“Amenangi Zaman Edan”
Hilanglah kemuliaan akhlaknya, tiada lagi kebaikan, selalu buruk sangka, Apa yang dipikir serba membahayakan, Sumpah dan janjinya tiada yang percaya, Akhirnya menanggung malu sendiri, Lenyaplah keluhuran budinya.
Ilang budayanipun, Tanpa bayu weyane ngalumpuk, Sakciptane wardaya ambebayani, Ubayane nora payu, Kari ketaman pakewoh, Lenyap kebudayaannya.
(Hilanglah kemuliaan akhlaknya, tiada lagi kebaikan, selalu buruk sangka, Apa yang dipikir serba membahayakan, Sumpah dan janjinya tiada yang percaya, Akhirnya menanggung malu sendiri, Lenyaplah keluhuran budinya).
Kutipan di atas diambil dari bait kelima Serat Sabda Tama yang ditulis dalam bentuk tembang gambuh. Serat Sabda Tama adalah karya sastrawan dan pujangga besar Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, R Ng Ranggawarsita (1802-1873).
Pada zaman R Ng Ranggawarsita, di Kadipaten Mangkunegaran yang bertakhta adalah Kanjeng Gusti Pangeran Aryo Adipati Mangkunegara IV (1809-1881). Mangkunegara IV juga dikenal sebagai seorang pujangga besar. Karyanya antara lain Serat Wedhatama dan Serat Tripama.
Karya-karya R Ng Ranggawarsita banyak yang diakui sebagai ”warisan ajaran kehidupan yang sangat berharga”. Salah satunya, selain Sabda Tama, adalah Serat Kalatida (Masa Suram). Serat ini ditulis pada masa bertakhtanya Pakubuwono IX (1861-1894).
Ketika itu, kemerosotan, dekadensi moral, dan nafsu keserakahan begitu meraja-lela, mewabah di kalangan elite yang berkuasa. Karena itu, lewat salah satunya pupuh (bait) ketujuh dari tembang sinom Serat Kalatida (Masa Suram), R Ng Ranggawarsita menulis:
Menangi jaman edan/ ewuh aya ing pambudi/melu edan nora tahan/Yen tan melu anglakoni/boya keduman melik/kaliren wekasanipun/ndilalah kersaning Allah/begja-begjane kang lali/luwih begja kang eling/lan waspada.
(Terjemahan bebas: Menghadapi zaman gila/suasana memang menjadi sulit/Ikut gila tidak tahan/tetapi kalau tidak ikut melakukan/lenyaplah segala kemungkinan untuk mendapatkan, kelaparan/kesengsaraan jadinya/untunglah, sudah menjadi kehendak Allah/seberuntung-beruntungnya orang yang lupa/lebih beruntung orang yang sadar/dan waspada).
Bait demi bait di dalam Serat Sabda Tama sarat petunjuk dan petuah dalam menjalani kehidupan agar manusia tidak tergelincir dan masuk ke dalam kubangan kehidupan yang salah. Dalam bahasa Thomas Aquinas, orang harus bonum est faciendum et malum vitandum, melakukan yang baik dan menghindari yang jahat.
Seperti dikatakan oleh Aristoteles, in medio stat virtus, keutamaan berdiri di tengah. Dengan demikian, jika seseorang mau melakukan yang baik, maka harus memilih jalan tengah. Jalan tengah sering disebut sebagai jalan emas karena akan mengantarkan seseorang menuju kesempurnaan sebagai manusia.
”Sabda” berarti ucapan, petunjuk, atau juga petuah. Sedangkan ”tama” berarti utama, berharga, dan penting. Jadi, Sabda Tama bisa diartikan sebagai ucapan atau petunjuk yang utama.
Menurut catatan sejarah, Serat Sabda Tama ditulis pada zaman yang disebut Zaman Kala Bendu, yakni zaman serba tidak menentu. Zaman yang penuh dengan kesulitan. Zaman Kala Bendu adalah salah satu dari tiga zaman menurut pembagian yang dibuat oleh maharaja di Kerajaan Kediri bergelar Sang Mapanji Sri Aji Jayabaya (memerintah tahun 1135-1157).
Baca juga: Hikayat Sengkuni dan Kresna
Tri Kali atau tiga zaman besar itu terdiri dari: Kali Swara (zaman penuh suara alam), Kali Yoga (zaman pertengahan), dan Kali Sangara (zaman akhir). Zaman Kali Sangara dibagi menjadi tujuh Zaman Sedang (Saptakala) yang salah satunya adalah Zaman Kala Bendu. Dan, Zaman Kala Bendu dibagi menjadi tiga Zaman Kecil (Mangsa Kala), yakni Mangsa Kala Artati (uang/materi), Mangsa Kala Nistana (tempat nista), dan Mangsa Kala Justya (kejahatan).
Pada zaman seperti itulah R Ng Ranggawarsita mengingatkan agar orang—terutama para elite penguasa—tetap hidup jujur, mengendalikan hawa nafsu, serta tidak mementingkan diri dan merugikan orang lain. Dan, para elite penguasa tidak ”mentang-mentang berkuasa” lalu menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan diri, kepentingan kelompok, atau kepentingan golongan.
Korupsi sudah ada sejak zaman prakolonial, zaman penjajahan, terus berlanjut hingga zaman kemerdekaan dan sampai zaman kini, ketika orang sudah mulai bicara tentang Revolusi 4.0.
Ketika itu, R Ng Ranggawarsita melihat ada persoalan besar dalam etika publik, terutama menyangkut masalah integritas publik para pejabat. Etika publik berawal dari keprihatinan publik terhadap pelayanan publik yang buruk karena konflik kepentingan dan korupsi (seperti zaman kini, korupsi menjadi-jadi meski tindakan pemberantasannya tak kurang-kurang).
Mengapa korupsi sulit sekali diberantas? Ada yang mengatakan karena sudah berurat akar di masyarakat. Korupsi sudah ada sejak zaman prakolonial, zaman penjajahan, terus berlanjut hingga zaman kemerdekaan dan sampai zaman kini, ketika orang sudah mulai bicara tentang Revolusi 4.0.
Setiap hari, berbagai media, baik yang konvensional maupun modern, menurunkan berita tentang korupsi, tentang operasi tangkap tangan (OTT) terduga korupsi, tentang pemeriksaan tersangka korupsi di KPK, tentang pengadilan atas tersangka korupsi, dan sebagainya. Pendek kata, berita tentang korupsi tidak pernah tidak ada di media saban hari.
Diskusi, seminar, sarasehan, dan apa pun namanya yang membahas tentang korupsi tak kurang-kurang sudah diadakan oleh universitas-universitas, lembaga-lembaga pusat studi, organisasi-organisasi kemasyarakatan, dan bahkan lembaga-lembaga pemerintah. Buku-buku tentang korupsi pun banyak dicetak. Namun, korupsi tetap saja ada, bahkan seperti tidak berkurang meski sudah begitu banyak orang yang ditangkap, diadili, dan akhirnya dipenjara.
Baca juga: Pengkhianatan Seorang Kawan
Berapa banyak anggota legislatif yang dipenjara karena korupsi? Berapa banyak pejabat eksekutif yang diadili dan dipenjara karena korupsi? Berapa banyak pejabat yudikatif yang tahu tentang hukum, yang dihukum karena korupsi? Berapa banyak aparat keamanan yang juga dihukum karena terlibat korupsi. Juga berapa banyak orang swasta yang juga terseret dalam tindakan rasuah ini?
Memang, kadang kala, korupsi sulit dilacak. Sebab, tidak mudah mengidentifikasi pelaku dan korbannya. Kalau menyangkut uang negara, korban cenderung anonim, tidak dikenali karena jarang yang langsung merasa dirugikan. Pelakunya biasanya kelompok. Mereka berkolusi karena memiliki kepentingan yang sama. Oleh karena itu, mereka akan sangat ketat menjaga kerahasiaan tindak korupsi. Kecuali ada yang kecewa, lantas bernyanyi. Dan, terbongkarlah tindak korupsi itu.
Ada yang berpendapat bahwa korupsi terjadi karena tiadanya integritas. Istilah ”integritas” biasanya dikontraskan dengan ”korupsi”. Kata ”korupsi” (berasal dari bahasa Latin, corrumpere) berarti ’membusuk, merusak, memburuk, atau menyeleweng’. Korupsi dipahami sebagai ”ancaman yang membusukkan masyarakat melalui penyalahgunaan kekuasaan yang dipercayakan”. Sedangkan ”integritas” yang juga berasal dari bahasa Latin (integer) berarti ’tidak rusak, murni, utuh, jujur, lurus, dan dapat dipercaya atau diandalkan’ (Haryatmoko, 2011).
Pada umumnya, integritas dihubungkan dengan suatu keutamaan/kebajikan (virtue) atau karakter yang baik. Integritas semacam ini tumbuh dari pendidikan keluarga, berkembang di sekolah, lingkungan masyarakat, dan teruji dalam kehidupan profesional.
Dengan kata lain, integritas adalah hasil dari pendidikan, pelatihan, dan pembiasaan tindakan yang diarahkan ke nilai-nilai etika publik. Jelaslah kiranya bahwa pembentukan habitus, lingkungan berintegritas bukan sekadar niat baik, melainkan harus ditopang oleh lingkungan (mulai keluarga hingga masyarakat) dan pengalaman.
Sifat orang yang berintegritas adalah jujur. Bukankah tidak mungkin orang memiliki integritas tanpa mempraktikkan kejujuran. Seorang yang berintegritas memang tidak akan kompromistis ketika dihadapkan pada kesulitan, termasuk kesulitan menjatuhkan pilihan antara yang baik dan yang tidak baik.
Kalau dalam konteks aparatur birokrasi dan pejabat publik, maka integritas berarti keteguhan diri aparatur birokrasi dan pejabat publik untuk tidak meminta atau menerima apa pun dari siapa pun. Dengan demikian, integritas merupakan antitesis dari korupsi yang merupakan penggunaan kekuasaan untuk tujuan-tujuan tidak sah atau ilegal, baik oleh individu maupun kelompok yang memegang kekuasaan, otoritas, dan wewenang.
Dengan demikian, benarlah kiranya yang dituliskan oleh R Ng Ranggawarsita bahwa ”inilah zaman edan” dan ”hilanglah kemuliaan akhlak” orang. ***