memakan banyak roti. ”Ternyata tidak mudah. Situasi ini sangat rumit bagi saya,” ujarnya kepada RTBF. (Kompas, 14/4/2020)
Di Inggris, kapten Aston Villa Jack Grealish didenda klub karena mengunjungi temannya. Keberadaannya di luar rumah tertangkap kamera ketika berjalan di dekat lokasi sebuah tabrakan mobil. Aksinya melanggar aturan berdiam diri di rumah itu pun terungkap.
Grealish pun meminta maaf melalui media sosial dan mengakui bahwa ini merupakan masa yang sulit bagi semua orang untuk terus bertahan di rumah.
Penyerang Barcelona, Antoine Griezmann, mengungkapkan kecemasannya soal situasi sulit akibat pandemi. ”Saya telah merindukan sepak bola. Sekarang, tiada lagi yang bisa kami lakukan,” ujarnya.
Striker klub sepak bola Central Coast Mariners di Australia, Matt Simon, mengatakan, yang paling menyulitan dalam situasi seperti saat ini adalah ketidakpastian untuk beraktivitas seperti sebelumnya. “Saya tak lagi bisa bersama rekan satu tim yang sudah seperti keluarga. Sekarang, semuanya hilang, termasuk sumber penghasilan saya, tanpa adanya kejelasan kapan akan kembali,” ujarnya dalam Guardian Australia.
Jurnal kesehatan medis The Lancet merilis hipotesis dari Asosiasi Pesepak bola Profesional Australia yang melakukan survei pada 150 anggotanya. Sejak liga sepak bola Australia dihentikan pada Maret, 58 persen pemain memiliki gejala kecemasan, 45 persen di antaranya, bahkan, dengan gejala depresi.
Di Inggris, situasi serupa terjadi. Laporan dari Asosiasi Pesepak Bola Profesional (PFA) menyatakan, sekitar 22 persen dari 262 anggota yang diwawancarai mengalami depresi atau pernah berpikir untuk menyakiti diri sendiri. Sebanyak 72 persen merasa cemas, sementara 69 persen khawatir akan kelanjutan karier mereka.
Kecemasan juga dirasakan mantan pemain. Apalagi, sebagian besar di antara mereka, kini bekerja untuk diri sendiri, seperti menjadi pelatih atau sopir taksi.
Mantan perenang AS, Michael Phelps, bahkan, menyebut, pandemi Covid-19 menjadi salah satu pengalaman paling menakutkan dalam hidupnya.
“Saya pernah punya pengalaman buruk dengan kesehatan mental. Sekarang, suasana hati saya sering naik-turun. Saya bersyukur karena tak mengalami kesulitan ekonomi, tetapi, saya masih berjuang untuk mengatasi tekanan mental,” ujar sosok yang mengumpulkan 23 medali emas dari empat Olimpiade ini.
Ketidakpastian situasi, juga, menjadi sumber kecemasan Phelps. Banyak pertanyaan muncul di benaknya, seperti “Kapan situasi ini akan berakhir? Bagaimana kehidupan akan berjalan saat ini berakhir? Apakah dia dan keluarga akan baik-baik saja?”
“Semua itu membuat saya gila. Terkadang saya merasa tak bisa menahan tekanan. Untuk melampiaskannya, berkali-kali saya berteriak ‘Saya tak ingin menjadi diri saya!’” katanya.
Phelps berjuang mengatasinya. Cara yang dipilih adalah selalu aktif sejak bangun hingga tidur kembali, salah satunya olahraga di tempat kebugaran, minimal, 90 menit setiap hari. Dia juga selalu mendampingi ketiga putranya untuk makan dan bermain.
“Ada kalanya saya tak ingin berada di tempat latihan, tetapi saya paksakan karena saya tahu kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Sehari saja melewatkan olahraga, akan seperti bencana. Selalu ada pikiran negatif dalam diri saya,” tuturnya.