Sikap Diam China Mencegah Banyak Negara Terjebak Dilema
Perang dagang AS-China muncul karena AS di bawah Presiden Donald Trump ingin menghambat laju China untuk menjadi kekuatan nomor satu dari segi ekonomi. AS tidak mau menyerah.
Oleh
Simon Saragih
·4 menit baca
Pada dekade 1810-an, terjadi konflik maritim antara Inggris dan Perancis. Ini berefek blokade perdagangan Inggris-AS oleh Perancis. Hal serupa dilakukan oleh Inggris agar perdagangan AS-Perancis terhalang. AS yang semakin menguat kemudian berani melawan blokade karena paling dirugikan dalam kemelut tersebut dari sisi perdagangan.
Titik persoalan kemudian berkembang menjadi konflik AS-Inggris. Masalahnya, blokade Inggris menghalangi perdagangan AS dengan Perancis dan Spanyol. Dari sini berkembanglah perang antara Inggris dan AS, yang menyeret suku Indian yang tidak suka dengan penjajahan AS. Di sisi lain, AS selatan yang benci Spanyol dengan sendirinya terseret pada ambisi AS untuk menyatukan negara.
Poin penting lainnya perseteruan negara adidaya pada era itu telah mengakibatkan perang yang menyikut beberapa negara dan berbagai pihak. Memang pada akhirnya perang berakhir dan perdagangan lancar. Akan tetapi kerugian dan korban-korban berjatuhan. Era sekarang tidak lagi seperti konflik keras zaman dulu itu karena kemudian lahir poros trans-Atlantik.
Sejarah berulang
Situasi agak mirip terjadi dalam hal perseteruan AS-China kali ini. Hal ini juga mulai menyeret banyak negara. Perang dagang ini muncul karena AS di bawah Presiden Donald Trump ingin menghambat laju China untuk menjadi kekuatan nomor satu dari segi ekonomi. AS tidak mau menyerah, seperti dituliskan mantan Menlu Jerman Joschka Fischer.
Aksi saling balas telah terjadi di antara kedua negara. AS mengenakan tarif impor asal China hingga melarang sebagian perusahaan AS berbisnis dengan korporasi China. Negara Tirai Bambu itu tidak mau kalah dan telah memutuskan pengenaan tarif hingga memperingatkan warganya agar berhati-hati jika memilih studi di AS. Negara ini juga memperingatkan warganya agar waspada jika berkunjung ke AS.
Untuk mendukung upaya ini, AS mengajak banyak negara untuk mengisolasi China. Dalam perjanjian dagang AS-Kanada-Meksiko (USMCA) ada klausul bahwa AS bisa menghentikan dengan sendirinya perjanjian itu jika Kanada atau Meksiko mendeklarasikan kerja sama dengan negara yang bukan negara perekonomian pasar. Klausul ini tidak eksplisit menyebut nama negara, tetapi tujuan kalimat itu jelas, China.
Upaya blokade terhadap laju pembangunan China, terutama program ”Made in China 2025”, juga gencar dilakukan. Program ini begitu menakutkan bagi AS seperti disebutkan Mendag AS Wilbur Ross. Bahkan upaya blokade dilakukan AS dengan mengajak Inggris, Australia, Selandia Baru, hingga Jepang untuk teknologi 5G buatan Huawei.
China pun demikian, turut membalasnya. Negara ini, misalnya, telah memperingatkan Kanada akan konsekuensi yang akan dihadapi jika turut bersekutu dengan AS dalam upaya meredam Huawei, perusahaan teknologi informasi China.
Dalam bentuk lain China juga melakukan ”perlawanan” dengan mengajak negara-negara lain untuk ”memusuhi” AS. China telah memanfaatkan Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO) secara tidak langsung untuk tujuan itu. Lewat program One Belt One Road (OBOR) China, sebuah program pembangunan investasi global, juga mengajak banyak negara untuk masuk ke dalam rombongannya.
Sulit untuk netral
Menjadi netral tentu agak sulit menghadapi kemelut AS-China. ”Lambat atau cepat semua negara yang bergantung pada pasar global akan memilih salah satu, kecuali negara itu mampu bertahan terhadap tekanan AS atau China,” demikian Joschka Fischer.
Uni Eropa sendiri tidak memilih salah satu, tetapi memilih untuk bersikap cerdik dalam situasi itu, konfrontasi AS-China. Dengan demikian, UE tidak terhalang untuk mengambil manfaat dari relasi yang baik dengan kedua pihak.
Ketika satu negara harus berpihak pada salah satunya, memang ini pilihan berisiko. Netralitas adalah pilihan pas, seperti ditekankan Menhan Singapura Ng Eng Hen, bahwa Asia sebaiknya tidak berada pada posisi untuk memilih AS ataupun China.
Akan tetapi, tidak mudah menjadi netral karena kepentingan pasar, setidaknya demikian. Di sisi lain ada fakta empiris bahwa tidak ada sahabat sejati, tetapi kepentingan permanen, seperti dipopulerkan oleh negarawan yang juga pernah menjadi Perdana Menteri Inggris John Henry Temple.
Jika Asia memilih China, harus diingat jasa AS membebaskan Asia dari belenggu invasi Jepang yang menyayat hati. Pendulum ekonomi kini sedang berpihak pada China dengan kecenderungan perdagangan intra-Asia yang terus meningkat. Dalam konteks ini, China sebagai kekuatan besar ekonomi menjadi inti.
Hanya saja dalam konteks China lepas kendali suatu saat, dependensi Asia secara ekonomi pada China tidak mustahil bisa menjadi bumerang. Maka, tidak heran jika tidak ada yang menyarankan keberpihakan pada AS maupun China, khususnya di Asia.
Maka adalah kewajiban bagi China untuk menghindari perpecahan yang melibatkan banyak negara, walau memang hal ini dipicu oleh Presiden AS Donald Trump. China berkewajiban memenuhi janjinya untuk menjadi kekuatan global yang damai seperti berkali-kali diutarakan Presiden Xi Jinping. ”Bukan menjadi kekuatan yang mengejar hegemoni”, dan jika menjadi kuat tidak akan menjadi kekuatan pendikte, tetapi menjadi kekuatan pembawa kedamaian, demikian benang merah dari Presiden Xi (China Daily, 18 Oktober 2017).
Memang benar, AS terus-menerus memprovokasi kemarahan China dengan tuduhan tiada henti. China diharapkan bisa memaklumi. Sebab hal ini bukan kemauan semua pihak di AS. Ada kelompok liberal di AS yang tidak mau melihat kenyataan bahwa China sedang menguat dan AS melemah.
Hanya saja seperti dituliskan oleh Thomas L Friedman, penulis buku terkenal The World is Flat, China perlu mendengar apa yang menjadi kemarahan AS. Salah satunya adalah pencurian teknologi milik AS oleh China. Maka sarannya adalah bagaimana merekonsiliasikan perbedaan kontras yang memang masih ada di antara AS dan China, demikian Friedman.
Celah damai ada
Kehebatan China tidak hanya ditentukan oleh kerja kerasnya, termasuk inovasinya. Kehebatan China juga akan ditentukan kedahsyatannya dalam relasi internasional. Untuk ini, ada celah damai bagi AS-China.
”Kompetisi tidak berarti harus berkonflik,” demikian Penjabat Menhan AS Patrick Shanahan. Menhan AS ini memberi sinyal akan keinginan AS untuk terus bekerja sama dengan Beijing.
Kolonel Senior Zhou Bo, Direkttur The Centre for Security Cooperation di Departemen Pertahanan China, menyambut pernyataan Shanahan sebagai sinyal kesediaan bekerja sama dari AS.
China maju karena China itu sendiri yang mau maju. China maju karena visi ekonominya sejak era Deng Xiaoping. China memilih diam dan terus bekerja, inilah moto Deng lewat frasa tao guang yang hui. Hanya saja, Deng mungkin menekankan bahwa pada saat sudah hebat, maka tunjukkan kehebatan itu. Akan tetapi, tidak ada kepastian bahwa Deng ingin menekankan bahwa saatnya menunjukkan kekuatan jika China sudah hebat.
Maka, mungkin hal yang lebih baik bagi China adalah dengan tetap mempertahankan sikap diamnya dan tentu kesediaannya bekerja sama. China boleh bangga dan layak bangga sebagai negara hebat. Akan tetapi, sebagai salah satu negara di Asia dan ikrar menjadi kekuatan damai, sikap ”diam itu adalah emas” tampaknya menjadi keharusan bagi China. (AP/AFP/REUTERS)