Iran Tak Lupa Kudeta Dukungan CIA (1)
Menilik sejarahnya, kekayaan minyak menjadi salah satu faktor pengubah arah negara, termasuk Iran yang kini sangat konfrontatif dengan Barat. Salah satu penyebabnya adalah Inggris yang haus minyak, dibantu AS mengotaki kudeta yang terus membekas bagi Iran. Kisah soal sejarah minyak dan kudeta serta dampak lanjutannya dibahas dalam dua tulisan bersambung.
Sebutan bahwa minyak adalah berkah sekaligus “kutukan” sangat tepat menggambarkan sejarah modern Iran. Ini juga terjadi di banyak negara kaya minyak. Menilik sejarahnya, kekayaan minyak menjadi salah satu faktor utama pengubah arah negara. Iran kini sangat konfrontatif dengan Barat. Salah satu penyebabnya adalah Inggris yang haus minyak dibantu AS mengotaki kudeta yang terus membekas bagi Iran.
“Air ini bukan untuk warga Iran”. Demikian tulisan di sebuah aliran air dekat lokasi BP, raksasa perusahaan minyak Inggris, yang pernah menguasai minyak Iran. Aliran air bersih itu hanya untuk orang Inggris. Inilah salah satu dari sekian banyak perlakuan tak adil di tengah kehadiran BP pada masa silam seperti dituliskan majalah Time, 2 Juni 2010, lewat artikel berjudul A Brief History of BP.
Bagaimana Inggris bisa ada di Iran? Di atas kertas Iran tidak pernah dijajah oleh siapa pun. Hanya saja Iran terjebak di tengah ambisi zaman Victoria Inggris versus zaman Tsar Rusia yang sama-sama ingin memiliki pengaruh di Asia Tengah. Persia terjebak di tengahnya. Akan tetapi, Inggris dengan kekuatan Angkatan Laut-nya lebih mampu menegaskan kekuasaan selama berabad-abad di negara ini.
Awalnya Inggris tidak memiliki pandangan tentang kekayaan minyak Iran. Hanya saja pasukan Alexander Agung pernah menyaksikan asap hitam dari dalam tanah ketika memasuki Iran, dulu Persia.
Pada 1901, ahli pertambangan Inggris kelahiran Australia, William Knox D\'Arcy, mendapatkan konsesi dari Persia lewat pengaruh Inggris, untuk melacak deposit minyak di barat daya Iran. Pencarian berlangsung selama tujuh tahun dan hampir saja sia-sia. Mendadak pada 1908 ditemukan sumber minyak, yang menjadi titik awal berdirinya perusahaan milik pemerintah Inggris, The Anglo-Persian Oil Company, cikal bakal BP.
Perusahaan mengeksploitasi temuan minyak terbesar pada masanya. Bisnis ini memberikan untung besar bagi Inggris sepanjang dekade 1920-an hingga 1930-an. Pada 1935, nama perusahaan diubah menjadi Anglo-Iranian Oil Company (AIOC). Ini sekadar pergantian nama Persia menjadi Iran.
Baca juga: Fregat dan Tanker Inggris ”Tak Berdaya” Hadapi Iran
AIOC kemudian mendirikan pabrik penyulingan minyak di dekat kota Abadan, juga terbesar pada zamannya. Sebanyak 200.000 karyawan dipekerjakan. Namun akar persoalan yang kelak menjadi pelik sekaligus dimulai. Para karyawan bekerja dengan kondisi suhu panas dipimpin para staf Inggris dari ruangan sejuk.
D’Archy mengakali kontrak yang membuatnya menjadi pemilik tunggal minyak dan hanya membayar 16 persen keuntungan ke pemerintah Iran. Kontrak ini didukung pemerintah Inggris dan monarki absolut Iran. Tidak boleh ada kajian ulang dari Iran soal kontrak ini, tidak boleh ada orang lain menggali, menyuling, dan mengekstraksi atau menjual minyak Iran.
Tentu Angkatan Laut Inggris menjadi pengaman bagi kegiatan bisnis minyak ini. “Keberuntungan melampaui impian liar kita telah memberi kita hadiah dari sebuah lahan,” kata Laksamana Winston Churchill pada 1911.
Pemerintah Inggris kemudian membeli konsesi milik D\'Arcy. Dari dekade 1920-an hingga 1940-an standar kehidupan Inggris meningkat. Ini didukung minyak Iran. Mobil-mobil, truk-truk, bus-bus Inggris melaju karena minyak murah dari Iran. Kapal-kapal Angkatan Laut Inggris (Royal Navy) memakai minyak Iran.
Selama Perang Dunia II, kilang minyak di Iran terus memasok bahan bakar untuk pasukan sekutu. Saat bersamaan para karyawan Iran kekurangan makan dan sebagian terserang wabah kolera. Pada 1949, Manucher Farmanfarmaian, seorang Pangeran Iran yang saat itu menjabat Direktur Lembaga Petroleum Iran, pengawasan BP, juga mengisahkan derita kehidupan di sekitar.
Akar nasionalisasi
Puluhan tahun ketidakadilan berlalu. Ini tidak luput dari pengamatan Iran. Banyak warga yang tidak senang dengan kehadiran AIOC. Bagi hasil tambang minyak sangat tidak adil. Para ulama juga tidak senang dengan semua itu. Ayatollah Abol-Ghasem Kashani, ulama dan figur politik terkemuka pada dekade 1950-an, telah lama dipandang sebagai pahlawan nasionalis.
Ini memuncak saat Mohammad Mossadegh terpilih secara demokratis sebagai Perdana Menteri Iran. Pada pada 28 April 1951, parlemen Iran memilih seorang tokoh yang sangat bersemangat soal nasionalisasi minyak sebagai PM. Mossadegh merupakan figur yang dicintai.
Baca juga: Sikap Iran Sangat Rasional (1)
Mossadegh peraih gelar doktor hukum pertama asal Iran dari hasil studi di Perancis dan Swiss. Ini mendorongnya mengembangkan tradisi politik demokratis yang telah lama berkembang di Eropa. Dia berharap dapat mengembangkan demokrasi di Iran. Caranya yang terpilih secara demokratis membuat posisi Shah Iran, Mohammad Reza Pahlavi, memudar.
Inggris menolak keras
Mossadegh pun kemudian memutuskan nasionalisasi AIOC pada 1951, keinginan lama warga. Namun bagi Inggris, nasionalisasi merupakan "hinaan" untuk mereka, yang memiliki status tidak tertulis, sebagai pengatur dunia. Nasionalisasi saat itu merupakan hal yang mustahil walau kesadaran bangsa-bangsa sangat marak pasca-Perang Dunia II.
Pada awal konfrontasi terkait nasionalisasi, para Direktur Anglo-Iranian Oil Company dan mitra di Inggris memutuskan strategi: tidak ada negosiasi, tidak ada kompromi, dan tidak menerima nasionalisasi dalam bentuk apapun. Perlawanan dicanangkan. Jalur pipa utama minyak ditutup. Inggris dan AS menghalangi masuknya teknisi Eropa yang disewa Iran untuk menggantikan teknisi Inggris.
Perusahaan minyak Inggris ini menarik semua teknisi dari Abadan, memblokade pelabuhan, memotong jalur ekspor vital untuk Iran, membekukan semua kekayaan Iran di perbankan Inggris serta mencoba mendapatkan resolusi anti-Iran dari PBB dan pengadilan internasional. Langkah Inggris ini malah mengukuhkan semangat Iran soal nasionalisasi.
Minta bantuan CIA
Inggris pun meminta bantuan intelijen AS. Para pejabat Central Intelligence Agency (CIA) dan agen rahasia Inggris bertemu pada 13 May 1953 di Nicosia, Siprus, untuk merancang kudeta. Putusan belum diambil tetapi kantor CIA di Teheran sudah mulai melakukan kampanye untuk menyudutkan pemerintahan Mossadegh. Ini kelanjutan dari keputusan pendalaman CIA pada 16 April 1953 bahwa kudeta di Iran dimungkinkan.
Akhirnya Inggris berpaling untuk meminta tolong pada AS secara formal dengan pesan: menjungkalkan Mossadegh sehingga BP bisa meraih kembali kekuasaan atas minyak. Inggris memberi jaminan pada AS akan bersikap fleksibel soal penguasaan minyak Iran.
Presiden AS Dwight D Eisenhower menyetui pertolongan pada 11 Juli 1953. PM Inggris Clement Attlee lebih dulu memberi persetujuan rencana kudeta, yakni pada 1 Juli 1953.
Persetujuan Eisenhower didorong Menlu AS John Foster Dulles, pembela setia kekuasaan korporasi trans-nasional di seluruh dunia dan sangat anti-komunis. Ketika itu isu bahwa komunis merangsek ke Iran dimunculkan.
Baca juga: Serangan ke Iran Tak Perlu, Solusi Terbuka Lebar (1)
Eisenhower setuju mengirim agen-agen Central Intelligence Agency (CIA) untuk tugas dengan nama “Operasi Ajax”. Kermit Roosevelt Jr, cucu kandung Presiden Theodore Roosevelt, memimpin operasi lapangan CIA di Iran.
Kudeta dimulai pada 15 Agustus 1953. Sebelum itu Roosevelt meminta Shah mengeluarkan dekrit pemecatan Mossadegh sebagai PM. Saat bersamaan Roosevelt memperkuat jaringan Inggris dan simpatisan Shah di Iran untuk aksi kudeta.
CIA memaksa Shah
Pada 1 Agustus 1953 dalam pertemuan dengan Jenderal H Norman Schwarzkopf, sebenarnya Shah menolak penerbitan dekrit pemecatan Mossadegh. Shah juga menolak penunjukan Jenderal Fazlollah Zahedi menggantikan Mossadegh sebagai PM, usulan CIA. Mossadegh dari garis ibunya juga merupakan keturunan dari Dinasti Qajar, dengan demikian memiliki darah ningrat juga.
CIA tidak kehilangan akal. Atas desakan CIA, Putri Ashraf, saudari kandung Shah, terbang dari Perancis menuju Teheran pada 25 Juli 1953. Tujuannya meyakinkan Shah untuk menerbitkan dekrit pemecatan Mossadegh.
Akhirnya pada 13 Agustus 1953, Shah menerbitkan juga dekrit pemecatan Mossadegh. Merebaklah dari mulut ke mulut dukungan kudeta di Iran. Politik pengepungan kekuasaan Mossadegh dilakukan. Akan tetapi aksi ini mudah dipatahkan. Mossadegh melakukan penangkapan terhadap puluhan orang pendukung kudeta.
Jenderal Fazlollah Zahedi, tokoh konspirasi, menyembunyikan diri pada 15 Agustus 1953. Shah sendiri melarikan diri pada 16 Agustus 1953 ke Baghdad, Irak.
CIA sebenarnya meyakini kudeta itu akan gagal sehingga menyerukan pembatalan pada 18 Agustus 1953. Seruan ini diabaikan oleh Kermit Roosevelt, pejabat puncak CIA di Iran. Itu diutarakan Malcolm Byrne, yang memimpin Proyek Relasi AS-Iran di National Security Archive, George Washington University.
“(Roosevelt) menjawab tidak – kita tidak berakhir di sini.” Kemudian diketahui bahwa Roosevelt menjalankan rencana kudeta ini tanpa perintah dari Langley, markas CIA yang sudah menegaskan “hentikan dan batalkan” kudeta.
Roosevelt menyebarkan berita bahwa Mossadegh berusaha merebut takhta dan menyuap agen-agen Iran, yang dalam kenyataannya adalah kebalikannya. Menurut Stephen Kinzer, penulis buku All the Shah\'s Men, Roosevelt dengan cepat membeli pers Iran termasuk dengan menyogok untuk mengumandangkan kebencian terhadap Mossadegh dan didengungkan sebagai ancaman. Pers AS pun turut memberitakan isu ini dengan mendukung kudeta.
Pemerintahan Eisenhower tak bisa mengendalikan apa yang terjadi. Roosevelt mencuatkan isu bahwa Komunis di Iran pun dalam kondisi merebut Iran, walau tidak ada bukti soal itu.
Baca juga: Provokasi Murahan AS di Iran Ketahuan
Pada 19 Agustus 1953, protes massal merebak di Iran dan menyebabkan 300 orang tewas di jalanan Teheran. Kudeta tahap kedua sukses. Para nasionalis Iran dipenjarakan, Mossadegh kemudian diadili dan menghabiskan sisa hidupnya sebagai tahanan rumah.
Eisenhower diam-diam menganugerahi Roosevelt “National Security Medal” pada 1954 untuk "karyanya" di Iran. Dalam operasi itu Roosevelt memakai nama samaran, James Lochridge.
Di Iran, kekuasaan Shah ditegakkan dan Zahedi didudukkan sebagai PM. Anglo-Iranian Oil Company dinamai British Petroleum. Intinya perusahaan Inggris kembali mengendalikan minyak Iran, salah satu tujuan utama kudeta.