Presiden Xi dan Trump, Dua Figur Kontras
AS dan China merupakan kekuatan ekonomi nomor satu dan dua di dunia. Dua negara ini saling bersaing dalam perebutan supremasi geopolitik tetapi juga memiliki kaitan kuat dalam relasi ekonomi. Ini berbeda dengan era persaingan AS dan Uni Soviet.
Oleh sebab itu, AS dan China memiliki prospek kuat untuk kolaborasi. “Perekonomian kedua negara terkait erat,” demikian dikatakan Presiden China Xi Jinping di St Peterburg, Rusia, Sabtu, 8 Juni 2019.
Bagaimana sikap dan sepak terjang kedua pemimpin? Bagaimana keduanya bersaing soal supremasi geopolitik, namun juga cerdik memanfaatkan relasi bilateral dan multilateral?
Menjawab soal itu, dua presiden negara adi daya ini amat kontras. Kehebohan yang mengernyitkan dahi lebih banyak muncul karena Presiden AS Donald Trump.
Tidak ada sesuatu hal yang memerangahkan dunia dari AS di bawah pemerintahan Trump. Hal yang ada adalah keinginan AS menunjukkan taring dengan program “America First”. Program ini membuat Trump mengobrak-abrik tatanan global.
Baca juga: Sikap Diam China Mencegah Banyak Negara Terjebak Dilema
Langkah penguatan negara AS di bawah Trump melenceng. Aksinya juga merusak persahabatan yang berefek pada kolaborasi bilateral maupun multilateral.
Trump sangat berbeda dengan Presiden China Xi Jinping. Tanpa banyak kata-kata negara tirai bambu ini di bawah Presiden Xi sedang dalam proses nyata untuk mengubah tatanan global.
Merangkul dan destruktif
Warna dua presiden terkuat di dunia ini berbeda, demikian pula perangai mereka soal globalisasi dan pengaturan permainan global. “Saya tidak hadir untuk mendestruksi tetapi berkolaborasi,” demikian kurang lebih inti dari pidato Presiden Xi di St Petersburg.
“Saya tidak ingin membangun sebuah tembok atau menggali terowongan, dan semua yang saya lakukan adalah memperluas lingkaran persahabatan,” demikian Presiden Xi.
Xi Jinping benar. Saat Trump terpilih sebagai presiden, Xi segera menemui Trump di Mar-a-Lago, West Palm Beach, Florida, 7 April 2017. Pertemuan dilakukan tak lama setelah inaugurasi Kepresidenan Trump yang dilangsungkan pada 20 Januari 2017. Sampai kini Xi masih menyebut Trump sebagai “teman”.
Bukan hanya itu, Presiden Xi menghabiskan banyak waktu untuk bertemu para pemimpin Asia, Eropa, Amerika Latin, dan Afrika. Bandingkan dengan Trump yang lari dari pertemuan G7 di Kanada pada 9 Juni 2018.
Baca juga: Tidak Ada Logika dalam Taktik Dagang Trump
Trump tak menghadiri komunike bersama G7 dan memilih bertemu pemimpin Korut Kim Jong-un di Singapura. Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau juga disebutkan oleh Trump sebagai pemimpin lemah. Tata krama Trump dalam berkomunikasi seperti bumi dan langit bandingannya terhadap Xi. Pertemuan Trump dengan Jong-un bahkan bagi Trump dianggap terlalu penting sehingga bertemu lagi di di Vietnam.
Lihatlah juga Trump yang telah membuat Kanselir Jerman Angela Merkel sampai berkata bahwa kini Uni Eropa ada pada pemilihan jalannya sendiri setelah merasa gagal mengajak Trump berkolaborasi.
Hal serupa disampaikan Presiden Perancis Emmanuel Macron, yang menyerukan kolaborasi Atlantik karena masih dibutuhkan. Setelah merasa gagal dengan misinya, Macron balik mengecam program Trump termasuk dalam pidato Macron di Majelis Umum PBB pada 26 September 2018.
Xi memburu kolaborasi
Apapun tuduhan Barat, entah itu disebut sebagai trik politik, Presiden Xi memang sangat kontras dengan Trump. Xi sibuk mengajak tetangganya, Jepang, berkolaborasi. Trump sibuk menekan Meksiko dan Kanada.
Itulah fenomena umum dari dua figur presiden terkuat dunia itu. Presiden Trump sibuk menggembar-gemborkan “America First”, di sisi lain Presiden Xi gemar mengajak kolaborasi global.
Demikian juga dalam hal posisi domestik. Xi sangat kuat di dalam negeri. Trump sibuk berantem dengan lawan-lawan politik. Xi merangkul di dalam dan di luar negeri. Trump telah menyebabkan kisruh politik domestik sejak menjabat sampai sekarang. Hingga Ketua DPR AS Nancy Pelosi menyatakan ingin menyaksikan Trump dipenjarakan.
Kebijakan domestik
Dalam kebijakan domestik dua presiden ini juga sangat kontras. Trump menggempur sekutu tradisional hingga lawan ideologi. Proteksionisme menjadi warna utama dengan tujuan agar investasi balik ke AS, yang tidak kunjung datang.
Trump tidak menyadari kuatnya makna dari global supply chain. Mekanisme baik yang sudah tertancap dalam di jaringan produksi global. Hal ini sudah berkali-kali diucapkan ekonom AS, Joseph E Stiglitz, serta profesor ekonomi dari Yale University, Stephen Roach. Seruan ini mental.
Trump juga menghabiskan waktu untuk pembangunan tembok perbatasan dengan Meksiko.
Dari segi ekonomi makro, walau ini bukan unik atau khas Trump, AS tidak berpikir soal pengurangan utang atau peningkatan pajak. Pemerintahan AS sibuk berbicara tentang sukses ekonomi berdasarkan indikator kenaikan indeks saham. Ini bukan gambaran utama fondasi ekonomi.
Bahkan Trump menyatakan dia tidak perlu khawatir jika kelak utang meledak seperti 2008 dan menyebabkan resesi. “Sebab saat itu terjadi, saya tidak ada di sini lagi,” demikian kata Trump.
Baca juga: AS Mati-matian Menekan Huawei, Asia Bergeming
Trump juga sibuk menyerang peran para Presiden AS sebelumnya. Sementara Xi melanjutkan apa yang telah dilakukan pendahulunya sembari melakukan modifikasi pada apa yang kurang.
Presiden Xi sangat visioner dengan pencanangan program “Made in China 2025” dengan mengandalkan kolaborasi global. Di dalamnya ada program inovasi yang intensif. Program ini turut mendatangkan talenta terbaik dunia dengan gaji tinggi dan insentif luar biasa.
Maka tidak heran jika mantan Menkeu AS Larry Summers berkata, “Misi memperkuat negara menjadi sirna karena AS tidak saja memerangi China tetapi juga memerangi sekutu.”
George Magnus, peneliti dari China Centre, Oxford University, menekankan pentingnya kedua negara berkolaborasi. Sayangnya kedua pihak tidak memiliki lembaga efektif untuk berkomunikasi. Trump menyerukan pengaturan kembali relasi AS-China, mengabaikan ketergantungan ekonomi bilateral yang sudah tercipta.
Para pemimpin China, kata Magnus, menyentuh nuansa “era baru”. AS menurut Magnus, tidak akan berhasil dengan pengaturan kembali relasi jika itu dilakukan dengan perseteruan terhadap sekutu dan ambivalensi AS soal Asia.
China lebih jelimet dalam pandangan Magnus. Dan kini muncul gejala Presiden Xi siap melawan balik semua yang dilakukan Trump, terutama terkait tekanan terhadap China. Inilah yang menjadi kekhawatiran Dana Moneter Internasional (IMF). Perseteruan dagang pasti berefek secara global.
Memang tidak ada pilihan bagi Trump dan rombongannya, harus mengubah paradigma soal China dan kolaborasi dunia. Adalah keharusan bagi AS-China untuk memiliki rasa saling percaya, seperti saran Magnus. (AFP/AP/REUTERS)