Pengkhianatan Seorang Kawan
Roma, selalu mengingatkan kisah pengkhianatan. Sebuah pengkhianatan yang masih dikenang hingga kini. Sebuah pengkhianatan yang kerap dijadikan contoh bagaimana ambisi kekuasaan itu bisa menerjang segala macam paugeran, tata-susila, etika, tatanan moral, dan bahkan tembok ajaran agama.
Kisah pengkhianatan itu pula yang membenarkan apa yang pernah dikatakan oleh Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), seorang negarawan, orator, ahli hukum, dan filsuf Romawi. ”Hostis aut amicus non est in aeternum; commoda sua sunt in aternum—lawan atau kawan itu tidak ada yang abadi; yang abadi hanyalah kepentingan,” begitu nasihat Cicero.
Ungkapan itu pula yang berlaku dalam politik: tidak ada kawan dan lawan yang abadi dalam politik, yang ada (abadi) adalah kepentingan. Karena itu, Publillius Syrus (yang diperkirakan hidup berkisar 85–43 SM), seorang budak dari Suriah yang dibawa ke Roma pada zaman dahulu, menasihatkan, ”Cave amicum credas, nisi quem probaveris”—hati-hatilah, jangan memercayai seseorang teman, kecuali engkau telah mengujinya.
Akan tetapi, bukankah Gaius Julius Caesar (100-44 SM), yang dikenal sebagai diktator, politikus, jenderal, dan sejarawan, sudah mengenal Marcus Junius Brutus, yang juga seorang senator. Brutus oleh Caesar tidak hanya dikenal sebagai sahabat, bahkan anak.
Kuasa kegelapan, nafsu akan kekuasaan ternyata lebih kuat dibandingkan hubungan perkawanan; bahkan hubungan ”bapak-anak”. Brutus bersama Gaius Cassius Longinus serta sejumlah senator mengkhianati Caesar.
Baca juga: Sore Itu, Kami ke Kafe
Mereka ramai-ramai membunuh Caesar. Tak kurang dari 23 tusukan belati menembus badan Caesar, termasuk belati Brutus. Maka, ”Tu quoque, Brute, fili mi. Engkau juga, Brutus, anakku,” kata Caesar sebelum tewas, melihat Brutus menusuknya, 15 Maret, 44 SM, di pusat kota Roma, di Torre Argentina (semula banyak diyakini bahwa pembunuhan itu terjadi di Theater Pompey, Gedung Senat).
Kisah pengkhianatan dan pembunuhan terhadap Caesar menegaskan ujar-ujaran bahwa selama politik diartikan sebagai ”kegiatan di mana orang bernegosiasi, berkolaborasi, dan bekerja sama untuk ’How to get the power’?”, maka jangan harap akan tercipta ketenteraman, perdamaian, dan persahabatan serta persaudaraan sejati.
Salah satu penggagas pembunuhan terhadap Caesar yaitu Publius Servilius Casca Longus, juga seorang senator. Dialah pembujuk Brutus dan yang pertama kali menusuk Caesar. Tusukan Casca mengenai bahu kiri Caesar yang disusul tusukan para anggota senat lainnya.
Mengapa Casca Longus menjadi salah satu auktor intelektualis pembunuhan Caesar? Sebab, prinsip yang mereka pegang seperti yang diungkapkan di atas ”lawan atau kawan itu tidak ada yang abadi; yang abadi hanyalah kepentingan”. Ujar-ujaran itu kini dirumuskan menjadi ”tidak ada kawan dan lawan abadi, yang ada adalah kepentingan”.
Baca juga: Lelaki Tua dan Seekor Anjing
Bila demikian, benar apa yang disampaikan Harold Lasswell (1902-1978), seorang ilmuwan politik dari Amerika Serikat dalam bukunya, Dalam Politik: Siapa yang Mendapat Apa, Kapan, Bagaimana (1936). Judul buku ini kemudian oleh kalangan awam politik dijadikan sebagai definisi politik. Jadi, berpolitik itu lebih berurusan dengan siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana cara mendapatkannya.
Berpolitik sama seperti berperang. Tujuan akhir sebuah peperangan adalah merebut kemenangan. Demikian pula dalam berpolitik, hanya kemenangan yang akan menjadi tujuan akhir. Kemenangan itu akan membawa kekuasaan. Tidak ada satu pihak pun yang mau menderita kekalahan. Karena itu, segala cara dilakukan untuk mewujudkan kemenangan itu.
Memang, politik riil adalah pertarungan untuk mendapatkan kekuasaan. Dalam pertarungan itulah muncul kecenderungan untuk menghalalkan segala cara—meminjam istilah yang dikemukakan oleh Niccolo Machiavelli. Padahal, seharusnya, finis non iustificat medium, tujuan akhir tidak menghalalkan segala cara.
Tentu pengertian politik seperti tersebut di atas sangat berbeda dengan pengertian yang disodorkan oleh Guru Besar Emeritus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Franz Magnis-Suseno.
Menurut Franz Magnis-Suseno, politik adalah segala kegiatan manusia yang berorientasi kepada masyarakat secara keseluruhan, atau yang berorientasi kepada negara. Sebuah keputusan disebut keputusan politik apabila diambil dengan memperhatikan kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan. Suatu tindakan harus disebut politis apabila menyangkut masyarakat sebagai keseluruhan.
Dengan demikian, kalau mengikuti definisi yang disodorkan oleh Franz Magnis-Suseno, tujuan akhir dari kegiatan politik adalah untuk kepentingan masyarakat banyak. Itulah karenanya, tujuan politik dimaksudkan untuk terciptanya kemaslahatan bersama, kemakmuran masyarakat secara keseluruhan, yang juga sering disebut sebagai bonum commune.
Pertanyaannya adalah apakah selama ini tujuan politik seperti di atas sudah menjadi tujuan utama para politikus, para elite politik, elite partai politik, atau para anggota legislatif dalam berpolitik? Pertanyaan ini perlu sekali dikemukakan pada saat ini.
Baca juga: Maximus, Sang Gladiator
Terungkapnya begitu banyak kasus korupsi, entah yang melibatkan politisi dalam berbagai jenjang, elite politik—mulai dari kepala desa sampai gubernur—dan juga dari kalangan birokrasi menunjukkan atau membuktikan bahwa tujuan luhur politik telah diselewengkan.
Mereka lebih memikirkan diri sendiri ketimbang memikirkan dan mewujudkan kepentingan masyarakat, rakyat. Padahal, semestinya, kekuasaan politik adalah kekuatan untuk menata atau mengatur masyarakat.
Demikian pula, apakah manuver-manuver politik yang dilakukan para elite politik belakangan ini bertujuan memperjuangkan terciptanya kesejahteraan rakyat, atau kesejahteraan partai, atau kesejahteraan diri? Manuver politik—yang secara sederhana dapat diartikan sebagai gerakan yang cepat dalam bidang politik—dalam dunia politik adalah hal yang biasa, hal yang lumrah.
Sulit untuk dimungkiri bahwa berbagai manuver politik dan juga pertemuan-pertemuan yang diberi judul ”silaturahmi” itu tidak berwarna, bahkan tidak berisi kepentingan politik. Bukankah seperti di atas sudah disebutkan bahwa politik adalah soal kepentingan. Maka itu, dalam dunia politik berlaku prinsip do ut des, quid pro quo, ”saya beri agar engkau memberi”. Ini prinsip traksasional.
Meskipun, sebenarnya, kepentingan luhur politik adalah kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh masyarakat yang beragam, bukan melulu kepentingan partai tertentu atau kelompok tertentu saja.
Baca juga: Politik ”Kumpul Kebo”
Pada akhirnya, yang perlu diingat, karena dalam berpolitik ada adagium ”tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada adalah kepentingan”, maka berlaku pula kata-kata bijak lainnya, ”hati-hatilah, jangan memercayai seorang teman, kecuali kalau engkau sudah mengujinya”. Mengapa demikian? Sebab, ”selama periuk masih panas, persahabatan tetap hidup”.
Artinya, tetaplah percaya kepada sahabat lama, yang memang sudah teruji. Sama seperti yang dikatakan oleh Cicero, ”Amicus certus in re, incerta cernitur”—sahabat yang sejati dikenal di saat-saat sulit.
Jadi, bukan dikenal ketika pesta sudah usai, kursi sudah ditumpuk dimasukkan ke gudang, tenda sudah digulung, hiasan dicopot semua, piring-piring dan gelas dicuci, dan orang pulang ke rumah masing-masing.
Pesta sudah usai. Hari esok akan membawa ke tahun yang penuh harapan, tahun sukacita dan memberikan berkah melimpah pada bangsa Indonesia; tahun kemenangan bagi kemanusiaan sejati, kemenangan bagi hati dan pikiran yang jernih, yang masih tetap meyakini bahwa berpolitik adalah untuk kesejahteraan bersama. Dan, tidak menjadi tahun di mana kewarasan hati dan pikiran tergadaikan karena memburu kekuasaan. ***