China Bermain Cantik lewat Yuan
China memberikan perlawanan tak langsung kepada AS terkait dengan tekanan dagang dengan pelemahan yuan terhadap dollar AS. Indonesia harus bersiap dengan gejolak yang tak terduga dengan menjaga rambu-rambu ekonomi.
Kurs mata uang yuan melemah lebih rendah lagi. Untuk pertama kali sejak 2008, kurs yuan melemah ke level di atas 7 yuan per dollar AS di pasar valuta asing. Bursa saham global pun bergejolak tak keruan. Makna dari kejadian ini adalah China memberikan perlawanan tak langsung kepada Amerika Serikat terkait dengan tekanan dagang dan lainnya.
Presiden AS Donald Trump pada Senin (5/8/2019) langsung menuduh China sebagai manipulator mata uang. Pengubahan kurs mata uang adalah sebuah kebijakan untuk menaikkan daya saing ekspor.
Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin menyatakan akan segera menghubungi Dana Moneter Internasional (IMF) untuk merespons tindakan China. Mark Sobel, mantan pejabat keuangan IMF, mengatakan, Mnuchin mungkin disuruh Trump untuk meminta IMF mengeluarkan label pemanipulasi kurs terhadap China.
”Lucu, AS menyatakan China sebagai pemanipulasi mata uang. AS sendiri tidak memiliki instrumen berarti untuk melakukan sesuatu selain mengakumulasi tarif,” kata Sobel, kini sebagai US Chairman Official Monetary and Financial Institutions Forum, yang berbasis di London.
Namun, apalah arti dan daya IMF sekarang ini bagi China terkait dengan permintaan AS. IMF sendiri dalam laporan Juli 2019 sudah mengingatkan bahwa perang dagang AS mengancam ekonomi global. IMF juga sudah menyatakan kurs yuan masih dalam tahap wajar. Pada Oktober 2018 dan Mei 2019, pemerintahan AS sendiri menolak pemberian cap sebagai pemanipulasi mata uang. Pada 1992 dan 1994, China diberi julukan serupa itu.
Baca juga: China Siap Pimpin Dunia dengan ”Mengabaikan” AS
Menurunkan referensi yuan
Heboh terbaru ini terjadi setelah Bank Sentral China mematok kurs yuan pada level 6,9996 yuan per dollar AS sebagai referensi pada Rabu (7/8/2019). Ini referensi yang lebih lemah ketimbang referensi pada Selasa (6/8/2019) sebesar 6,9683 yuan per dollar AS. Referensi pada Rabu ini lebih lemah lagi dari referensi pada Senin (5/8/2019) sebesar 6,9225 yuan per dollar AS.
Dengan referensi itu, maka akan dibutuhkan mata uang yuan lebih banyak untuk mendapatkan 1 dollar AS. Ini artinya produk AS akan lebih mahal dan produk China lebih murah dalam kurs dollar AS. Kurs yuan di pasar uang lebih lemah lagi dari angka referensi, yakni pada kisaran 7,0454 dan 7,0796 yuan per dollar AS.
Pasar panik hingga merembet ke bursa saham walau hal itu tidak selalu merupakan gambaran fundamental perekonomian. Pasar selalu mudah beriak-riak karena faktor psikologi. Hanya saja, memang yuan untuk pertama kali di pasar valuta tembus ke atas angka 7 yuan per dollar AS.
Baca juga: Presiden Xi dan Trump, Dua Figur Kontras
Gubernur Bank Sentral China Yi Gang mengatakan, pergeseran kurs referensi kurs yuan itu merupakan hal yang wajar dan menggambarkan fundamental ekonomi. Yi Gang menambahkan, China tidak akan melakukan devaluasi kompetitif. Artinya, pemerosotan referensi kurs itu tidak untuk menaikkan daya saing ekspor. Ini hanya gambaran dari perubahan fundamental ekonomi.
Membalas tekanan tarif
Hanya saja, tindakan China ini tidak bisa luput dari persepsi bahwa China sedang melakukan perlawanan tak langsung terhadap AS. Perubahan kurs referensi ini mau tidak mau dikaitkan dengan rencana Trump. Pada Jumat (2/8/2019), Trump mengatakan akan mengenakan lagi tarif 10 persen terhadap 300 miliar dollar AS impor asal China mulai September 2019. Ini di luar tindakan AS yang juga sudah mengenakan tarif 25 persen terhadap 250 miliar dollar AS impor asal China.
Pada September akan berlangsung lagi negosiasi dagang lanjutan antara AS dan China dengan tujuan agar China menaikkan impor dari AS, terutama impor produk-produk pertanian. Trump berang karena sejak perundingan dimulai lagi pada Juli 2019, yang berakhir tanpa kesepakatan pada Mei, China tidak kunjung bersedia menaikkan impor.
Pihak China mengatakan tidak suka dengan gaya AS yang mendikte dan tidak bisa ditebak. AS tampaknya ingin menggunakan kekuatan hegemonik ekonominya yang sudah usang terhadap China, seperti pernah dilakukan terhadap Jepang pada dekade 1980-an. Bagi China, defisit perdagangan AS sebesar 350 miliar dollar AS terhadap China bukan kesalahan China.
Baca juga: Pilar China dan Huawei adalah ”Gaige Kaifang” (Bagian I)
Gagal memberikan tekanan, Trump pun mengancam. ”Jangan menunda lagi peningkatan impor. Sebab, jika saya terpilih lagi pada pemilu presiden 2020, saya tidak akan memberikan ampun kepada China soal perdagangan,” kata Trump.
Bukannya menurut seperti Jepang yang dulu pernah memperkuat yen, demi menaikkan ekspor AS ke Jepang, China menurunkan kurs referensi, artinya depresiasi yuan terhadap dollar AS.
China bergeming bahkan memberikan perlawanan. Bukannya menurut seperti Jepang yang dulu pernah memperkuat yen, demi menaikkan ekspor AS ke Jepang, China menurunkan kurs referensi, artinya depresiasi yuan terhadap dollar AS.
Rezim kurs terkendali
China kebetulan menjalankan rezim kurs terkendali, kurs tidak bebas total sesuai keinginan pasar. Rezim kurs mengambang terkendali merupakan salah satu sistem pematokan kurs. Sistem ini memungkinkan China memainkan kurs referensi. Kali ini untuk melawan taktik dagang AS.
”Sebuah tindakan unilateralisme dan proteksionisme yang mendadak serta tak bertanggung jawab akan mengacaukan peraturan internasional. Ini berdampak material pada ekonomi global dan keuangan,” demikian pernyataan Bank Sentral China seperti dikutip harian The Global Times, corong Pemerintah China, Selasa (6/8/2019).
”Pemerintahan Trump ingin lari dari kritikan dengan menyudutkan China,” kata Guan Tao, seorang mantan pejabat senior di Biro Valuta Asing Negara (China). ”Tindakan AS tak bisa diduga dan tak berdasar serta tak akan disetujui IMF,” lanjut Gao yang berang karena tuduhan AS kepada China sebagai pemanipulasi kurs.
Baca juga: Tidak Ada Logika dalam Taktik Dagang Trump
”Label itu tidak konsisten dengan kriteria kuantitatif yang dipatok Departemen Keuangan AS,” demikian lanjutan pernyataan Bank Sentral China. Depkeu AS akan menyebut satu negara sebagai pemanipulasi kurs jika pergerakan kurs terjadi saat surplus neraca transaksi berjalan turun ke level 2 persen dari level 3 persen terhadap total produk domestik bruto (PDB).
Neraca transaksi berjalan julukan bagi selisih ekspor barang dan impor plus lalu lintas sektor jasa. Jika arus neto negatif dikatakan defisit dan surplus jika arus neto positif. China kini memiliki surplus neraca transaksi berjalan sekitar 1,55 persen pada kuartal pertama 2019, lebih rendah daripada kuartal sebelumnya, menurut Wu Jinduo, seorang eksekutif dari Great Wall Securities, sebuah lembaga riset. Atas dasar itu, China tidak layak dapat label sebagai pemanipulasi kurs.
Surplus neraca transaksi berjalan China itu menurun akibat kemelut dagang dengan pengenaan tarif oleh AS. Langkah China dengan mengubah kurs referensi yuan itu juga tidak banyak dikecam pengamat internasional.
”Pasar menekan yuan karena ancaman Trump tentang tarif dan Bank Sentral China sengaja tidak melakukan intervensi,” kata Gary Hufbauer, ekonom AS dari Peterson Institute, di Washington. Hal serupa juga dikatakan Ann Lee dari New York University bahwa China tidak melakukan intervensi pasar dan membiarkan pemerosotan yuan.
Mengapa China tidak melakukan intervensi? ”Ini wujud eskalasi perang dagang,” kata Steven DeSanctis, ahli perdagangan saham dari Jefferies, sebuah perusahaan sekuritas di New York.
Banyak amunisi
Ekonom AS dari Yale University, Stephen Roach, mengatakan, China memiliki banyak amunisi untuk menghadapi AS. ”Banyak orang mengira China tidak akan menggunakan senjata kurs dan mereka terbukti telah melakukan itu. ...Dan masih mungkin mereka akan menggunakan opsi lain. Anda tidak dapat mengesampingkan opsi penjualan obligasi AS yang dipegang China,” kata Roach, mantan Ketua Morgan Stanley Asia.
Dibandingkan dengan 2013, China kini memiliki obligasi terbitan Pemerintah AS sebanyak 200 miliar dollar AS lebih rendah. China sekarang memegang obligasi Pemerintah AS sekitar 1,11 triliun dollar AS. Seiring dengan itu kurs yuan juga melemah.
Kepemilikan dollar akan menguatkan yuan dan sebaliknya. Dan, tampaknya China telah menyerah soal negosiasi, ”Dan, bermain cantik di pasar valuta,” kata Jens Nordvig, pendiri Exante Data LLC. Melepas dollar lewat penjualan obligasi AS, artinya China dengan sendirinya menopang pemerosotan kurs yuan untuk memelihara kesinambungan ekspor dari segi harga lewat rezim kurs.
Efek ke rupiah
Perang dagang AS-China merembes ke pergerakan kurs. Hal ini otomatis mengimbas ke negara berkembang, termasuk rupiah. Pelemahan yuan berefek ke pelemahan rupiah. ”Ini sudah terjadi dalam dua pekan ini,” kata ekonom Bank Danamon, Wisnu Wardhana.
Akan tetapi, Mei Xinyu, seorang peneliti dari Kementerian Perdagangan China, mengatakan, yuan tidak akan mengalami depresiasi secara tajam. Meski demikian, efek lanjutannya selalu berimbas ke negara berkembang termasuk Indonesia. Masalahnya, AS dan China adalah dua mitra dagang utama Indonesia, kata Wisnu.
Baca juga: Pemodal Asing Akan Menyerbu Indonesia
Pelemahan yuan berpotensi melemahkan daya saing ekspor Indonesia jika dikalkulasikan dalam dollar AS. Maka, rupiah pun melemah. Oleh karena itulah, para pejabat keuangan G-20 konstan menyerukan kolaborasi dagang dan moneter yang sinkron. Di bawah Trump hal ini merupakan barang langka.
Meski demikian, untuk Indonesia, pesan intinya, siaplah dengan gejolak yang tak terduga dengan menjaga rambu-rambu ekonomi. Alhasil pesan utamanya selalu kembali ke soal upaya untuk menjaga posisi utang dan neraca transaksi berjalan agar Indonesia tidak rapuh terhadap gejolak eksternal. (REUTERS/AP/AFP)